MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA
MANQOBAH
SYEKH AHMAD SOHIBUL WAFA TAJUL ‘ARIFIN RA. (Abah Anom)
PESANTREN SURYALAYA TASIKMALAYA
A.
Makna dan Substansi Historiografi Sufi
Berbicara mengenai historiografi
sufi, mengingatkan kita pada semua hal
ihwal ang dilakukan oleh para sufi dalam mendekatkan diri pada Allah swt. Secara historis lahirnya kelompok sufi dalam
panggung sejarah Islam dilatarbelakangi secara substantif oleh adanya dorongan
doktrin atau teks-teks ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad saw.
Serta oleh adanya berbagai aspek eksternal yang sangat kompleks, seperti halnya
situasi sosial, budaya, politik dan situasi-situasi keagamaan lain yang
mengitarinya. Keduanya antara doktrin dan lingkungan sosial begitu besar dalam
mendorong munculnya kegiatan kelompok
sufi untuk lebih mengutamakan peningkatan spiritualitas kaum muslimin secara
khusus di lingkungannya.[1]
Historiografi sufi
secara umum dapat terbagai kedalam dua kategori. Pertama berkaitan
dengan konsep doktrin ajarannya, dalil naqli, penjelasan, aturan, anjuran dan
sebagainya. Atau yang biasa disebut sebagai konseptualnya. Karya-karya
konseptual yang mengarah dalam bentuk buku-buku teks sufi yang bertujuan untuk
membuktikan kesesuaian yang esensial dari pernyataan-pernyataan para sufi
dengan peraturan syari’at Islam. Karya
tersebut termasuk kedalam historiografi sufisme karena didalamnya terdapat
beberapa informasi tentang kisah dan praktek-prraktek para sufi yang
digambarkan meskipun secara singkat. Kedua, historiografi berkaitan
dengan realitas sejarah sufi dalam arti yang sesungguhnya, yakni karya-karya
yang mengarah kepada model pengkisahan tentang tokoh-tokoh besar yang mereka
banggakan untuk ditampilkan sebagai vigur atau icon dalam dunia mereka. Juga
menggambarkan dan menjelaskan realitas “manusia suci” yang telah melaksanakan atau pengejawantahan
terhadap apa-apa yang telah dikonsepsikan dari model karya-karya konseptual
mereka. Sehingga tokoh-tokoh sufi tersebut menghiasi setiap halaman secara
khusus dari karya-karya jenis historiografi yang satu ini.
B.
Syekh Ahmad Sohibul Wafa Tajul ‘Arifin
ra. Sebagai Seorang Waliyullah
1. Riwayat Singkat dan Pendidikan Abah Anom
Syekh Ahmad Sohibul Wafa Tajul ‘Arifin yang dikenal dengan
panggilan Abah Anom merupakan putra kelima dari KH. Abdullah Mubarok bin Noor
Muhammad (Abah Sepuh) pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren yang
berbasis Tariqoh dengan menganut paham Toriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Beliau
dilahirkan pada tanggal 1 januari 1915 di Suryalaya, Jawa Barat dari seorang
ibu Hj. Juhriyah. Adapun nama kecil Abah Anom sering dipanggil (H. Shohib).
Pendidikan beliau berawal dengan :
a.
Sekolah Dasar Belanda di Ciamis antara
1923-1929,
b.
Sekolah menengah di Ciawi Tasikmalaya
(1929-1931).
c.
Di usia 18 tahun beliau telah diberi wewenang
Abah Sepuh untuk memberikan talqin [2].
d.
Belajar agama Islam di pesantren yang
berbeda-beda di Jawa Barat seperti di Cicariang (Cianjur), di Pesantren Gentur
dan jambudipa, di Pesantren Cireunggas, Cimalati Sukabumi.
e.
Belajar seni bela diri (pencak silat)
f.
Berlatih (riyadhoh) bathiniyah dari ayahnya
sendiri (Abah Sepuh).
g.
Mengunjungi (ziarah) ke makam orang-orang suci (awliya)
.
Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru;yanah tahun 1938 pada usia 23
tahun. Di tahun yang sama beliau pergi ke Mekkah ditemani oleh kemenakannya
Simri Hasanuddin dan menetap disana selama 7 bulan untuk belajar tasawuf dan
tarekat dengan Syekh Romly Garut, seorang wakil talqin Abah Sepuh yang
bertempat tinggal di Jabal Qubaisy , dekat Mekkah. Sekembalinya tahun 1939,
beliau membantu ayahnya dengan mengajar di Pesantren Suryalaya dan membantu juga peperangan untuk memperjuangkan kemerdekaan (1945-1949). Di tahun 1953 beliau
ditetapkan untuk memimpin Pesantren Suryalaya dan bertindaak sebagai wakil
talqin Abah Sepuh.
Semasa hidupnya beliau aktif melakukan kegiatan, baik di
pemerintahan maupun di masyarakat pada umumnya. Baik bidang pendidikan ,
sosial, politik serta reformasi ekonomi di daerah tersebut. Hal ini
mencerminkan kepribadian Abah Anom sebagai seorang pemimpin yang memiliki
banyak pengetahuan, seorang cendekiawan cerdas dengan kealiman yang sangat
dalam. Beliau telah mengalami berbagai kesulitan dalam hidupnya tetapi beliau
tetap sabar, pribadi yang sangat ramah, hangat selalu tersenyum disamping sederhana
dan berani. Beliau merupakan sosok setia dan konsisten terhadap warisan Abah
Sepuh dan merupakan seorang pemimpin yang bekerja keras.
2. Abah Anom seorang
Waliyullah
Pengertian
Waliyullah
At- Tirmidzi mendefinisikan Wali Allah adalah seseorang yang
demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi
Ma’rifatillah), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan
benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala
kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-Hudud) Allah,
mempertahankan posisi kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini menurut
at-Tirmidzi , seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada
posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapanNya, dan
menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.
Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh ‘ishmah
(pemeliharaan) dan karamah (kemuliayaan ) dari Allah . menurutnya ada tiga
jenis ‘ishmah dalam Islam :
1.
‘Ishmah al-anbiya
2.
‘Ishmah al-awliya
3.
‘ishmah al-ammah[3]
Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya :” Para
Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali kecuali jika
Allah memberikan Taufiq HidayahNya. Abi Yazied al-Busthami mengatakan bahwa :”
Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu
melainkan ahlinya”. Selanjutnya Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya
oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab :”
Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa
dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka untuk
mengenal dan mendapat kepada-Nya”.
Berdasarkan pada uraian diatas bahwa yang termasuk ke dalam
kategori seorang waliyullah adalah orang yang mendapat kedudukan mulia ,
derajat yang tinggi dihadapan-Nya akan tetapi eksistensi kewaliannya hanya dapat
diketahui oleh ahlinya. Dengan demikian kita tidak tahu pasti siapa wali Allah
tersebut sebagai orang yang dikasihi Allah, untuk memudahkan umat, Rasulullah
memberikan petunjuk langsung beberapa ciri seorang yang termasuk sebagai
waliyullah dalam beberapa keterangan (al-Hadits).
Ciri-ciri
Waliyullah
Dari Umamah ra. Rasulullah saw. Bersabda :” berfirman Allah yang
Maha Besar dan Agung “diantara para wali-Ku di hadirat-Ku, yang paling menerbitkan
iri hati ialah si mukmin yang kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya
dalam shalat yang paling baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepadaNya dalam
keadaan tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat diantara khalayak tak
tertuding dengan telunjuk, rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal
itu. Kemudian beliau (Nabi Muhammad) menjentikkan jarinya lalu bersabda :”
kematiannya dipercepat tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat
kurangnya (HR. Tirmidzi Ibnu Majah, Ibn Hambal).
Kualitas seorang wali Allah bukan sembarangan , mereka izin Allah
karena kedekatannya kepada Allah apabila kita memandang wajah seorang wali
Allah akan membuat kita semakin dekat dengan Allah, pandangan kita kepada
mereka akan menyambungkan rohani (rabithah) kita dengan Allah. Inilah dasar
dalil yang digunakan oleh pengamal tarekat untuk selalu berwasilah kepada Guru
Mursyid sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.
Imam
al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia mengatakan :’ seseorang bertanya,
Ya Rasulullah saw. Siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab, “orang-orang
yang jika mereka dilihat , mengingatkan kepada Allah,”[4]
Dari Said
ra. Ia berkata:’ Ketika Rasulullah saw ditanya :” Siapa wali-wali Allah ? maka
beliau bersabda:’ wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat
mengingatkan kita kepada Allah.[5] (HR.
Ibnu Abi Dunya)
Secara zahir, dalam pandangan awam, seorang wali Allah bisa dilihat
dari sifat-sifat yang dimilikinya
meskipun orang yang memiliki sifat tersebut belum tentu langsung menjadi
seorang wali Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah saw. Bersabda
:” ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seseorang maka ia akan menjadi
seorang wali Allah, yaitu pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’
dan berbudi luhur kepada orang lain.” (HR.Ibnu Abi Dunya).[6]
Berdasarkan hadits diatas jelaslah bahwa yang termasuk sebagai
seorang waliyullah adalah orang yang memiliki kriteria berikut ini :
1.
Taat kepada Allah swt
2.
Memandang wajahnya dapat mengingat Allah
3.
Hidupnya digunakan hanya untuk Allah
4.
Berakhlaqul karimah
5.
Wara’
6.
Berbudi luhur
Sesuai
kriteria diatas Pangersa Abah lebih dari
seorang wali akan tetapi juga sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil.
C.
Manqobah Syekh Ahmad Sohibul Wafa Tajul
‘Arifin
Dua Cincin Abah yang Hilang
Pada tahun 2006, tepatnya tanggal 1 Agustus Direktorat Jendral
Pendidikan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia membuat kebijakan yang
mengagetkan, khususnya bagi mereka para penyelenggara MAK (Madrasah Aliyah
Keagamaan) melalui surat edaran Nomor : DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006 tentang
Pelaksanaan Standar Isi, disana terdapat klausul mulai tahun 2007 MAK tidak
lagi diizinkan menerima siswa baru. Artinya , sejak tahun itu MAK muai berhenti
beroperasi dengan kata lain dibubarkan.
Seiring bergulirnya kebijakan tersebut Pangersa Abah Anom menyikapi
dengan bijaksana yakni dengan memanggil ayahanda (Ahdi Nurudin) selaku Kepala
Sekolah MAK SB Suryalaya. Saat itu
tepatnya pada hari Kamis ba’da ashar pada tanggal 10 bulan Agustus tahun 2006 tidak
lama dari kebijakan itu turun, Pangersa Abah dengan mengutus salah seorang
KAMTIB ( bagian Keamanan dan Ketertiban pesantren ) untuk memanggil ayahanda agar segera menghadap beliau (Abah Anom) di
Madrasah[7]. Dan KAMTIB
pun segera menuju ke rumah ayahanda dan menyampaikan maksud kedatangannya
bahwa ayahanda diminta Pangersa Abah
Anom untuk segera menghadapnya. Ayahanda pun segera menuju ke madrasah saat itu
juga menemui Pangersa Abah.
Sesampainya di madrasah tepatnya di ruangan TV, di ruangan tersebut
tidak ada siapa-siapa hanya ada Umi, ayahanda dan Pangersa Abah. Saat itu pangersa Abah seperti sedang
mencari-cari sesuatu yang hilang dengan bertanya kepada ayahanda : “dimana
cincin abah nu gede hiji nu leutik hiji, apan maneh nu nyaho” dan itu kata Pangersa Umi di hari itu sejak
dari pagi Pangersa Abah terus menyebut-nyebut mana cincin Abah mana cincin Abah.
Sikap ayahanda pun hanya terdiam, tidak bisa berkomentar apa-apa sambil
bertanya-tanya dalam hati, apa maksud dan makna
dari cincin abah tersebut, mendengar pertanyaan Pangersa Abah mengenai
cincin tersebut. Singkat cerita Ayahanda pun soan dan izin pulang dan kembali
ke rumah.
Sesampainya di rumah tak habis pikir ayahanda memikirkan apa maksud
dengan hilangnya cincin Abah nu leutik jeung cincin Abah nu gede. Setelah
memperhatikan surat edaran dari Direktur Jendral Pendidikan Islam Departemen
Agama, mengenai nasib berlanjutnya eksistensi MAK, sekolah yang selama ini ia pimpin ternyata harus dihentikan dan tidak
boleh menerima siswa baru di tahun berikutnya yakni tahun 2007. Terlihat rasa
sedih, haru, menghantui perasaannya karena harus merelakan semua yang sudah
berjalan begitu saja harus dihentikan.
Melalui pemikiran yang mendalam,
ayahanda mencoba untuk menfasirkan makna dari perkataan Pangersa Abah tempo hari . Menurut ayahanda
bahwa dua cincin Abah yang kecil maupun yang besar itu adalah hilangnya
program pengembangan dua bahasa ( Arab
dan Inggris) yang sudah menjadi program wajib di dalam kurikulum MAK. Selain itu menurut hemat penulis sikap mengapa
Pangersa Abah sampe terlihat gelisah mencari-mencari mana cincin Abah mana
cincin Abah? Hal itu dikarenakan MAK merupakan satu-satunya program kaderisasi
yang ada di Pondok Pesantren Suryalaya akan tetapi pemerintah bermaksud untuk
menghapusnya dan hal itu sangat disayangkan.
Mengingat program pengembangan bahasa itu sangat penting, maka
ayahanda meneruskan program tersebut dengan mendirikan kursus bahasa Inggris
dan juga bahasa lainnya di “Sakinah Course”. Pesertanya siapa saja yang
berminat, termasuk anak-anak usia SD penduduk sekitar.
AWAL MULA
INABAH LANJUT
Diceritakan oleh ayahanda (Ahdi Nurudin) pada tahun 1982, berawal dari
permintaan dan usulan kepada bidang pengajian Ponpes Suryalaya untuk turut serta mengajar di pengajian Pondok Pesantren Suryalaya, akan
tetapi permintaan tersebut ditolak oleh pengurus pengajian Ponpes Suryalaya dengan
alasan karena ayahanda berasal orang suku jawa sedangkan di Ponpes Suryalaya pengajiannya
menggunakan bahasa sunda. Intinya ayahanda
dianggap tidak bisa menggunakan bahasa sunda.
Melihat kejadian tersebut Pangersa Abah Anom peka terhadap keadaan,
tak lama kemudian Pangersa Abah mengutus Bapak Yusuf Hamzah (saat itu sebagai
Sekretaris Pribadi Abah Anom), untuk mengirim seseorang yang akan mesantren.
Bapak Yusuf Hamzahpun datang ke rumah ayahanda (Ahdi Nurudin) bersama dengan seorang santri,dan berkata :” Pa Ahdi..Abdi
dipiwarang ku Pangersa Abah nganterkeun ie budak anu arek masantren”. Tidak
banyak komentar diterimalah anak tersebut untuk masantren di rumah, dia
bernama Safe’i berasal dari Bogor dengan usia yang sudah cukup dewasa. Sesudah
tiga bulan lamanya barulah anak tersebut bercerita asal mulanya dia datang ke
suryalaya dengan segudang masalah hidupnya sehingga sampai di masukan ke Inabah
1 untuk dibina.
Dari kisahnya ayahanda (Ahdi Nurudin) memaknai adanya perintah dari
Pangersa Abah tersebut bahwa dia harus belajar membina inabah (orang-orang yang
bermasalah karena ketergantungan narkotika dll), karena tugasnya itu ayahanda
sering berangkat ke Inabah 1 yang dipimpin oleh
Bapak Anangsyah untuk belajar bagaimana cara membina anak-anak Inabah
itu. Terkadang ayahanda mengajak para guru Madrasah Aliyah untuk sama-sama
belajar di sana. Setelah hampir 4 bulan
membina seorang Syafe’i, kemudian diberi lagi oleh Pangersa Abah anak-anak
Inabah 1, khususnya bagi anak-anak yang hendak melanjutkan sekolah lagi di
Suryalaya.
Maka jadilah dengan sebutan Inabah Lanjut, dikatakan demikian
karena disamping masih sebagai anak binaan inabah akan tetapi diperbolehkan
sambil melanjutkan pendidikan di Suryalaya sesuai dengan jenjang pendidikannya
selama sekolahnya tertunda . Juga dikarenakan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan sepulang sekolah sama dengan kegiatan yang
dilakukan di Inabah 1. Mulai dari kegiatan sholat berjamaah, berdzikir, mengaji al-Qur’an, mandi taubat dan
qiyamulail serta sholat-sholat sunnah lainnya melalui bimbingan dari ayahanda
beserta ibunda.
ABAH ANOM
MENGETAHUI HAL IHWAL YANG AKAN TERJADI
Dikisahkan oleh saya sendiri sebagai seorang santri Ponpes
Suryalaya yang sering soan dan silaturahim kepada Pangersa Abah di setiap waktu
luang. Selain melakukan soan juga sekaligus meminta amalan riyadloh seperti halnya
orang-orang melakukannya . Diantara amalan tersebut ada yang berupa bacaan
doa-doa dari Asmaul Husna, atau bacaan doa dari ayat al-Qur’an, atau berupa
puasa sunnah, mandi malam (qiyamulail), bahkan ada yang lebih berat dari
sekedar riyadhah-riyadhah biasa. .
Terlebih di saat saya akan melaksanakan suatu kegiatan yang
sifatnya tentatif saya selalu meminta riyadlah (amalan) Seperti saat mau Ujian
Semester, Ujian Negara dan Ujian Lisan Negara karena pada masa itu saya masih
kuliah sekitar 1989-1994 .
Suatu hari , yakni hari jum’at tanggal 8 Juli 1994 di sore hari
ba’da ashar sekitar pukul 16.00, saya
bermaksud ingin menghadap kepada Pangersa Abah untuk soan dan memohon doanya
karena akan mengikuti Ujian Lisan Negara. Waktu itu Pangersa Abah sedang berada di ruang
televisi di Madrasah, kemudian saya memberanikan diri menghadap untuk soan
memohon doa kepada Pangersa agar ujiannya di beri kelancran. Di ruangan tersebut ada Pangersa Umi, ada
saudara Utar yang selalu mendampingi Abah. Kemudian saya memberanikan diri
untuk berbicara langsung kepada Pangersa Abah : Bah...abi enjing dinten Minggu
bade ngiringan Ujian Lisan Negara, nyuhunkeun pidoana ti Abah... lalu Abah
menjawab dengan jelas dengan sebuah pertanyaan :” sok ngaji tara ? saya sangat
tersentak mendengar pertanyaan tersebut , dan saya merasa malu karena Abah tahu
kalau saya males untuk mengaji kitab kuning. Saya hanya terdiam dan dengan
jujur dan tak tahu malu saya pun menjawabnya :’ kadang-kadang bah....namun
setelah itu Pangersa Abah hanya tersenyum dan berkata :’ heug heug...
jung...jung, dan akhirnya pun saya pamit dengan segudang pertanyaan.
Selanjutnya keesokan harinya,
tepatnya pada Minggu pagi tanggal 10 Juli 1994 sebelum berangkat ke
kampus saya pun tak ketinggalan soan lagi bersama para ikhwan lainnya sambil
ngantri di madrasah. Dilanjutkan dengan berangkat menuju kampus dan ujian pun berlangsung. Tak
henti-hentinya saya selalu robitoh kepada Pangersa Abah agar dilancarkan dalam
menjawab pertanyaan sebelum datang giliran. Akhirnya tiba saatnya giliranku
dipanggil untuk diuji . saat itu pengujinya dari IAIN SGD Bandung bernama Dr.
Acep Dzazuli.
Pertanyaan pertama setelah saya duduk dikursi peserta ujian berupa
pertanyaan ringan saja ( mungkin agar saya tidak geumpeur) :
Dr. Acep
: sebelum kuliah di IAILM pernah
mesantren tidak?
Saya :
pernah
Dr. Acep
: di mana?
Saya : di Pesantren Cipasung (sambil sekolah di MAN)
Selanjutnya
pertanyaan yang serius :
Dr
Acep : (pa Dr. Acep sambil pegang sebuah
kitab kuning dan memperlihatkan pada saya dan bertanya : coba baca judulnya
kitab apa?
Saya : Ahkamul Mu’amalah Syar’iyah
Dr. Acep
: Siapa pengarangnya ?
Saya : Ali Khofif
Dr. Acep
: bagus....
Dr. Acep
: coba cari dari kitab tersebut materi apa yang saudara siap? Lalu baca!!!
Saya : bla..bla..bla sayanya membacanya bab
tentang Hiwalah (pengalihan utang piutang dalam masalah ekonomi Islam).
Dr.
Acep : Bagus
Dr.
Acep : sambil melihat kitab yang saya
baca , lalu bertanya dan sambil menunjuk kalimat pertamanya , dan bertanya mengapa
dibaca dhommah ?
Saya : karena sebagai Mubtada ( awal kalimat
).
Setelah
pertanyaan tersebut, selesailah ujian lisan itu, dan saya disuruh keluar
ruangan.
Selama
saya diuji yang teringat dipikiran hanyalah ucapan Pangersa Abah “ sok ngaji
tara”, ternyata semua pertanyaan ujian lisan bagian saya tentang ngaji kitab
kuning, sebagaimana yang Abah katakan beberapa hari sebelumnya. Itu artinya
Pangersa sudah tahu lebih dulu tentang apa yang akan terjadi berkaitan dengan
pertanyaan –pertanyaan yang akan dilontarkan oleh penguji kepada saya.
Jadi
jelaslah bahwa Pangersa Abah adalah seorang guru Mursyid Kamil mukammil yang
mengetahui tentang hal ihwal yang akan terjadi.
Dikisahkan
pula dari seorang ikhwan (Wakil Talqin).
Beliau adalah KH. R Abdullah Syarif yang dikenal dengan panggilan
Abah Akeh, beliau seorang wakil talqin pertama Pangersa Abah Anom yang wafat
pada tahun 2013 diusia satu abad.
Beliau
pernah bercerita kepada ayahanda (Ahdi Nuruddin), saat beliau sehabis
silaturahmi dari Pangersa Abah, akan tetapi beliau tidak menceritakan kapan
silaturhim itu. Beliau hanya bercerita singkat mengenai obrolannya dengan
Pangersa Abah saja.
Singkat cerita Abah Akeh setelah silaturahmi kepada Pangersa Abah
berpamitan akan pulang ke Ciawi, akan tetapi Pangersa Abah melarangnya,
Pangersa
Abah berkata :” nginep sapeuting dei jeung Abah”,
Abah Akeh
membalas perkataan Abah :” bde ngeureuyeuh wae bah”.
Pangersa
Abah :” heug ngke oge papanggih jeung mobil”.
Setelah Pangersa Abah bilang seperti itu , akhirnya Abah Akeh tanpa
berfikir panjang berangkatlah pulang ke
Ciawi sambil berjalan kaki menuju jalan raya. Abah Akeh berharap perjalanan
pulangnya ada kendaraan yang membawanya
pulang ke rumahnya. Sambil
berjalan kaki terus berharap ada kendaraan yang akan membawanya pulang. Tapi
sejauh perjalanan sudah dilalui tidak juga kunjung ada kendaraan yang
membawanya. Hanya kendaraan yang berpapasan saja dari arah yang berlawanan yang
bertemu di jalan raya tersebut, sebagaimana ucapan Pangersa Abah “ ngke oge
papanggih jeung mobil” . memang bertemu dengan mobil akan tetapi tidak satu arah / tujuan sehingga
tidak mungkin untuk bisa membawa pulang . Walhasil sampai juga ke rumahnya dari
Suryalaya ke Ciawi dengan berjalan kaki
, sebagaimana ucapan Abah Akeh sendiri “bade ngeureuyeuh we bah”.
Artinya apapun yang dikatakan Pangersa Abah, selalu benar adanya
dan selalu kondisional. Oleh karena itu bagi ikhwan semua, semakin percaya
bahwa Pangersa Abah adalah seorang yang berilmu tinggi, berakhlak mulia,
berbudi luhur penuh wibawa dan kharismatik serta sumber ketauladanan bagi
ikhwan dan akhwat. Karena beliau seorang Wali Mursyid Kamil Mukammil dan Sufi
abad ini dan sebagai Sulhonul Auliya .terima kasih Abaaaah...khsususon ila
hadlroti syaekhuna wa mursyiduna al-fatihah.....
[1] Ajid
Thohir, Historisitas dan Signifikansi Kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir
al-jaelani dalam Historiografi Islam, Kementrian Agama RI Badan Litbang dan
DIKLAT, Jakarta, 2011
[2] Talqin
secara harfiyah berarti intruksi. Disini berarti bahwa Abah Anom mewakilkan
ayahnya dalam membai’at murid-murid baru.
[3] Ajid
Thohir,
[4] Tafsir
Ibnu Katisr, Jilid III, Hal 83
[5] Kitab
al-Auliya dan kitab al-Hilya, I, Hal 6
[6] Kitab
al-Auliya
[7] Sebutan
bagi kediaman Pangersa Abah
Komentar
Posting Komentar