AKAD (PERJANJIAN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Akad (Perjanjian) Dalam Perspektif Hukum Islam)
 
BAB  I

P E N D A H U L U A N


Islam memang mengalakkan umatnya terlibat dalam aktivitas bisnis. Sistem bisnis dalam Islam melibatkan banyak pihak, dewasa ini kebanyakan urusan bisnis mengikuti hawa nafsu masing-masing saja. Sesunguhnya setiap Akad ada keberkahan, Sebenarnya generasi kebelakangan ini telah lupa dengan akad jual beli, Sebab itulah orang-orang zaman dahulu ( zaman kakek nenek kita) jika membeli ataupun menjual sesuatu terdengar perkatan ( Saya Jual dan Saya Beli).. Sesunguhnya benarlah setiap akad ada keberkahannya, kita sebenarnya hilang keberkahan dalam jual beli sekarang ini adalah karena kekurangan pihak yang mengamalkan akad jual beli dalam system Islam . Sesungguhnya makanan yang masuk dalam perut kita adalah halal jika terbukti halal, akan tetapi kurang BERKAH kerana kita tidak mengamalkan akad jual beli dengan sempurna ( mengapa menyembelih korban atau akikah perlu mengucapkan akad kalau tidak ada keberkahan atas hewan yang di korbankan dan di akikahkan, ini bermaksud akad itu berarti sangat  penting dalam menentukan barkah dari Allah SWT.
Akad merupakan unsur penting dalam suatu bisnis, secara umum bisnis dalam Islam menjelaskan adanya transaksi  yang bersifat fisik dengan menghadirkan benda. Disamping itu juga peranan akad dapat menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bisnis. Ketidakjelasan bentuk akad akan menimbulkan masalah bagi kedua belah pihak yang berakad.
Oleh karena itu dalam hal ini penulis merasa perlu untuk membahas mengenai akad dalam hukum Islam karena mayoritas para pelaku bisnis akhir-akhir ini sering mengabaikan akad dan hal-hal yang berkaitan dengan akad tersebut. Dalam hal ini penulis akan mengangkat seputar bagaimana pengaturan akad (perjanjian) dalam  hukum Islam dan pengaruhnya terhadap masing-masing dari kedua belah pihak.


BAB  II
P E M B A H A S A N

A.                Definisi  Akad (perjanjian)
Akad adalah suatu macam dari macam-macam tasharuf[1]  yang dilakukan manusia, yakni dalam bentuk tasharuf qauli (ucapan). Dengan demikian yang disebut tasharuf qauli ’aqdy ialah :” Sesuatu yang terdiri dari dua perkataan dua pihak yang berikatan keduanya”.  Seperti Jual beli, ijarah (sewa menyewa), syirkah (perkongsian) dan sebagainya.. Dari pengertian menurut bahasa para fuqoha memakai juga lafadh aqad untuk sumpah , untuk ’ahd (perjanjian), untuk sesuatu persetujuan dalam bidang jual beli.[2]
Kemudian menurut istilah fuqoha , ialah : ”Perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridlan kedua belah pihak”
Gambaran yang menerangkan maksud  diantara kedua belah pihak dinamakan ijab dan qabul. Ijab  ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang beraqad, buat menggambarkan iradhatnya dalam mengadakan aqad, siapa saja yang memulainya. Qabul ialah yang keluar dari tepi (pihak) yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya[3]
          Berdasarkan pengertian diatas berarti aqad adalah gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) yang sah sesuai dengan hukum Islam . ijab adalah penawaran dari pihak pertama sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan pihak pertama.
          Fiqh muamalah[4] Islam membedakan antara wa’ad  dan akad. Wa’ad  adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yeng memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, term and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesipik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
          Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat,  yakni masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang elah mereka sepakati dahulu. Dalam akad tern and conditio-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesipik (sudah well –defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia /mereka manerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.[5]

  1. Dasar Hukum Akad
Adapun yang dijadikan landasan melakukan akad adalah berdasarkan al-Qur’an dan Hadits seperti ayat[6]  berikut :” Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akadmu...”. Dalam ayat[7] yang lain disebutkan pula bahwa :’” ......Tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya”
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa :” Setiap dari kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin kalian akan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya....”.[8] Beberapa kaidah fiqih[9] menyebutkan bahwa :” Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
               Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi,. pada dasarnya  boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerjasama (mudharabah) atau musyawarah , perwakilan dan ain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudharatan, tipuan, judi dan riba. Kaidah yang lain dari Ibnu Taimiyah  bahwa : ” Hukum asal dalam transaksi adalah keridloan kedua belah pihak  yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan ”.
               Keridloan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada kedua belah pihak. Artinya tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau di[paksa, juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridloi , tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridloannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya si pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
               Adapun kaidah yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah berbunyi :




Artinya :” Dasar dari akad adalah  keridloan  kedua belah pihak”.

  1. Syarat-syarat Akad
Dibawah ini syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam :
  1. Syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujunya dalam segala macam akad
  2. Syarat-syarat yang sifatnya khusus, yaitu :”syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebahagian yang lain”.
Syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
  1. Ahliyatul ’Aqidaen ( kedua belah pihak cakap berbuat)
  2. Qabiliyatul mahallil ’aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek aqad, dapat menerima hukumnya).
  3. Al-wilayatu syar’iyah fi maudlu’il aqdi ( aqad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri).
  4. Alla yakunal ’aqdu au maudhu’uhu mamnu’an binasin syar’iyyin ( janganlah aqad itu aqad yang dilarang syara’.
  5. Kaunul ’aqdi mufiidan ( aqad itu memberi faedah)
  6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu’il qabul ( ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).[10]


  1. Pembentukan Akad
Akad adalah suatu sebab dari sebab-sebab yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan kita memperhatikan definisi akad, dapatlah kita mengatakan bahwa akad itu suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang, berdasarkan keridloan masing-masing. Akad itu mengikat pihak-pihak dengan beberapa hukum syara yaitu hak dan kewajiban, yang diwujudkan oleh akad.
Akad itu terbentuk dengan adanya :
  1. Aqidaen ( dua pihak yang berakad)
  2. Ma’qud alaih (obyek akad)
  3. Ghayatul aqdi ( tujuan akad)[11]
Aqidaen, yaitu pihak-pihak yang akan melakukan akad, kedua belah pihak yang akan melaksanakan akad ini harus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu negara), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal sehat, harus dewasa (rusyd) dan dapat bertanggungjawab dalam bertindak, tidak boros, dan tidak di percaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.
Ma’qud alaih atau obyek akad yaitu : jasa atau benda-benda yang berharga dan obyek akad tersebut tidak di larang oleh syari’at. Obyek akad yang dilarang (haram) oleh hukum Islam adalah :1. Alkohol, 2. Darah, 3. Bangkai, 4. Daging babi.
Kepemilikan dari obyek akad harus sudah berada pada satu pihak, dengan kata lain, obyek akad harus ada pada saat akad dilaksanakan, kecuali pada ransaksi Salam dan Istish’na. Obyek akad harus sudah di ketahui oleh kedua belah pihak, beratnya, harganya, spesipikasinya, modelnya, qualitasnya. Perlu diperhatikan disini (dalam hukum Islam), seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya, contohnya menjual burung-burung yang masih terbang di udara, atau menjual ikan yang masih berenang dilautan lepas, karena tidak jelas berapa jumlah dan sulit untuk menentukan harga pastinya, yang berakibat pada adanya unsur ketidakpastian atau gharar. Ketidakpastian atau gharar ini dapat membatalkan akad, sama halnya dengan riba (interest/bunga) dan maisyir (judi). Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yangmenggunakan akad syari’ah.
Tujuan (ghayah) mengadakan suatu akad itu harus tetap satu, tidak berbeda-beda dalam akad yang serupa. Kalau berbeda akad, maka berbeda pula tujuannya.
Dalam hal ini akad  sangat penting, agar suatu akad tidak bertentangan dengan syari’at maka para pelaku akad harus mempunyai tujuan yang positif tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Apabila bertentangan dengan syari’at maka akadnya menjadi batal demi hukum. Seperti tujuan akad dalam jual beli adalah memindahkan barang dari si penjual kepada si pembeli. Dalam akad hibah memilikkan barang kepada orang yang diberi hibah, sementara ijarah (sewa) ghayahnya adalah memilikkan manfaat dengan adanya penggantian (iwadl).
Rukun Akad, adalah ijab  dan qabul.  Ijab dan Qabul dinamakan shigatul aqdi atau perkataan yang menunjukan kepada kehendak kedua belah pihak.
Shigatul aqdi ini memerlukan tiga unsur pokok antara lain :
    1. harus terang pengertiannya
    2. harus bersesuaian antara ijab dan qabul
    3. menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan.[12]
Lafadh ijab qabul harus jelas pengertiannya menurut ‘urf (kebiasaan),. Disamping itu qabul juga harus sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, tidaklah sah akadnya. Seumpama si penjual mensual sesuatu dengan harga Rp. 1.000,- maka si pembeli juga menerima dengan harga Rp. 1.000,-  maka teranglah akad itu sah. Tapi kalau si pembeli mengatakan menerima dengan harga Rp. 500,-  akad itu tidak sah, karena tidak ada persesuaian antara dua percatan.
            Disamping itu juga sighat ijab qabul menggambarkan kesungguhan iradat (kehendak), tidak diucapkan secara ragu-ragu. Atas dasar ini maka para fuqoha mengatakan berjanji akan menjual belum merupakan akad  penjualan, dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya.

            Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua :
  1. Sahih, atau sah, artinya semua rukun kontrak deserta kondisinya sudah terpenuhi
  2. Batil, apabila salah satu dari rukun kontrak tidak terpenuhi maka kontraknya tersebut menjadi batal atau tidak sah, apa lagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya.
Akad yang efektif di bagi dua  yaitu :
  1. Lazim – mengikat
  2. Gayr lazim – tidak mengikat
Akad lazim  ádalah akad yang tidak  dapat dibatalkan oleh salah satu pihak  tanpa persetujuan pihak lainnya. Contohnya perceraian dan kompensasi pembayaran properti dari istri yang diberikan lepada suazi. Sedang akad Gayr lazim dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa adanya persetujuan dari pihak lainnya contoh dalam transaksi partnership (musyarakah), agency (wakalah). Wasiat, pinjaman (ariyah) dan penitipan (wadiah)[13].
Mengucapkan dengan lidah bukanlah satu-satunya jalan yang harus ditempuh  dalam mengadakan akad. Ada beberapa cara untuk menggambarkan iradah. Lantaran itu para fuqoha menerangkan cara-cara yang harus ditempuh dengan cara sebagai berikut :
  1. Tulisan (kitabah)
  2. Isyarah
  3. Ta’athi[14](jual beli secara beri memberi).
Tulisan antara dua aqid bagi yang berjauhan tempatnya, sama dengan ucapan lidah yang dilakukan oleh mereka yang sama hadir. Sebagaimana ijab qabul dengan perkataan , boleh juga ijab dan Qabul dengan surat menyurat. Atas dasar inilah para fuqoha membuat suatu kaidah yang berbunyi :” Tulisan itu sama dengan ucapan”.
Demikian juga isyarat orang bisu dapat mengganti ucapan, apabila dia tak dapat menulis, dan dia mempunyai isyarat-isyarat yang dapat dipahami yang telah biasa dipergunakan. Atas dasar ini pula para fuqoha membuat kaidah ” Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah( sama dengan penjelasan dengan lidah.
            Ta’athi, seperti yang biasa berlaku sekarang ini, kita berikan harga kita ambil barang. Tak pernah dikatakan :” Saya jual ini kepada anda dan saya beli ini dari anda”. Ini namanya ta’athi, walaupun ta’athi oleh sebahagian fuqoha syar’iyah tidak dibenarkan.
            Dalam perbankan syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/ perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil kiamat nanti.[15]

  1. Pembagian Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat tergantung pada sudut pandangnya. Diantara bagian akad yang terpenting adalah berikut ini :
  1. Berdasarkan Ketentuan Syara”
a.       Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiah akad sahih adalah akad yang akad yang memenuhi ketentuan syari’at pada asalnya dan sifatnya
b.      Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiah menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan hanafiah membedakan antara fasid dan batal.[16]
  1. Berdasarkan Penamaannya
a.       Uqudun musammatun : aqad-aqad yang telah diberikan oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu. Semuanya ada dua puluh lima macam, adalah sebagai berikut :
1.      Al-Bai’                                                            14. Al-Musaqoh
2.      Al-Ijarah                                                          15. Al-Al-Wakalah
3.      Al-Kafalah                                                      16. Ash- Shulhu
4.      Al-Hawalah                                                     17. At-Tahkim
5.      Ar-Rahnu                                                        18. Al-Mukharajah
6.      Bai’ul Wafa’                                                   19. Al-qardlu
7.      Al-Ida’                                                                        20. Al-’Umra
8.      Al-I’arah                                                         21. Al-Muwalah
9.      Al-Hibah                                                         22. Al-Iqalah
10.  Al-Qismah                                                       23. Az-Zawaj
11.  Asy-Syirkah                                                    24. Al-Washiyat
12.  Al-Mudharabah atau Al-Qiradl                      25. Al-Isha
13.  Al-Muzara’ah
b.Uqudun ghairu musammatun: aqad-aqad yang tidak diberikan  namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh Syara’ sendiri.[17]


  1. Berdasarkan Maksud dan Tujuan Akad
a.       Kepemilikan
b.      Menghilangkan kepemilikan
c.       Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
a.       Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktifitas, seperti orang gila
d.      Penjagaan
  1. Berdasarkan zatnya
    1. Benda yang berwujud (al-ain)
    2. Benda yang tidak berwujud ( ghair al-ain)[18]
  1. Berdasarkan ada dan tidaknya kompensasi
    1. Akad Tabarru
    2. Akad Tijarah[19]
  1. Dampak  Akad (perjanjian)
Setiap  akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
  1. Dampak umum adalah segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad , baik dari segi hukum maupun hasil.
  2. Dampak Khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad , seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah dan lain-lain.[20]
  1. Berakhirnya Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia atau tanpa adanya ijin dalam akad mauquf (ditangguhkan).
Suatu akad akan habis dengan adanya pembatalan , terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan kepada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan , tetapi sebelum sampai 5 bulan akad dibatalkan .
Pada akad ghair lajim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan dan lain-lain. Atau yang ghair lajim pada satu pihak dan lajim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengatahuan orang yang menggadaikan barang.
Adapun  pembatalan pada akad lajim, terdapat dalam beberapa hal berikut :
    1. ketika akad rusak
    2. adanya khiyar
    3. pembatalan akad
    4. tidak mungkin melaksanakan akad
    5. masa akad berakhir.


















  
BAB  III
 K E S I M P U L A N

Berdasarkan uraian diatas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya dalam fiqh muamalah  Islam membedakan antara wa’ad  dan akad. Wa’ad  adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yeng memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, term and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesipik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
          Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat,  yakni masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang elah mereka sepakati dahulu. Dalam akad tern and conditio-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesipik (sudah well –defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia /mereka manerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Terlepas dari hal –hal diatas , bahwa suatu akad yang dilakukan manusia pada dasarnya  telah diatur berdasarkan al-Qur’an dalam QS. Al-Maidah ayat (1), QS. Al-Israa ayat (34), HR. Bukhari dan beberapa kaídah fiqh .
2. Adapun pengaruh dan dampak dari suatu akad adalah  bersifat umum dan khusus, yaitu
Dampak umum adalah segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad , baik dari segi hukum maupun hasil.
Dampak Khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad , seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah dan lain-lain. Dan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi dari masing-masing akad.






























DAFTAR  PUSTAKA

Departemen Agama, Alqur’an dan terjemahnya
Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syari’ah
Rahmat Syafe’I, Al-Hadits Aqidah ,Akhlak,  Sosial, dan Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2000
______________,  Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Atjep Dzajuli,  Kaidah-kaidah fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984



[1] Tasharuf adalah segala yang keluar dari seseorang dengan iradatnya (kehendaknya) dan syara’ menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah (kesimpulan) hak.
[2] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, Hlm 20
[3] Ibid, Hlm 22
[4] Muamalah  adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam bidang perekonomian.
[5] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, Hlm 67.
[6] QS. Al-Maidah, 1
[7] QS> Al-Israa, 34
[8] Rahmat Syafe’I, Al-Hadits Aqidah ,Akhlak,  Sosial, dan Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hlm 133.
[9] Atjep Dzajuli,  Kaidah-kaidah fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, Hlm 130-133
[10] Hasbi, Ibid Hlm 28
[11] Hasbi, Ibid Hlm 23
[12] Hasbi, Ibid Hlm 24
[13]  http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/5
[14] Hasbi, Ibid Hlm 25
[15] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktek, Geman Insani, Jakarta, 2001
[16] Rahmat Syafe’I,  Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hlm 66
[17] Hasbi,  Ibid, Hlm 84
[18] Rahmat Syafe’I, Ibid, Hlm 67
[19] Adiwarman Karim, Ibid, Hlm 68
[20] Rahmat Syafe’I, Ibid, Hlm 66

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya

MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA

Kaidah Fiqhiyah Kebahasaan