AKAD (PERJANJIAN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Akad (Perjanjian) Dalam Perspektif Hukum Islam)
BAB I
P E N D A H U L U
A N
Islam memang mengalakkan
umatnya terlibat dalam aktivitas bisnis. Sistem bisnis dalam Islam melibatkan
banyak pihak, dewasa ini kebanyakan urusan bisnis mengikuti hawa nafsu
masing-masing saja. Sesunguhnya setiap Akad ada keberkahan, Sebenarnya generasi
kebelakangan ini telah lupa dengan akad jual beli, Sebab itulah orang-orang
zaman dahulu ( zaman kakek nenek kita) jika membeli ataupun menjual sesuatu
terdengar perkatan ( Saya Jual dan Saya Beli).. Sesunguhnya benarlah setiap
akad ada keberkahannya, kita sebenarnya hilang keberkahan dalam jual beli
sekarang ini adalah karena kekurangan pihak yang mengamalkan akad jual beli
dalam system Islam . Sesungguhnya makanan yang masuk dalam perut kita adalah
halal jika terbukti halal, akan tetapi kurang BERKAH kerana kita tidak
mengamalkan akad jual beli dengan sempurna ( mengapa menyembelih korban atau akikah
perlu mengucapkan akad kalau tidak ada keberkahan atas hewan yang di korbankan
dan di akikahkan, ini bermaksud akad itu berarti sangat penting dalam menentukan barkah dari Allah
SWT.
Akad merupakan unsur penting dalam suatu bisnis,
secara umum bisnis dalam Islam menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik dengan menghadirkan
benda. Disamping itu juga peranan akad dapat menentukan sah tidaknya suatu
perjanjian bisnis. Ketidakjelasan bentuk akad akan menimbulkan masalah bagi
kedua belah pihak yang berakad.
Oleh karena itu dalam hal ini penulis merasa perlu
untuk membahas mengenai akad dalam hukum Islam karena mayoritas para pelaku
bisnis akhir-akhir ini sering mengabaikan akad dan hal-hal yang berkaitan
dengan akad tersebut. Dalam hal ini penulis akan mengangkat seputar bagaimana
pengaturan akad (perjanjian) dalam hukum
Islam dan pengaruhnya terhadap masing-masing dari kedua belah pihak.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Definisi Akad (perjanjian)
Akad adalah suatu macam dari
macam-macam tasharuf[1] yang dilakukan manusia, yakni dalam bentuk
tasharuf qauli (ucapan). Dengan demikian yang disebut tasharuf qauli ’aqdy
ialah :” Sesuatu yang terdiri dari dua perkataan dua pihak yang berikatan keduanya”. Seperti Jual beli, ijarah
(sewa menyewa), syirkah (perkongsian) dan sebagainya.. Dari pengertian menurut bahasa para fuqoha memakai juga lafadh aqad untuk
sumpah , untuk ’ahd (perjanjian), untuk sesuatu persetujuan dalam bidang jual
beli.[2]
Kemudian menurut istilah
fuqoha , ialah : ”Perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan
syara’, yang menetapkan keridlan kedua belah pihak”
Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak dinamakan ijab dan qabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari
salah seorang yang beraqad, buat menggambarkan iradhatnya dalam mengadakan
aqad, siapa saja yang memulainya. Qabul ialah yang keluar dari tepi (pihak)
yang lain sesudah adanya ijab, buat
menyatakan persetujuannya[3]
Berdasarkan
pengertian diatas berarti aqad adalah gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) yang sah sesuai dengan hukum
Islam . ijab adalah penawaran dari pihak pertama sedangkan qabul
adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan pihak pertama.
Fiqh
muamalah[4]
Islam membedakan antara wa’ad dan akad. Wa’ad
adalah janji (promise) antara satu
pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah
pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yeng memberi janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji
tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, term and condition-nya belum
ditetapkan secara rinci dan spesipik (belum well
defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Di
lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terkait untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang elah mereka sepakati dahulu.
Dalam akad tern and conditio-nya
sudah ditetapkan secara rinci dan spesipik (sudah well –defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam
kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia /mereka manerima sanksi
seperti yang sudah disepakati dalam akad.[5]
- Dasar Hukum Akad
Adapun yang dijadikan landasan
melakukan akad adalah berdasarkan al-Qur’an dan Hadits seperti ayat[6]
berikut :” Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akadmu...”. Dalam ayat[7]
yang lain disebutkan pula bahwa :’” ......Tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya”
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa :” Setiap dari kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin kalian
akan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya....”.[8] Beberapa kaidah fiqih[9]
menyebutkan bahwa :” Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Maksud
kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi,. pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
kerjasama (mudharabah) atau musyawarah ,
perwakilan dan ain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti
mengakibatkan kemudharatan, tipuan, judi dan riba. Kaidah yang lain dari Ibnu Taimiyah bahwa : ” Hukum asal dalam
transaksi adalah keridloan kedua belah pihak
yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan ”.
Keridloan
dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu transaksi barulah sah
apabila didasarkan kepada kedua belah pihak. Artinya tidak sah suatu akad
apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau di[paksa, juga merasa
tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridloi , tetapi kemudian
salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridloannya, maka akad
tersebut bisa batal. Contohnya si pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan
oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Adapun
kaidah yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah berbunyi :
Artinya :” Dasar dari akad adalah keridloan
kedua belah pihak”.
- Syarat-syarat Akad
Dibawah ini syarat-syarat
terjadinya akad ada dua macam :
- Syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujunya dalam segala macam akad
- Syarat-syarat yang sifatnya khusus, yaitu :”syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebahagian yang lain”.
Syarat-syarat umum yang harus
terdapat dalam segala macam akad, ialah :
- Ahliyatul ’Aqidaen ( kedua belah pihak cakap berbuat)
- Qabiliyatul mahallil ’aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek aqad, dapat menerima hukumnya).
- Al-wilayatu syar’iyah fi maudlu’il aqdi ( aqad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri).
- Alla yakunal ’aqdu au maudhu’uhu mamnu’an binasin syar’iyyin ( janganlah aqad itu aqad yang dilarang syara’.
- Kaunul ’aqdi mufiidan ( aqad itu memberi faedah)
- Baqaul ijabi shalihan ila mauqu’il qabul ( ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).[10]
- Pembentukan Akad
Akad adalah suatu sebab dari
sebab-sebab yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum.
Dengan kita memperhatikan definisi akad, dapatlah kita mengatakan bahwa akad
itu suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang, berdasarkan keridloan
masing-masing. Akad itu mengikat pihak-pihak dengan beberapa hukum syara yaitu
hak dan kewajiban, yang diwujudkan oleh akad.
Akad itu terbentuk dengan
adanya :
- Aqidaen ( dua pihak yang berakad)
- Ma’qud alaih (obyek akad)
- Ghayatul aqdi ( tujuan akad)[11]
Aqidaen, yaitu
pihak-pihak yang akan melakukan akad, kedua belah pihak yang akan melaksanakan
akad ini harus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di
suatu negara), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal
sehat, harus dewasa (rusyd) dan dapat bertanggungjawab dalam bertindak, tidak
boros, dan tidak di percaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.
Ma’qud alaih atau obyek akad yaitu : jasa atau benda-benda yang berharga dan obyek akad tersebut tidak
di larang oleh syari’at. Obyek akad yang dilarang (haram) oleh hukum Islam
adalah :1. Alkohol, 2. Darah, 3. Bangkai, 4. Daging babi.
Kepemilikan dari obyek akad
harus sudah berada pada satu pihak, dengan kata lain, obyek akad harus ada pada
saat akad dilaksanakan, kecuali pada ransaksi Salam dan Istish’na. Obyek akad
harus sudah di ketahui oleh kedua belah pihak, beratnya, harganya,
spesipikasinya, modelnya, qualitasnya. Perlu diperhatikan disini (dalam hukum
Islam), seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual sesuatu yang bukan
miliknya, contohnya menjual burung-burung yang masih terbang di udara, atau
menjual ikan yang masih berenang dilautan lepas, karena tidak jelas berapa
jumlah dan sulit untuk menentukan harga pastinya, yang berakibat pada adanya
unsur ketidakpastian atau gharar. Ketidakpastian atau gharar ini dapat
membatalkan akad, sama halnya dengan riba (interest/bunga) dan maisyir (judi).
Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yangmenggunakan akad
syari’ah.
Tujuan (ghayah) mengadakan
suatu akad itu harus tetap satu, tidak berbeda-beda dalam akad yang serupa.
Kalau berbeda akad, maka berbeda pula tujuannya.
Dalam hal ini akad sangat penting, agar suatu akad tidak
bertentangan dengan syari’at maka para pelaku akad harus mempunyai tujuan yang positif
tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Apabila bertentangan dengan syari’at
maka akadnya menjadi batal demi hukum. Seperti tujuan akad dalam jual beli
adalah memindahkan barang dari si penjual kepada si pembeli. Dalam akad hibah
memilikkan barang kepada orang yang diberi hibah, sementara ijarah (sewa)
ghayahnya adalah memilikkan manfaat dengan adanya penggantian (iwadl).
Rukun Akad, adalah ijab dan qabul.
Ijab dan Qabul dinamakan shigatul aqdi atau perkataan yang
menunjukan kepada kehendak kedua belah pihak.
Shigatul aqdi ini memerlukan
tiga unsur pokok antara lain :
- harus terang pengertiannya
- harus bersesuaian antara ijab dan qabul
- menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan.[12]
Lafadh ijab qabul
harus jelas pengertiannya menurut ‘urf (kebiasaan),. Disamping itu qabul juga
harus sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab,
tidaklah sah akadnya. Seumpama si penjual mensual sesuatu dengan harga Rp.
1.000,- maka si pembeli juga menerima dengan harga Rp. 1.000,- maka teranglah akad itu sah. Tapi kalau si
pembeli mengatakan menerima dengan harga Rp. 500,- akad itu tidak sah, karena tidak ada
persesuaian antara dua percatan.
Disamping
itu juga sighat ijab qabul menggambarkan kesungguhan iradat (kehendak), tidak
diucapkan secara ragu-ragu. Atas dasar ini maka para fuqoha mengatakan berjanji
akan menjual belum merupakan akad
penjualan, dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya.
Legalitas
dari akad di dalam hukum Islam ada dua :
- Sahih, atau sah, artinya semua rukun kontrak deserta kondisinya sudah terpenuhi
- Batil, apabila salah satu dari rukun kontrak tidak terpenuhi maka kontraknya tersebut menjadi batal atau tidak sah, apa lagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya.
Akad yang efektif di
bagi dua yaitu :
- Lazim – mengikat
- Gayr lazim – tidak mengikat
Akad lazim ádalah akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lainnya. Contohnya perceraian dan kompensasi
pembayaran properti dari istri yang diberikan lepada suazi. Sedang akad Gayr lazim dapat dibatalkan oleh salah
satu pihak tanpa adanya persetujuan dari pihak lainnya contoh dalam transaksi
partnership (musyarakah), agency (wakalah). Wasiat, pinjaman (ariyah) dan
penitipan (wadiah)[13].
Mengucapkan dengan lidah bukanlah
satu-satunya jalan yang harus ditempuh
dalam mengadakan akad. Ada beberapa cara untuk menggambarkan iradah.
Lantaran itu para fuqoha menerangkan cara-cara yang harus ditempuh dengan cara
sebagai berikut :
- Tulisan (kitabah)
- Isyarah
- Ta’athi[14](jual beli secara beri memberi).
Tulisan antara dua aqid bagi
yang berjauhan tempatnya, sama dengan ucapan lidah yang dilakukan oleh mereka
yang sama hadir. Sebagaimana ijab qabul dengan perkataan , boleh juga ijab dan
Qabul dengan surat menyurat. Atas dasar inilah para fuqoha membuat suatu kaidah
yang berbunyi :” Tulisan itu
sama dengan ucapan”.
Demikian juga isyarat orang
bisu dapat mengganti ucapan, apabila dia tak dapat menulis, dan dia mempunyai
isyarat-isyarat yang dapat dipahami yang telah biasa dipergunakan. Atas dasar
ini pula para fuqoha membuat kaidah ” Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah( sama dengan penjelasan
dengan lidah.
Ta’athi,
seperti yang biasa berlaku sekarang ini, kita berikan harga kita ambil barang.
Tak pernah dikatakan :” Saya jual ini kepada anda dan saya beli ini dari anda”.
Ini namanya ta’athi, walaupun ta’athi oleh sebahagian fuqoha syar’iyah tidak
dibenarkan.
Dalam
perbankan syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah
berani melanggar kesepakatan/ perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu
hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian
tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil kiamat nanti.[15]
- Pembagian Akad
Akad dibagi menjadi beberapa
macam, yang setiap macamnya sangat tergantung pada sudut pandangnya. Diantara
bagian akad yang terpenting adalah berikut ini :
- Berdasarkan Ketentuan Syara”
a. Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang
memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah
ulama Hanafiah akad sahih adalah akad yang akad yang memenuhi ketentuan
syari’at pada asalnya dan sifatnya
b. Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih adalah akad
yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak
berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiah menetapkan bahwa
akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan hanafiah membedakan
antara fasid dan batal.[16]
- Berdasarkan Penamaannya
a. Uqudun musammatun : aqad-aqad yang telah diberikan oleh syara’ dan
ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu. Semuanya ada dua puluh lima macam, adalah sebagai berikut :
1. Al-Bai’ 14.
Al-Musaqoh
2. Al-Ijarah 15.
Al-Al-Wakalah
3. Al-Kafalah 16.
Ash- Shulhu
4. Al-Hawalah 17.
At-Tahkim
5. Ar-Rahnu 18.
Al-Mukharajah
6. Bai’ul Wafa’ 19.
Al-qardlu
7. Al-Ida’ 20.
Al-’Umra
8. Al-I’arah 21.
Al-Muwalah
9. Al-Hibah 22.
Al-Iqalah
10. Al-Qismah 23.
Az-Zawaj
11. Asy-Syirkah 24.
Al-Washiyat
12. Al-Mudharabah atau
Al-Qiradl 25. Al-Isha
13. Al-Muzara’ah
b.Uqudun ghairu musammatun: aqad-aqad yang tidak diberikan
namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu
oleh Syara’ sendiri.[17]
- Berdasarkan Maksud dan Tujuan Akad
a. Kepemilikan
b. Menghilangkan
kepemilikan
c. Kemutlakan, yaitu
seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
a. Perikatan, yaitu
larangan kepada seseorang untuk beraktifitas, seperti orang gila
d. Penjagaan
- Berdasarkan zatnya
- Benda yang berwujud (al-ain)
- Benda yang tidak berwujud ( ghair al-ain)[18]
- Berdasarkan ada dan tidaknya kompensasi
- Akad Tabarru
- Akad Tijarah[19]
- Dampak Akad (perjanjian)
Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu
umum dan khusus.
- Dampak umum adalah segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad , baik dari segi hukum maupun hasil.
- Dampak Khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad , seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah dan lain-lain.[20]
- Berakhirnya Akad
Akad dapat berakhir dengan
pembatalan, meninggal dunia atau tanpa adanya ijin dalam akad mauquf
(ditangguhkan).
Suatu akad akan habis dengan
adanya pembatalan , terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa
khiyar, terkadang dikaitkan kepada masa yang akan datang, seperti pembatalan
dalam sewa menyewa dan pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan ,
tetapi sebelum sampai 5 bulan akad dibatalkan .
Pada akad ghair lajim, yang
kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada
penitipan barang, perwakilan dan lain-lain. Atau yang ghair lajim pada satu
pihak dan lajim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai
dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengatahuan orang yang
menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lajim, terdapat dalam
beberapa hal berikut :
- ketika akad rusak
- adanya khiyar
- pembatalan akad
- tidak mungkin melaksanakan akad
- masa akad berakhir.
BAB III
K E S I M P U L A N
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya dalam fiqh muamalah Islam
membedakan antara wa’ad dan akad. Wa’ad
adalah janji (promise) antara satu
pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah
pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yeng memberi janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji
tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, term and condition-nya belum
ditetapkan secara rinci dan spesipik (belum well
defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Di
lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terkait untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang elah mereka sepakati dahulu.
Dalam akad tern and conditio-nya
sudah ditetapkan secara rinci dan spesipik (sudah well –defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam
kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia /mereka manerima sanksi
seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Terlepas dari hal –hal diatas , bahwa suatu akad
yang dilakukan manusia pada dasarnya
telah diatur berdasarkan al-Qur’an dalam QS. Al-Maidah ayat (1), QS. Al-Israa ayat (34),
HR. Bukhari dan beberapa kaídah fiqh .
2. Adapun pengaruh dan dampak
dari suatu akad adalah bersifat umum dan
khusus, yaitu
Dampak umum adalah
segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad , baik dari segi
hukum maupun hasil.
Dampak Khusus adalah
hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama
dilaksanakannya suatu akad , seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli,
hibah, wakaf, upah dan lain-lain. Dan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi
dari masing-masing akad.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Alqur’an dan terjemahnya
Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syari’ah
Rahmat Syafe’I, Al-Hadits Aqidah ,Akhlak, Sosial, dan Hukum, Pustaka Setia,
Bandung, 2000
______________,
Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung,
2004.
Atjep Dzajuli, Kaidah-kaidah
fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang,
Jakarta, 1984
[1] Tasharuf adalah segala
yang keluar dari seseorang dengan iradatnya (kehendaknya) dan syara’ menetapkan
kepada orang tersebut beberapa natijah (kesimpulan) hak.
[2] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang,
Jakarta, 1984,
Hlm 20
[3] Ibid, Hlm 22
[4] Muamalah adalah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam bidang perekonomian.
[5] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta,
2003, Hlm 67.
[6] QS. Al-Maidah, 1
[7] QS> Al-Israa, 34
[8] Rahmat Syafe’I, Al-Hadits Aqidah ,Akhlak, Sosial, dan Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hlm 133.
[9] Atjep Dzajuli, Kaidah-kaidah
fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2006, Hlm 130-133
[10] Hasbi, Ibid Hlm 28
[11] Hasbi, Ibid Hlm 23
[12] Hasbi, Ibid Hlm 24
[14] Hasbi, Ibid Hlm 25
[15] Muhammad Syafi’I Antonio,
Bank Syari’ah dari teori ke praktek, Geman Insani, Jakarta, 2001
[16] Rahmat Syafe’I, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia, Bandung,
2004, Hlm 66
[17] Hasbi, Ibid, Hlm 84
[18] Rahmat Syafe’I, Ibid,
Hlm 67
[19] Adiwarman Karim, Ibid,
Hlm 68
[20] Rahmat Syafe’I, Ibid,
Hlm 66
Terima kasih
BalasHapus