HUKUM WAKAF TUNAI
HUKUM WAKAF TUNAI
DALAM PERUNDANG-UNDANGAN WAKAF DI INDONESIA
DAN
PELEMBAGAANNYA UNTUK MENCAPAI TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF
Oleh
: Solihah Sari Rahayu
ABSTRAK
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 merupakan usaha awal
pembaruan hukum nasional di bidang perwakafan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41
tahun 2004 didasarkan pada keprihatinan terhadap pengelolaan dan pengembangan
wakaf di Indonesia yang belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial ekonomi
umat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui sejauhmana optimalisasi
lembaga-lembaga wakaf untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf, upaya-upaya nadzir dalam mewujudkan tujuan
dan fungsi wakaf serta bagaimana
kedudukan wakaf tunai bagi pemberdayaan kesejahteraan umat, sehingga dengan
tercapainya tujuan penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum dan pelaksanaan pengaturan benda wakaf dalam mewujudkan perananya sebagai pionir lembaga sosial keagamaan, yang
mengembangkan konsep kemitraan dengan para nadzir dan pihak –pihak terkait .
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) untuk
melakukan perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas
dengan jiwa dan semangat Undang-Undang tersebut. Salah satu regulasi baru dalam
Undang-Undang wakaf adalah wakaf tunai.
Wakaf tunai merupakan hasil dari perubahan pemikiran, baik terkait dengan obyek
wakaf, sumber-sumber wakaf dan sistem pengelolaannya.
Badan Wakaf Indonesia ( BWI)
merupakan salah satu institusi baru, yang melakukan tugas-tugasnya dengan mengoptimalkan kelembagaannya melalui
pembinaan terhadap para penyelenggara wakaf dan menjalin kerjasama dengan
lembaga terkait seperti Lembaga Keuangan Syari’ah. Nadzir adalah salah satu
unsur yang memegang peran penting. Upaya yang dilakukan nadzir adalah mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf dengan cara yang produktif yakni
investasi, penanaman modal, produksi,
perdagangan, agrobisnis, kemitraan dll. Berdasarkan upaya-upaya nadzir dan
peran aktif dari BWI maka kedudukan
wakaf tunai menjadi sangat jelas baik dari segi tata hukum nasional maupun dari segi fungsi wakaf itu
sendiri.
Kata Kunci : Wakaf Tunai, Badan Wakaf
Indonesia
I.
Pendahuluan
Tujuan didirikannya suatu
negara tidak lepas dari cita-cita bangsa itu sendiri pemerintah sebagai
penyelenggara negara berkewajiban merealisasikan cita-cita bangsa tersebut demi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan berbagai fasilitas yang sudah
dimiliki.
Salah satu langkah strategis
untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagaimana tujuan dan cita-cita bangsa
Indonesia , dipandang perlu meningkatkan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan
yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, melainkan juga memiliki kekuatan
ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum,
sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah.
Keabsahan perwakafan di Indonesia
sejak zaman penjajahan Belanda sampai
sekarang selalu mengalami perubahan secara bertahap baik dari segi
pengelolaannya maupun obyeknya.
Hadirnya Undang-Undang No. 41
tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No 41 tahun 2004, diharapkan dapat menyempurnakan dan
menambahkan hal-hal baru sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif dan
profesional, sebagaimana dinyatakan fungsi wakaf dalam pasal 5 Undang-Undang tentang Wakaf no 41 tahun 2004
berbunyi : Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Lahirnya Undang-Undang No. 41
tahun 2004 didasarkan pada keprihatinan terhadap pengelolaan dan pengembangan
wakaf di Indonesia yang memiliki jumlah tanah wakaf yang cukup banyak , tetapi
sampai saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi kesejahteraan
sosial dan ekonomi umat di bandingkan dengan negara lain, seperti Negara Mesir,
Negara Saudi Arabia, Negara Yordania dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian Pusat
Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 responden
nadzir di 11 Propinsi menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%)
daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga
menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada
peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada
perkotaan (41%). Sedangkan para
nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan
dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus
ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak
dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi
professional (16%) dan berbadan hukum (18%).
Berdasarkan pertimbangan
tersebut, konsep wakaf harus berubah baik yang menyangkut sumber maupun sistem
pengelolaan. Sumber-sumber wakaf perlu digali terus menerus, kemudian
diberdayakan melalui lembaga ekonomi dan
lembaga keuangan syari’ah sehingga dapat berperan dan menfasilitasi peningkatan ksejahteraan masyarakat.
Terjadinya perubahan
masyarakat yang semakin maju menuntut adanya perubahan konsep wakaf baik dari
segi pengertian, sumber dan pengelolaanya. Dilihat dari segi pengelolaannya,
wakaf di Indonesia belum terlihat jelas manfaatnya bagi kesejahteraan umat . Oleh karena itu penulis dapat mengambil suatu permasalahan yang akan
dibahas antara lain : optimalisasi lembaga perwakafan dalam merealisasikan tujuan dan fungsi wakaf,
upaya –upaya Nadzir dalam merealisasikan
tujuan dan fungsi wakaf dan bagaimana kedudukan wakaf tunai bagi pemberdayaan
kesejahteraan umat.
II.
Pembahasan
A.
Optimalisasi Lembaga-Lembaga Wakaf Dalam
Merealisasikan Tujuan dan Fungsi Wakaf
Aparat penegak hukum
wakaf adalah wakif, nazhir, dan Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) , sedangkan dalam Undang-Undang No.
41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat institusi baru sebagai pembina
penyelenggara wakaf di Indonesia , yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Untuk memperkuat
kedudukan Badan Wakaf Indonesia maka diterbitkan Keputusan Presiden pada tahun 2007 , E001/B/A011
nomor 75 untuk pembentukan Badan Wakaf dan disusul Keputusan Menteri nomor 04
tahun 2009 tentang administrasi wakaf uang, dan memberikan amanat pada BWI
untuk mengelola harta benda wakaf skala internasional dan nasional.[1]
Kedudukan Badan Wakaf Indonesia adalah
lembaga yang berkedudukan sebagai media untuk memajukan dan mengambangkan
perwakafan nasional.[2] Disamping itu dalam Undang-Undang
Wakaf juga ditetapkan bahwa Badan Wakaf Indonesia bersifat independen dalam
melaksanakan tugasnya[3] Badan Wakaf Indonesia
berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk
perwakilan di provinsi dan atau kabupaten/ kota
sesuai dengan kebutuhan.[4]
Dalam penjelasan undang-undang ditetapkan
bahwa pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah
Badan Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat[5]
Adapun tugas Badan Wakaf Indonesia adalah :
1. Melaksanakan
pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
2. Mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf berskala nasional maupun internasional
3. Memberikan
persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda
wakaf;
4. Memberhentikan
dan mengganti nazhir;
5. Memberikan
persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
6. Memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang
perwakafan[6]
Enam tugas Badan Wakaf Indonesia yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dapat
dibedakan menjadi tiga;
Pertama, tugas Badan Wakaf Indonesia yang
berkaitan dengan nazhir, yaitu pengangkatan, pemberhentian, dan pembinaan
nazhir.
Kedua, tugas Badan Wakaf Indonesia yang berkaitan
dengan obyek wakaf, yaitu pengelolaan dan pengembangan obyek wakaf yang
berskala nasional atau internasional ,
serta pemberian persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
Ketiga, tugas Badan Wakaf Indonesia yang
berkaitan dengan pemerintah, yaitu memberi saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.[7]
Dalam melaksanakan
tugasnya, Badan Wakaf Indonesia bekerja sama dengan isntansi pemerintah pusat
dan daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak
lain yang dipandang perlu.[8] Disamping itu, Badan Wakaf
Indonesia juga harus memerhatikan saran dan pertimbangan Menteri Agama dan
Majelis Ulama Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.[9]
Kerjasama yang dijalin
Badan Wakaf Indonesia dengan instansi pemerintah maupun organisasi masyarakat
dan badan hukum antara lain dengan :
1. Kepala Kantor
Urusan Agama yang selanjutnya disingkat
dengan KUA adalah pejabat Departemen
Agama yang membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.
2. Lembaga
Keuangan Syariah, yang selanjutnya disingkat LKS adalah badan hukum Indonesia
yang bergerak dibidang keuangan syari’ah.
3. Bank Syari’ah
adalah Bank Umum Syari’ah , Unit Usaha Syari’ah dari bank Umum Konvensional
serta Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah.
4. Organisasi
lain yang ada di masyarakat.
Dalam acara workshop internasional tentang
“Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Wakaf Produktif”, yang diselenggarakan oleh
International Institute of Islamic Thought (IIIT) dengan Direktorat jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama di Batam, pada tanggal
7-8 januari 2002, terungkap pernyataan sejumlah pakar mengenai kesediaan bank syari’ah untuk menjadi pengelola wakaf
uang (cash waqf).[10]
Manajemen wakaf tunai
melibatkan tiga pihak utama: (1) wakif, (2) nazhir, yang sekaligus dapat bertindak
sebagai manajer investasi , dan (3) mauquf
alaih (beneficiary) yang didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak.
Dalam Pandangan Antonio, lembaga-lembaga investasi yang bergerak di bidang
pasar modal dapat menjalankan fungsi nazhir. Namun kenyataan membuktikan bahwa
pasar modal cenderung volatil (mudah berubah pendirian). Oleh karena itu
bank-bank syari’ah lebih tepat jika ditunjuk untuk menjadi manajer investasi
wakaf uang dengan alasan bahwa bank syari’ah mampu :
1. Mengakses
calon wakif,
2. Menginvestasikan
dana wakaf,
3. Melakukan
administrasi beneficiary,
4. Mendistribusikan
hasil investasi dana wakaf,
5. Bank syari’ah
mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan dikontrol oleh regulasi yang
ketat.[11]
Lembaga Keuangan Syari’ah yang dalam hal ini
adalah Bank Syari’ah ditunjuk oleh
Menteri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Menyampaikan
permohonan secara tertulis kepada Menteri,
2. Melampirkan
anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum,
3. Memiliki
kantor opreasional di wilayah Republik Indonesia;
4. Bergerak di
bidang keuangan syari’ah,
5. Memiliki
fungsi menerima titipan (wadi’ah).
Mekanisme
penerimaan wakaf uang, bahwa wakaf uang
tidak dapat langsung disalurkan kepada nazhir, tapi harus melalui LKS-PWU. Saat
ini, LKS-PWU yang sudah siap adalah lima bank syariah, yaitu Bank Muamalat,
Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah.[12]
Adapun tugas Lembaga Keuangan Syari’ah
Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) adalah
sebagai berikut :
1. Mengumumkan
kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang;
2. Menyediakan
blanko Sertifikat Wakaf uang;
3. Menerima
secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir;
4. Menempatkan
uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah
atas nama Nazhir yan ditunjuk Wakif;
5. Menerima
pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir
pernyataan kehendak Wakif;
6. Menerbitkan
Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan
sertifikat kersebut kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada
Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif
7. Mendaftarkan
wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir.[13]
Berdasarkan pernyataan diatas bahwa prosedur
wakaf uang adalah bahwa seorang Wakif mewakafkan uang melalui LKS-PWU yang
dilakukan secara tertulis, selanjutnya LKS-PWU menerbitkan Sertifikat Wakaf
Uang. Penempatan uang wakaf melalui LKS-PWU dimaksudkan sebagai titipan (wadi’ah). Selanjutnya Nazhir dapat
mengelolanya dengan memperhatikan kehendak Wakif serta rekomendasi manajer
investasi (jika ada).
Melihat potensi dana wakaf yang sangat besar, maka perlu
ada profesionalisasi dalam pengelolaannya (dalam hal ini dewan nadzir).
Oleh karenanya dalam kaitan ini, keberadaan bank-bank syariah dipandang sebagai
lembaga alternatif yang cukup representatif dalam mengelola dana amanah
tersebut.
Peranan perbankan syariah dalam mengelola wakaf tunai,
dapat dilihat melalui ketentuan-ketentuan perbankan dalam kegiatan
usaha bank . Ketentuan tersebut yang terkait dengan masalah wakaf, antara lain:
SK Dir.BI No.32/34/KEP/DIR tanggal 19 Mei 1999, tentang bank umum berdasarkan
prinsip syariah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul maal yaitu menerima dana
yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau
pinjaman kebajikan (qardhul hasan).” [14]
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa secara umum
bank syariah dapat mengambil peran sebagai penerima dan penyalur dana wakaf,
sedangkan peran bank syariah sebagai pengelola dana wakaf tidak disebutkan secara
eksplisit. Wewenang pengelolaan ini dipandang penting karena berbeda dengan
dana sosial lainnya, seperti zakat, infaq, dan shadaqah. Dana wakaf tidak
dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan harus dikelola terlebih dahulu
untuk kemudian hasilnya dibagikan kepada yang berhak.
Adapun peranan perbankan syariah dalam Investasi wakaf
setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan
operasional Investasi wakaf sebagai berikut:
(1) Jaringan
Kantor. Jaringan kantor perbankan syariah relatif lebih luas dibandingkan
dengan lembaga keuangan syariah lainnya. Luas jaringan tersebut mencapai 174
kantor di hampir seluruh wilayah Indonesia serta tingkat pertumbuhan jumlah
kantor bank syariah yang mencapai 2,1% per bulan. Oleh karena itu, fenomena ini
merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan sosialisasi penggalangan dana
wakaf serta penyalurannya.
(2) Kemampuan Sebagai Fund Manager. Lembaga
perbankan adalah lembaga pengelola dana masyarakat. Dengan sendirinya, lembaga
tersebut haruslah merupakan lembaga yang memiliki kemampuan untuk mengelola
dana dan diharapkan dapat berperan sebagai lembaga alternatif yang mampu
mengelola dana wakaf tunai yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik, khususnya kepada wakif.
(3) Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta Distribusi.
Perbangkan syariah adalah lembaga perbankan yang memiliki pengalaman,
informasi, serta peta distribusi yang cukup luas sehingga pengelolaan wakaf
tunai diharapkan tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana saja, akan
tetapi juga dapat mengefektifkan penyalurannya sesuai dengan yang diinginkan.
(4) Citra Positif. Dengan adanya ketiga hal di atas,
diharapkan akan menimbulkan citra positif pada gerakan wakaf tunai itu sendiri
maupun pada perbankan syariah pada khususnya.
Untuk
lebih meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf, maka Badan Wakaf Indonesia dalam
mendayagunakan wakaf uang harus
dilakukan secara produktif. Pengelolaannya melalui investasi produk-produk
syariah dan instrumen keuangan syariah, baik di sektor riil maupun finansial.
Hasilnya juga harus digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat,
seperti pemberdayaan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan
kualitas pendidikan serta kesehatan. Sehingga tujuan wakaf akan tercapai sesuai
dengan fungsinya.
B. Upaya-upaya
Nadzir Dalam Merealisasikan Tujuan dan Fungsi Wakaf
Memahami fenonema perubahan masyarakat yang semakin maju
meniscayakan perubahan konsep wakaf, baik yang terkait dengan obyek dan
sumber-sumber wakaf maupun terkait transaksi dan sistem pengelolaannya.[15]
Al-Qur’an mengisyaratkan adanya peran
manusia yang besar terkait dengan rekayasa perubahan , baik bersifat
konstruktif maupun destruktif, seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini :
لَهُۥ
مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا
بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ
وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ ١١
Artinya :” Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka bumi dan di belakangnya, mereka manjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada mereka sendiri.. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuat kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya
dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[16]
Dalam konteks wakaf, orang yang paling berperan untuk melakukan perubahan adalah nadzir.
Dengan demikian nadzir adalah orang yang paling bertanggung jawab apabila wakaf
ternyata tidak produktif atau terlantar. Oleh karena itu pihak nadzir dituntut
untuk menjaga dan mengembangkan wakaf melalui upaya-upaya produktif agar wakaf dapat memberikan manfaat yang
optimal.[17]
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 sebagai rekayasa sosial merupakan
perundang-undangan yang dapat melakukan perubahan terhadap perwakafan di
Indonesia, sehingga dapat menyempurnakan peraturan perundang-undangan
sebelumnya. Terutama yang terkait dengan konsep, ruang lingkup dan pengelolaan
dan pelembagaannya.
Adapun pertimbangan lahirnya undang-undang wakaf
adalah karena praktik wakaf di masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan
efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara
sebagaimana mestinya, bahkan banyak kasus wakaf yang terlantar dan berubah kepemilikannya ke tangan pihak
ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian tidak hanya disebabkan karena
kelalaian atau ketidakmampuan nadzir, melainkan juga karena sikap masyarakat
yang tidak peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk
kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakafnya. [18]
Pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa nadzir adalah pihak
yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan
sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 9
Undang-Undang No 41 tahun 2004 menyebutkan bahwa nadzir meliputi :
a.
Perseorangan
b.
Organisasi,
atau
c.
Badan
hukum.[19]
Berdasarkan pasal diatas bahwa nadzir adalah merupakan
salah satu unsur wakaf dan memegang peran penting dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan peruntukannya. Nadzir dapat merupakan perorangan, organisasi atau badan
hukum yang wajib didaftarkan pada Menteri
melalui KUA atau perwakilan BWI yang ada di provinsi atau
kabupaten/kota, guna memperoleh tanda bukti pendaftaran nadzir.
Adapun tugas nadzir terdapat dalam pasal 11 Undang-Undang No 41 Tahun 2004 berikut ini :
a.
Melakukan pengadministrasian
harta benda wakaf;
b.
Mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukannya;
c.
Mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf;
d.
Melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. [20]
Dalam melaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh
persen).[21]
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Nadzir memperoleh
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.[22]
Selain memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf
Indonesia , nadzir juga disyaratkan yang memiliki Sumber Daya Manusia yang
unggul. Dalam konteks manajemen nadzir termasuk Sumber Daya Manusia yang
merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi-bisnis karena memiliki dua
keunggulan , yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Keunggulam komparatif adalah keunggulan suatu
bangsa (dan atau masyarakat) karena
berbasis pada kekayaan alam. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dalam berbagai bidang yang
dapat dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat. Sedangkan keunggulan kompetitif
adalah terbentuknya sumber
daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing sehingga dapat
memanfaatkan sumber daya alam sebesar-besarnya bagi kemajuan suatu bangsa[23]
Salah satu sumber
daya yang harus dimiliki nadzir adalah harus berjiwa dan memiliki keterampilan
wiraswasta. Dengan kata lain , sumber daya nadzir yang diharapkan adalah sumber
daya yang produktif.
Berdasarkan pasal-pasal diatas terdapat penambahan dan
pengembangan yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya, penambahan dan
pengembangan tersebut antara lain :
Pertama, undang-undang menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW),
didaftarkan, serta diumumkan sesuai dengan tatacara yang diatur dalam
undang-undang. Tujuannya untuk menciptakan
tertib hukum dan tertib administrasi dalam rangka melindungi harta benda
wakaf.
Kedua, ruang lingkup wakaf tidak terbatas pada benda tidak bergerak
seperti tanah dan bangunan, tetapi termasuk benda-benda bergerak seperti
perlengkapan kantor, kendaraan, uang,
logam mulia, surat berharga, kekayaan intelektual, hak sewa, hak menempati, dan
barang-barang yang memiliki nilai ekonomi lainnya.
Ketiga, peruntukan wakaf tidak semata-mata untuk kepentingsn ibadah dan
sosial, tetapi juga di arahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Dengan kata lain,
peruntukan wakaf diarahkan untuk dikembangkan dan di berdayakan agar dapat
memberikan manfaat yang optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, peruntukan wakaf yang dinyatakan oleh wakif dan di tuangkan dalam
bentuk Akta Ikrar Wakaf tidak terbatas pada wakaf
khairi, tetapi juga wakaf ahli ,
karena wakaf ahli termasuk memajukan kesejahteraan umum walaupun hanya dalam
lingkup kerabat yang didasarkan pada hubungan darah atau nasab dengan wakif.
Kelima, persyaratan nadzir harus terdiri dari orang-orang mampu,
terpercaya (amanah) dan profesional dinyatakan dalam undang-undang secara
tegas, dengan tujuan untuk menjamin keamanan harta benda wakaf dari kepunahan
dan dari campur tangan pihak ketiga yang akan merugikan wakaf.
Keenam, undang-undang mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI)
yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Wakaf
Indonesia merupakan lembaga
independen yang bertugas untuk melakukan
pembinaan terhadap nadzir dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf.[24]
Nadzir dalam melaksanakan tugasnya harus berpijak pada
tujuan dan fungsi wakaf, seperti yang disebutkan dalam pasal 4 dan 5 di bawah
ini :
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan
fungsinya.[25]
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.[26]
Berdasarkan pasal diatas bahwa rumusan dan fungsi wakaf
tersebut menunjukan langkah maju, fungsi wakaf tidak hanya menyediakan berbagai sarana ibadah
dan sosial, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara umum seperti memfasilitasi sarana dan prasarana ekonomi, sarana dan
prasarana pendidikan, dan sebagainaya.
Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 ditetapkan bahwa
untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi :
1.
Sarana dan
kegiatan ibadah.
2.
Sarana dan
kegiatan pendidikan serta kesehatan.
3.
Bantuan
fakir miskin , anak terlantar, yatim piatu, bea siswa.
4.
Kemajuan
dan peningkatan ekonomi umat.
5.
Kemajuan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan
peraturan perundang-undangan.[27]
Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 pasal
23 diatur mengenai waktu dan pihak yang dapat menentukan peruntukan benda
wakaf. Pertama , pihak yang berhak menentukan peruntukan benda wakaf saat ikrar pelaksanaan wakaf dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar adalah nadzir. Kedua, pihak yang dapat
menentukan peruntukan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf apabila apabila wakif tidak menentukan
peruntukan benda wakaf adalah nadzir.[28]
Penjelasan Undang-Undang No 41 Tahun 2004 menetapkan
bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif
antara lain dengan cara : pengumpulan, investasi , penanaman modal, produksi,
kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan
teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan,
pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan
usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari’ah.[29]
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, dalam
bentuk wakaf uang dilakukan dengan :
Pertama, benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada
produk-produk Lembaga Keuangan Syari’ah atau instrumen keuangan syari’ah.
Kedua, nadzir hanya dapat mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf uang pada Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) dalam jangka waktu tertentu apabila LKS-PWU menerima wakaf uang untuk
jangka waktu tertentu.
Ketiga, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan
pada bank syari’ah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Keempat, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan
dalam bentuk investasi di luar bank harus diasuransikan pada asuransi syari’ah.[30]
Berdasarkan tugas nadzir, pengelolaan dan pengembangan
serta peruntukan harta benda wakaf maka
upaya-upaya yang dilakukan oleh nadzir dalam rangka mewujudkan tujuan dan
fungsi wakaf sudah sangat memadai ,
hanya mungkin dalam pelaksanannya masih memerlukan pengontrolan dan pengawasan.
Selain upaya –upaya yang dilakukan oleh nadzir yang
terdapat dalam tugas dan tanggung jawabnya, peningkatan kualitas nadzir dan
pemberdayannya masih sangat diperlukan. Karena nadzir dalam kontek manajemen
termasuk sumber daya manusia (SDM) atau sumber daya insani (SDI) yang merupakan
faktor penting dalam kegiatan ekonomi-bisnis.
C.
Kedudukan
Wakaf Tunai bagi Pemberdayaan Kesejahteraan Umat
Kedudukan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf
semakin jelas, tidak saja dari segi
hukum Islam , tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya , dengan
diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif,
sehingga persoalan khilafiyah tentang
wakaf tunai telah selesai.
Kedudukan wakaf tunai disamping sebagai amal
sholeh (sodaqoh jariyah), juga sebagai pranata sosial yang telah sejak dulu
hidup dalam masyarakat. Wakaf tunai memiliki dimensi sosial yaitu sebagai upaya pemecahan masalah-masalah
sosial dan kemiskinan, seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi
umat yang bermuara pada prinsip ta’awun.
Wakaf memiliki kemanfaatan yang luar biasa dari sekedar
sedekah biasa. Wakaf dapat dikelola secara produktif dan dikembangkan menjadi
lembaga Islam yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Konsep kemanfaatan terlihat dalam keistimewaan wakaf
atas sumber-sumber jaminan social yang lain seperti berikut ini :
Pertama, berkelanjutan, dimana
kemanfaatan wakaf selalu berlangsung selama barang yang diwakafkan produktif,
sehingga sumber ini dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya.
Kedua, menyeluruh, maksudnya adalah
dalam dua hal : a) jenis kemanfaatan; dimana wakaf dapat menutupi banyak
bidang, baik dalam bidang konsumsi (penghidupan), produksi dan jasa
(pendidikan, kesehatan dan lain-lain). b) jenis orang-orang yang memanfaatkan;
dimana wakaf dapat bermanfaat bagi keluarga, kelompok, bahkan semua umat.
Demikian itu terkembali kepada penentuan pewakaf tentang siapa yang diwakafi.
Ini berarti bahwa wakaf tidak selalu bersandar kepada tolok ukur kebutuhan,
namun seringkali wakaf bersandar kepada tolok ukur akhlak yang lain, atau
memberikan pelayanan umum secara cuma-cuma; seperti orang yang mewakafkan
hasil lahan tanah kepada para pencari
ilmu di sekolah tertentu dengan tanpa mensyaratkan ketidakmampuan mereka, dan seperti orang yang mewakafkan air
sumur kepada penduduk suatu daerah, baik yang kaya maupun yang miskin tanpa
pilih kasih. [31]
Konsep pemanfaatan
identik dengan konsep pemberdayaan. Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti kuat, mendapat awalan “ber”
menjadi “berdaya” artinya mempunyai kekuatan dan kemampuan. Dalam bahasa
Inggeris empowerment artinya memberi
kecakapan atau kemampuan ( to give
ability or enable to) atau memberi kekuatan atau kekuasaan (to give power or authority to). Dalam
judul penelitian, yang dimaksud pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh
orang atau kelompok orang atau lembaga untuk meningkatkan kemampuan atau
kemandirian seseorang atau kelompok orang atau lembaga.[32]
Pemberdayaan wakaf untuk menghasilkan
manfaat wakaf yang optimum dilakukan antara lain dalam bentuk pemberdayaan para
pengelola wakaf . Dalam wakaf terdapat dua pihak : (1) pihak yang
diberdayakan dan (2) pihak yang
memberdayakan, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Negara
Indonesia saat ini hampir memenuhi ciri-ciri negara miskin. Antara lain
pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan populasi tinggi, produktifitas
rendah, pengangguran tinggi, penggunaan sumber daya rendah kelembagaan dan
infrastruktur tidak memadai. Sehingga mayoritas masyarakat Indonesia termasuk
kategori yang harus diberdayakan.
Konsep
kesejahteraan selalu dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat
yang makin baik dan segala sesuatu yang akan mendatangkan kesengsaraan makin
berkurang sehingga kualitas hidup meningkat baik moral maupun material.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan pokok
kesejahteraan sosial dalam pasal 2 ayat (1) menekankan kesejahteraan lahir
batin dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan materiil dan spirituiil.[33]
Undang-undang
tersebut merumuskan bahwa kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial materiil maupu spirituiil yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniyah, rohaniyah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak-hak azasi serta kewajiban
manusia sesuai dengan pancasila.
Rumusan ini jelas menggambarkan kesejahteraan sebaai kemakmuran yang telah
dicapai oleh sekelompok masyarakat atau bangsa , yaitu suatu keadaan yang serba
terpenuhi segala kebutuhannya baik yang bersifat pisik maupun non pisik.[34]
Menurut
Abraham Maslow seperti dikutip juhaya S. Praja, bahwa kesejahteraan masyarakat
meliputi berbagai aspek dan diperoleh secara bertahap.[35]
Yaitu tahap pertama terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat pisik (physiological needs) atau terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok (basic needs)
seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan perawatan kesehatan.
Kesejahteraan tahap berikutnya terpenuhinya kebutuhan rasa aman ( safety needs) dari kemungkinan adanya
ancaman yang datang dari dalam atau dari
luar. Kesejahteraan tahap berikutnya lagi terpenuhinya kebutuhan sosial (social needs) yaitu kebutuhan akan
dirinya yang menjadi bagian dari masyarakatnya hingga tumbuh rasa kasih sayang
, rasa ingin menolong dan ingin membantu anggota masyarakatnya. Kesejahteraan
tahap berikutnya lagi terpenuhinya kebutuhan adanya pengakuan (esteem needs) yaitu kebutuhan ingin
dihargai oleh orang lain atau ingin dihirmati.
Kesejahteraan tahap terakhir terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri ( self actualization needs) yaitu
kebutuhan akan penyaluran diri atas bakat , minat dan dan kemampuannya dalam
bentuk nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
Terkait
dengan wakaf tunai untuk kesejahteraan umat dan dalam fungsi sosialnya wakaf
tunai merupakan asset yang sangat bernilai
dalam pembangunan lahir batin. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan
di kalangan umat dan penanggulanagan kemiskinan merupakan sasaran dari wakaf
tunai. Wakaf tunai memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar
yang tidak dimiliki benda lain , serta tidak mengenal batas pendistribusian.
Uang,
dalam hal ini mata uang rupiah, berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
termasuk ke dalam benda wakaf. Undang-Undang
tentang Wakaf tersebut yang
diproyeksikan sebagai sarana rekayasa social (social engineering) dapat
menggali manfaat dari fungsi uang sebagai sarana pembangunan, dakwah, social,
pendidikan umat Islam dan lain-lain.
Uang memiliki fungsi ekonomi, yakni, 1)
sebagai alat pertukaran (mediun of exchange for transacsion), 2) sebagai
satuan nilai (unit of account).[36]
Sejalan dengan fungsi uang sebagai alat tukar, maka
pemanfaatan wakaf uang dialokasikan untuk usaha yang sifatnya produktif.
Sebagaimana diungkapkan Ibnu Khaldun dan
dikutip oleh M Umer Chapra[37]
bahwa Ibnu Khaldun sangat menekankan peranan investasi untuk harta kekayaan
yang dimiliki, dia berujar bahwa kekayaan akan tumbuh dan berkembang dan bahkan bertambah manakala kekayaan
tersebut dihabiskan untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi hak-hak masyarakat,
serta mengurangi penderitaan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat akan menjadi
semakin baik, memperkuat negara, menjadikan negara makmur dan mencapai
kewibawaan negara dan daulah.
Mengingat peran uang yang sangat sentral dalam kegiatan
transaksi ekonomi, maka sudah sangat tepat adanya mobilisasi pemanfaatan wakaf
tunai, karena pada prinsipnya wakaf itu
menyerahkan harta benda yang bermanfaat baik secara muabbad maupun muaqqot.
Adapun sasaran pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf
uang menurut Prof. Mannan antara lain
adalah untuk peningkatan standar hidup orang miskin, rehabiitasi orang cacat,
peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh, membantu pendidikan anak yatim
piatu, beasiswa, akademi dan universitas, mendanai riset, mendirikan rumah
sakit, menyelesaikan masalah-masalah social non muslim dan membantu proyek-proyek
untuk penciptaan lapangan keja yang penting untuk menghapus kemiskinan sesuai
dengan syari'at Islam.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Wakaf telah menjadi salah satu
instrumen dalam ekonomi Islam yang mempunyai tujuan untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat. Hadirnya wakaf uang dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 akan sangat membantu dalam mensejahterakan umat. Hanya saja
bagaimana kelembagaan wakaf untuk dapat mengelola harta benda wakaf sehingga
tujuan dan fungsi dari wakaf tercapai. Di bawah ini ada tiga kesimpulan yang
merupakan jawaban dari ketiga permasalahan tersebut antara lain :
1. Optimalisasi
lembaga-lembaga wakaf dalam rangka mendukung tercapainya tujuan dan fungsi
wakaf maka dilakukan kerjasama antara lembaga-lembaga terkait yakni :
a. Kepala Kantor
Urusan Agama yang selanjutnya disingkat
dengan KUA adalah pejabat Departemen
Agama yang membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.
b. Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, yang selanjutnya disingkat LKS-PWU adalah
badan hukum Indonesia yang bergerak dibidang keuangan syari’ah.
c. LKS-PWU yang
sudah siap untuk menerima dan melayani wakaf adalah Bank Mu’amalat, Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, Bank DKI
Syari’ah, dan Bank Mega Syari’ah.
d. Organisasi
lain yang ada di masyarakat.
2. Nazhir merupakan
pihak yang sangat berperan dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
, apakah harta benda tersebut akan produktif ataupun terlantar? Itu tergantung
kepada nazhir. Oleh karena itu Nazhir dalam melaksanakan tugasnya melakukan beberapa upaya sebagai berikut :
a.
pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain
dengan cara pengumpulan, investasi , penanaman modal, produksi, kemitraan,
perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi,
pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan,
perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang
tidak bertentangan dengan syari’ah.
b.
Pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf dalam bentuk
wakaf uang dilakukan dengan : Pertama,
benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk
Lembaga Keuangan Syari’ah atau instrumen keuangan syari’ah. Kedua, nadzir hanya dapat mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf uang pada Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) dalam jangka waktu tertentu apabila LKS-PWU menerima wakaf uang untuk
jangka waktu tertentu. Ketiga,
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank
syari’ah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Keempat, pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank harus
diasuransikan pada asuransi syari’ah.
3. Kedudukan wakaf tunai
(waqf cash) dari segi tata hukum
nasional di Indonesia sudah jelas yakni dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf,
menyebutkan bahwa yang termasuk harta
benda wakaf tidak saja benda tidak bergerak akan tetapi dengan jelas bahwa uang
dalam hal ini ( mata uang rupiah) sebagai benda bergerak sudah dapat diwakafkan
, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai. Disamping
itu kedudukan wakaf selain sebagai amal soleh (sodaqoh jariyah juga sebagai
pranata sosial yang telah sejak dulu
hidup dalam masyarakat. Wakaf tunai memiliki dimensi sosial yaitu sebagai upaya pemecahan masalah-masalah
sosial dan kemiskinan, seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi
umat yang bermuara pada prinsip ta’awun.
Terkait dengan wakaf tunai untuk kesejahteraan umat dan dalam fungsi sosialnya
wakaf tunai merupakan asset yang sangat bernilai dalam pembangunan lahir batin. Peranannya
dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulanagan kemiskinan
merupakan sasaran dari wakaf tunai. Wakaf tunai memiliki fleksibilitas
(keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki benda lain , serta tidak
mengenal batas pendistribusian.
B.
Saran-Saran
Dalam rangka memberdayakan
wakaf tunai untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi umat termasuk peningkatan
standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, membantu pendidikan anak
yatin piatu, beasiswa bagi yang berprestasi ,pengembangan pendidikan modern,
mendirikan rumah sakit, pelayanan kesehatan bagi yang tidak mampu, dan menyelesaiakan masalah sosial lainnya.
Maka pada sub bab ini penulis menyampaikan beberapa saran dan masikan sebagai berikut :
- Untuk merealisasikan tujuan da fungsi wakaf diatas diharapkan kerjasama dengan semua pihak, baik pemerintah, ulama, kaum profesional, cendekiawan, pengusaha, arsitektur, perbankan, lembaga-lembaga bisnis, lembaga penjamin serta keuangan syari’ah serta masyarakat pada umunya, khususnya umat Islam di seluruh Indonesia.
- Untuk dapat memasyarakatkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambungan kepada masyarakat luas mengenai wakaf tunai agar masyarakat lebih memahami bahwa untuk bisa mewakafkan hartanya tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu tetapi cukup dengan uang yang relatif kecil, maka kita akan mendapat pahala wakaf secara terus menerus.
- Dalam pengelolaan wakaf hendaknya para nadzir lebih fokus dan selalu meningkatkan kualitas Sumber Dayanya baik dalam manajemen pengelolaan, maupun wawasannya.
- Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebaiknya segera dibentuk perwakilannya baik di tingkat provinsi maupun kabupaten bahkan sampai kecamatan , agar lebih memudahkan dalam melakukan pengelolaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Pilar Media, Yogyakarta,
2005.
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan haji Depag RI, Proses lahirnya Undang-undang Nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf, Jakarta, 2000
E. Syibli Syarjaya, Perkembangan
Pemikiran Fiqh Wakaf dalam Peratuan Perundang-undangan Perwakafan di Indonesia
dan Implikasinya terhadap Pencapaian Maqosidu Syari’ah, Disertasi PPS ,UIN SGD , Bandung,2009
Farif Wadjdjy & Mursyid, wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2007
Juhaya S. Praja dan Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, Dinamika,
Cirebon, 2009.
______________, Perwakafan di Indonesia (sejarah, pemikiran dan perkembangannya),
Yayasan Piara, Bandung, 1997
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Simbiosa Rekatama
Media, Bandung, 2008
[2] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 47 ayat (1)
[3] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 47 ayat (2)
[4] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 48
[5] Penjelasan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 48
[6] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 49, ayat (1)
[7] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Op.cit, hlm 166
[8] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 49, ayat (2)
[9] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 50
[10] Jaih Mubarok, Wakaf
Produktif”, Op.cit , hlm 161
[11] Ibid, hlm 162
[13] Penjelasan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 25
[14] http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/01/05/optimalisasi-fungsi-perbankan-syariah-sebagai-nadzir-investasi-wakaf/
[15] Juhaya S. Praja, Pranata
Ekonomi Islam Wakaf, hlm. 21
[16] Qs. Ar-Ra’d, 11.
[17] Juhaya S. Praja, Ibid. hlm 22
[18] Ibid hlm. 137
[19] Undang-Undang No. 41 Tahun
2004, pasal 1 dan 9.
[20] UU No 41 Tahun 2004 pasal 11.
[21] UU No 41 Tahun 2004 pasal 12
[22] UU No 41 Tahun 2004 pasal 13
[23] Jaih Mubarok, Wakaf
Produktif, Op.cit, hlm 171
[24] Juhaya S. Praja, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, hlm 139
[25] UU No 41 Tahun 2004 pasal 4
[26] UU No 41 Tahun 2004 pasal & 5.
[27] Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Pasal 22.
[28] Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Pasal 23
[29] Penjelasan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, pasal 43 ayat (2).
[30] Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 48 ayat (2), (3), (4)
dan (5).
[31] Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fiqh Ekonomi Umar bin Al-Khattab,
Khalifa, Penerjemah; Asmuni Solihan Zamakhsyari, Khalifa, Jakarta,2006, hlm.
312
[32] Juhaya S. Praja &Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, hlm 252
[33] Juhaya S.Praja & Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, hlm 304
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Muhammad Uzair, Dasar-dasar Sosio Ekonomi Sistem Kebijaksanaan
Keuangan Islam, dalam Amrullah dkk (penyunting), Islamisasi Ekonomi Suatu
Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Ekonomi Islam, Yogyakarta,PLP2M, 1985,
hlm.130
[37] Umer Chapra,The Future of Economic; An Islamic Perspektif,
Jakarta, Shari’ah Economic and Banking Institut, 2001, hlm. 163
Komentar
Posting Komentar