HUKUM WAKAF TUNAI



HUKUM  WAKAF TUNAI
DALAM  PERUNDANG-UNDANGAN WAKAF DI INDONESIA
DAN PELEMBAGAANNYA UNTUK MENCAPAI TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF

Oleh : Solihah Sari Rahayu

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 merupakan usaha awal pembaruan hukum nasional di bidang perwakafan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 didasarkan pada keprihatinan terhadap pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia yang belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial ekonomi umat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana  optimalisasi lembaga-lembaga wakaf untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf,  upaya-upaya nadzir dalam mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf serta  bagaimana kedudukan wakaf tunai bagi pemberdayaan kesejahteraan umat, sehingga dengan tercapainya tujuan penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum dan pelaksanaan pengaturan benda wakaf   dalam mewujudkan perananya  sebagai pionir lembaga sosial keagamaan, yang mengembangkan konsep kemitraan dengan para nadzir dan pihak –pihak terkait .
            Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan jiwa dan semangat Undang-Undang tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang wakaf  adalah wakaf tunai. Wakaf tunai merupakan hasil dari perubahan pemikiran, baik terkait dengan obyek wakaf, sumber-sumber wakaf dan sistem pengelolaannya.
            Badan Wakaf Indonesia ( BWI) merupakan salah satu institusi baru, yang melakukan tugas-tugasnya dengan  mengoptimalkan kelembagaannya melalui pembinaan terhadap para penyelenggara wakaf dan menjalin kerjasama dengan lembaga terkait seperti Lembaga Keuangan Syari’ah. Nadzir adalah salah satu unsur yang memegang peran penting. Upaya yang dilakukan nadzir adalah mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf dengan cara yang produktif yakni investasi,  penanaman modal, produksi, perdagangan, agrobisnis, kemitraan dll. Berdasarkan upaya-upaya nadzir dan peran aktif dari BWI  maka kedudukan wakaf tunai menjadi sangat jelas baik dari segi tata hukum  nasional maupun dari segi fungsi wakaf itu sendiri.


Kata Kunci : Wakaf Tunai, Badan Wakaf Indonesia


I.       Pendahuluan
Tujuan didirikannya suatu negara tidak lepas dari cita-cita bangsa itu sendiri pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban merealisasikan cita-cita bangsa tersebut demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan berbagai fasilitas yang sudah dimiliki.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagaimana tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia , dipandang perlu meningkatkan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah  dan sosial, melainkan juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah.
Keabsahan perwakafan  di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda  sampai sekarang selalu mengalami perubahan secara bertahap baik dari segi pengelolaannya maupun obyeknya.
Hadirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 41 tahun 2004, diharapkan dapat menyempurnakan dan menambahkan hal-hal baru sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif dan profesional, sebagaimana dinyatakan fungsi wakaf dalam pasal 5  Undang-Undang tentang Wakaf no 41 tahun 2004 berbunyi : Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 didasarkan pada keprihatinan terhadap pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia yang memiliki jumlah tanah wakaf yang cukup banyak , tetapi sampai saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi umat di bandingkan dengan negara lain, seperti Negara Mesir, Negara Saudi Arabia, Negara Yordania dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 responden nadzir di 11 Propinsi menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, konsep wakaf harus berubah baik yang menyangkut sumber maupun sistem pengelolaan. Sumber-sumber wakaf perlu digali terus menerus, kemudian diberdayakan melalui lembaga ekonomi  dan lembaga keuangan syari’ah sehingga dapat berperan dan menfasilitasi  peningkatan ksejahteraan masyarakat.
Terjadinya perubahan masyarakat yang semakin maju menuntut adanya perubahan konsep wakaf baik dari segi pengertian, sumber dan pengelolaanya. Dilihat dari segi pengelolaannya, wakaf di Indonesia belum terlihat jelas manfaatnya bagi kesejahteraan umat .  Oleh karena itu penulis  dapat mengambil suatu permasalahan yang akan dibahas antara lain : optimalisasi lembaga perwakafan  dalam merealisasikan tujuan dan fungsi wakaf, upaya –upaya Nadzir  dalam merealisasikan tujuan dan fungsi wakaf dan bagaimana kedudukan wakaf tunai bagi pemberdayaan kesejahteraan umat.
II.      Pembahasan
A.    Optimalisasi Lembaga-Lembaga Wakaf Dalam Merealisasikan Tujuan dan Fungsi Wakaf
Aparat penegak hukum wakaf adalah wakif, nazhir, dan Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf  (PPAIW) , sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat institusi baru sebagai pembina penyelenggara wakaf di Indonesia , yaitu Badan Wakaf Indonesia  (BWI).
Untuk memperkuat kedudukan Badan Wakaf Indonesia maka diterbitkan Keputusan Presiden pada tahun  2007 , E001/B/A011 nomor 75 untuk pembentukan Badan Wakaf dan disusul Keputusan Menteri nomor 04 tahun 2009 tentang administrasi wakaf uang, dan memberikan amanat pada BWI untuk mengelola harta benda wakaf skala internasional dan nasional.[1]
Kedudukan Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga yang berkedudukan sebagai media untuk memajukan dan mengambangkan perwakafan nasional.[2] Disamping itu dalam Undang-Undang Wakaf juga ditetapkan bahwa Badan Wakaf Indonesia bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya[3] Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan atau kabupaten/ kota  sesuai dengan kebutuhan.[4]
Dalam penjelasan undang-undang ditetapkan bahwa pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah Badan Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat[5]
Adapun tugas Badan Wakaf Indonesia  adalah :
1.      Melaksanakan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta  benda wakaf;
2.      Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf berskala nasional maupun internasional
3.      Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
4.      Memberhentikan dan mengganti nazhir;
5.      Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
6.      Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan[6]
Enam tugas Badan Wakaf Indonesia yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dapat dibedakan menjadi tiga;
Pertama, tugas Badan Wakaf Indonesia yang berkaitan dengan nazhir, yaitu pengangkatan, pemberhentian, dan pembinaan nazhir.
Kedua, tugas Badan Wakaf Indonesia yang berkaitan dengan obyek wakaf, yaitu pengelolaan dan pengembangan obyek wakaf yang berskala nasional  atau internasional , serta pemberian persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
Ketiga, tugas Badan Wakaf Indonesia yang berkaitan dengan pemerintah, yaitu memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.[7]
            Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Wakaf Indonesia bekerja sama dengan isntansi pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.[8] Disamping itu, Badan Wakaf Indonesia juga harus memerhatikan saran dan pertimbangan Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.[9]
            Kerjasama yang dijalin Badan Wakaf Indonesia dengan instansi pemerintah maupun organisasi masyarakat dan badan hukum antara lain dengan :
1.      Kepala Kantor Urusan Agama  yang selanjutnya disingkat dengan KUA  adalah pejabat Departemen Agama yang membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.
2.      Lembaga Keuangan Syariah, yang selanjutnya disingkat LKS adalah badan hukum Indonesia yang bergerak dibidang keuangan syari’ah.
3.      Bank Syari’ah adalah Bank Umum Syari’ah , Unit Usaha Syari’ah dari bank Umum Konvensional serta Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah.
4.      Organisasi lain yang ada di masyarakat.
Dalam acara workshop internasional tentang “Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Wakaf Produktif”, yang diselenggarakan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) dengan Direktorat jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama di Batam, pada tanggal 7-8 januari 2002, terungkap pernyataan sejumlah pakar mengenai kesediaan bank syari’ah untuk menjadi pengelola wakaf uang (cash waqf).[10]
            Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak utama: (1) wakif, (2) nazhir, yang sekaligus dapat bertindak sebagai manajer investasi , dan (3) mauquf alaih (beneficiary) yang didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak. Dalam Pandangan Antonio, lembaga-lembaga investasi yang bergerak di bidang pasar modal dapat menjalankan fungsi nazhir. Namun kenyataan membuktikan bahwa pasar modal cenderung volatil (mudah berubah pendirian). Oleh karena itu bank-bank syari’ah lebih tepat jika ditunjuk untuk menjadi manajer investasi wakaf uang dengan alasan bahwa bank syari’ah mampu :
1.      Mengakses calon wakif,
2.      Menginvestasikan dana wakaf,
3.      Melakukan administrasi beneficiary,
4.      Mendistribusikan hasil investasi dana wakaf,
5.      Bank syari’ah mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan dikontrol oleh regulasi yang ketat.[11]
Lembaga Keuangan Syari’ah yang dalam hal ini adalah Bank Syari’ah  ditunjuk oleh Menteri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.      Menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri,
2.      Melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum,
3.      Memiliki kantor opreasional di wilayah Republik Indonesia;
4.      Bergerak di bidang keuangan syari’ah,
5.      Memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah).
Mekanisme penerimaan wakaf uang, bahwa  wakaf uang tidak dapat langsung disalurkan kepada nazhir, tapi harus melalui LKS-PWU. Saat ini, LKS-PWU yang sudah siap adalah lima bank syariah, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah.[12]
Adapun tugas Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang  (LKS-PWU) adalah sebagai berikut :
1.      Mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang;
2.      Menyediakan blanko Sertifikat Wakaf uang;
3.      Menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir;
4.      Menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah atas nama Nazhir yan ditunjuk Wakif;
5.      Menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak Wakif;
6.      Menerbitkan Sertifikat Wakaf  Uang serta menyerahkan sertifikat kersebut kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif
7.      Mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir.[13]
Berdasarkan pernyataan diatas bahwa prosedur wakaf uang adalah bahwa seorang Wakif mewakafkan uang melalui LKS-PWU yang dilakukan secara tertulis, selanjutnya LKS-PWU menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang. Penempatan uang wakaf melalui LKS-PWU dimaksudkan sebagai titipan (wadi’ah). Selanjutnya Nazhir dapat mengelolanya dengan memperhatikan kehendak Wakif serta rekomendasi manajer investasi (jika ada).
Melihat potensi dana wakaf yang sangat besar, maka perlu ada profesionalisasi dalam pengelolaannya (dalam hal ini dewan nadzir). Oleh karenanya dalam kaitan ini, keberadaan bank-bank syariah dipandang sebagai lembaga alternatif yang cukup representatif dalam mengelola dana amanah tersebut.
Peranan perbankan syariah dalam mengelola wakaf tunai, dapat dilihat melalui  ketentuan-ketentuan perbankan dalam kegiatan usaha bank . Ketentuan tersebut yang terkait dengan masalah wakaf, antara lain: SK Dir.BI No.32/34/KEP/DIR tanggal 19 Mei 1999, tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul maal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).” [14]
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa secara umum bank syariah dapat mengambil peran sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan peran bank syariah sebagai pengelola dana wakaf tidak disebutkan secara eksplisit. Wewenang pengelolaan ini dipandang penting karena berbeda dengan dana sosial lainnya, seperti zakat, infaq, dan shadaqah. Dana wakaf tidak dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan harus dikelola terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya dibagikan kepada yang berhak.
Adapun peranan perbankan syariah dalam Investasi wakaf setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasional Investasi wakaf sebagai berikut:
 (1) Jaringan Kantor. Jaringan kantor perbankan syariah relatif lebih luas dibandingkan dengan lembaga keuangan syariah lainnya. Luas jaringan tersebut mencapai 174 kantor di hampir seluruh wilayah Indonesia serta tingkat pertumbuhan jumlah kantor bank syariah yang mencapai 2,1% per bulan. Oleh karena itu, fenomena ini merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan sosialisasi penggalangan dana wakaf serta penyalurannya.
(2) Kemampuan Sebagai Fund Manager. Lembaga perbankan adalah lembaga pengelola dana masyarakat. Dengan sendirinya, lembaga tersebut haruslah merupakan lembaga yang memiliki kemampuan untuk mengelola dana dan diharapkan dapat berperan sebagai lembaga alternatif yang mampu mengelola dana wakaf tunai yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, khususnya kepada wakif.
(3) Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta Distribusi. Perbangkan syariah adalah lembaga perbankan yang memiliki pengalaman, informasi, serta peta distribusi yang cukup luas sehingga pengelolaan wakaf tunai diharapkan tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana saja, akan tetapi juga dapat mengefektifkan penyalurannya sesuai dengan yang diinginkan.
(4) Citra Positif. Dengan adanya ketiga hal di atas, diharapkan akan menimbulkan citra positif pada gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan syariah pada khususnya.
Untuk lebih meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf, maka Badan Wakaf Indonesia dalam  mendayagunakan wakaf uang harus dilakukan secara produktif. Pengelolaannya melalui investasi produk-produk syariah dan instrumen keuangan syariah, baik di sektor riil maupun finansial. Hasilnya juga harus digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti pemberdayaan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas pendidikan serta kesehatan. Sehingga tujuan wakaf akan tercapai sesuai dengan fungsinya.
B.     Upaya-upaya Nadzir Dalam Merealisasikan Tujuan dan Fungsi Wakaf
Memahami fenonema perubahan masyarakat yang semakin maju meniscayakan perubahan konsep wakaf, baik yang terkait dengan obyek dan sumber-sumber wakaf maupun terkait transaksi dan sistem pengelolaannya.[15] Al-Qur’an  mengisyaratkan adanya peran manusia yang besar terkait dengan rekayasa perubahan , baik bersifat konstruktif maupun destruktif, seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini :
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ ١١

Artinya :” Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka  bumi dan di belakangnya, mereka manjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada mereka sendiri.. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuat kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[16]

Dalam konteks wakaf, orang yang paling berperan  untuk melakukan perubahan adalah nadzir. Dengan demikian nadzir adalah orang yang paling bertanggung jawab apabila wakaf ternyata tidak produktif atau terlantar. Oleh karena itu pihak nadzir dituntut untuk menjaga dan mengembangkan wakaf melalui upaya-upaya produktif  agar wakaf dapat memberikan manfaat yang optimal.[17]
Undang-undang No. 41 Tahun 2004  sebagai rekayasa sosial merupakan perundang-undangan yang dapat melakukan perubahan terhadap perwakafan di Indonesia, sehingga dapat menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Terutama yang terkait dengan konsep, ruang lingkup dan pengelolaan dan pelembagaannya.
  Adapun  pertimbangan lahirnya undang-undang wakaf adalah karena praktik wakaf di masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, bahkan banyak kasus wakaf yang terlantar  dan berubah kepemilikannya ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian tidak hanya disebabkan karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir, melainkan juga karena sikap masyarakat yang tidak peduli atau belum memahami status harta benda wakaf  yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakafnya. [18]
Pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 9  Undang-Undang No 41 tahun 2004 menyebutkan bahwa nadzir meliputi :
a.       Perseorangan
b.      Organisasi, atau
c.       Badan hukum.[19]
Berdasarkan pasal diatas bahwa nadzir adalah merupakan salah satu unsur wakaf dan memegang peran penting dalam mengelola  dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya. Nadzir dapat merupakan perorangan, organisasi atau badan hukum yang wajib didaftarkan pada Menteri  melalui KUA atau perwakilan BWI yang ada di provinsi atau kabupaten/kota, guna memperoleh tanda bukti pendaftaran nadzir.
Adapun tugas nadzir terdapat dalam pasal 11  Undang-Undang No 41  Tahun 2004 berikut ini :
a.       Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b.      Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;
c.       Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d.      Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. [20]
Dalam melaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).[21] Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Nadzir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.[22]
Selain memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia , nadzir juga disyaratkan yang memiliki Sumber Daya Manusia yang unggul. Dalam konteks manajemen nadzir termasuk Sumber Daya Manusia yang merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi-bisnis karena memiliki dua keunggulan , yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Keunggulam komparatif adalah keunggulan suatu bangsa  (dan atau masyarakat) karena berbasis pada kekayaan alam. Indonesia memiliki sumber daya alam  yang melimpah dalam berbagai bidang yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat. Sedangkan keunggulan kompetitif adalah terbentuknya sumber
daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing sehingga dapat memanfaatkan sumber daya alam sebesar-besarnya bagi kemajuan suatu bangsa[23]
            Salah satu sumber daya yang harus dimiliki nadzir adalah harus berjiwa dan memiliki keterampilan wiraswasta. Dengan kata lain , sumber daya nadzir yang diharapkan adalah sumber daya yang produktif.
Berdasarkan pasal-pasal diatas terdapat penambahan dan pengembangan yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya, penambahan dan pengembangan  tersebut  antara lain :
Pertama,  undang-undang menegaskan  bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat  dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW), didaftarkan, serta diumumkan sesuai dengan tatacara yang diatur dalam undang-undang. Tujuannya untuk menciptakan  tertib hukum dan tertib administrasi dalam rangka melindungi harta benda wakaf.
Kedua, ruang lingkup wakaf tidak terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tetapi termasuk benda-benda bergerak seperti perlengkapan  kantor, kendaraan, uang, logam mulia, surat berharga, kekayaan intelektual, hak sewa, hak menempati, dan barang-barang yang memiliki nilai ekonomi lainnya.
Ketiga, peruntukan wakaf tidak semata-mata untuk kepentingsn ibadah dan sosial, tetapi juga di arahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Dengan kata lain, peruntukan wakaf diarahkan untuk dikembangkan dan di berdayakan agar dapat memberikan manfaat yang optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, peruntukan wakaf yang dinyatakan oleh wakif dan di tuangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf tidak terbatas pada wakaf khairi, tetapi juga wakaf ahli , karena wakaf ahli termasuk memajukan kesejahteraan umum walaupun hanya dalam lingkup kerabat yang didasarkan pada hubungan darah atau nasab dengan wakif.
Kelima, persyaratan nadzir harus terdiri dari orang-orang mampu, terpercaya (amanah) dan profesional dinyatakan dalam undang-undang secara tegas, dengan tujuan untuk menjamin keamanan harta benda wakaf dari kepunahan dan dari campur tangan pihak ketiga yang akan merugikan wakaf.
Keenam, undang-undang mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Wakaf Indonesia  merupakan lembaga independen  yang bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap nadzir dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.[24]
Nadzir dalam melaksanakan tugasnya harus berpijak pada tujuan dan fungsi wakaf, seperti yang disebutkan dalam pasal 4 dan 5 di bawah ini :
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.[25]
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.[26]
Berdasarkan pasal diatas bahwa rumusan dan fungsi wakaf tersebut menunjukan langkah maju, fungsi wakaf  tidak hanya menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum seperti memfasilitasi sarana dan prasarana ekonomi, sarana dan prasarana pendidikan, dan sebagainaya.
Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 ditetapkan bahwa untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :
1.      Sarana dan kegiatan ibadah.
2.      Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan.
3.      Bantuan fakir miskin , anak terlantar, yatim piatu, bea siswa.
4.      Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
5.      Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.[27]
Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 pasal 23 diatur mengenai waktu dan pihak yang dapat menentukan peruntukan benda wakaf.  Pertama , pihak yang berhak menentukan peruntukan benda wakaf  saat ikrar pelaksanaan wakaf dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar  adalah nadzir. Kedua,  pihak yang dapat menentukan peruntukan  harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf apabila apabila wakif tidak menentukan peruntukan benda wakaf adalah nadzir.[28]
Penjelasan Undang-Undang No 41 Tahun 2004 menetapkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara : pengumpulan, investasi , penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari’ah.[29]
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, dalam bentuk  wakaf uang dilakukan dengan :
Pertama, benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk Lembaga Keuangan Syari’ah atau instrumen keuangan syari’ah.
 Kedua, nadzir hanya dapat mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf uang pada Lembaga Keuangan Syari’ah  Penerima Wakaf Uang  (LKS-PWU) dalam jangka waktu tertentu  apabila LKS-PWU menerima wakaf uang untuk jangka waktu tertentu.
Ketiga, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syari’ah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  
Keempat, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank harus diasuransikan pada asuransi syari’ah.[30]
Berdasarkan tugas nadzir, pengelolaan dan pengembangan serta  peruntukan harta benda wakaf maka upaya-upaya yang dilakukan oleh nadzir dalam rangka mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf  sudah sangat memadai , hanya mungkin dalam pelaksanannya masih memerlukan pengontrolan dan pengawasan.
Selain upaya –upaya yang dilakukan oleh nadzir yang terdapat dalam tugas dan tanggung jawabnya, peningkatan kualitas nadzir dan pemberdayannya masih sangat diperlukan. Karena nadzir dalam kontek manajemen termasuk sumber daya manusia (SDM) atau sumber daya insani (SDI) yang merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi-bisnis.
C.    Kedudukan Wakaf Tunai bagi Pemberdayaan Kesejahteraan Umat
Kedudukan  Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf semakin jelas, tidak  saja dari segi hukum Islam , tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya , dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai.
Kedudukan wakaf tunai disamping sebagai amal sholeh (sodaqoh jariyah), juga sebagai pranata sosial yang telah sejak dulu hidup dalam masyarakat. Wakaf tunai memiliki dimensi sosial  yaitu sebagai upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan kemiskinan, seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi umat yang bermuara pada prinsip ta’awun.
Wakaf memiliki kemanfaatan yang luar biasa dari sekedar sedekah biasa. Wakaf dapat dikelola secara produktif dan dikembangkan menjadi lembaga Islam yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Konsep kemanfaatan terlihat dalam keistimewaan wakaf atas sumber-sumber jaminan social yang lain seperti berikut ini :
Pertama, berkelanjutan, dimana kemanfaatan wakaf selalu berlangsung selama barang yang diwakafkan produktif, sehingga sumber ini dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya.
Kedua, menyeluruh, maksudnya adalah dalam dua hal : a) jenis kemanfaatan; dimana wakaf dapat menutupi banyak bidang, baik dalam bidang konsumsi (penghidupan), produksi dan jasa (pendidikan, kesehatan dan lain-lain). b) jenis orang-orang yang memanfaatkan; dimana wakaf dapat bermanfaat bagi keluarga, kelompok, bahkan semua umat. Demikian itu terkembali kepada penentuan pewakaf tentang siapa yang diwakafi. Ini berarti bahwa wakaf tidak selalu bersandar kepada tolok ukur kebutuhan, namun seringkali wakaf bersandar kepada tolok ukur akhlak yang lain, atau memberikan pelayanan umum secara cuma-cuma; seperti orang yang mewakafkan hasil  lahan tanah kepada para pencari ilmu di sekolah tertentu dengan tanpa mensyaratkan ketidakmampuan  mereka, dan seperti orang yang mewakafkan air sumur kepada penduduk suatu daerah, baik yang kaya maupun yang miskin tanpa pilih kasih. [31]
            Konsep pemanfaatan identik dengan  konsep pemberdayaan. Pemberdayaan  berasal dari kata “daya”  yang berarti kuat, mendapat awalan “ber” menjadi “berdaya” artinya mempunyai kekuatan dan kemampuan. Dalam bahasa Inggeris empowerment artinya memberi kecakapan atau kemampuan ( to give ability or enable to) atau memberi kekuatan atau kekuasaan (to give power or authority to). Dalam judul penelitian, yang dimaksud pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang atau lembaga untuk meningkatkan kemampuan atau kemandirian seseorang atau kelompok orang atau lembaga.[32]
            Pemberdayaan wakaf untuk menghasilkan manfaat wakaf yang optimum dilakukan antara lain dalam bentuk pemberdayaan para pengelola wakaf . Dalam wakaf terdapat dua pihak : (1) pihak yang diberdayakan  dan (2) pihak yang memberdayakan, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI). 
            Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi ciri-ciri negara miskin. Antara lain pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan populasi tinggi, produktifitas rendah, pengangguran tinggi, penggunaan sumber daya rendah kelembagaan dan infrastruktur tidak memadai. Sehingga mayoritas masyarakat Indonesia termasuk kategori yang harus diberdayakan.
            Konsep kesejahteraan selalu dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat yang makin baik dan segala sesuatu yang akan mendatangkan kesengsaraan makin berkurang sehingga kualitas hidup meningkat baik moral maupun material. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial dalam pasal 2 ayat (1) menekankan kesejahteraan lahir batin dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan materiil dan spirituiil.[33]
            Undang-undang tersebut merumuskan bahwa kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupu spirituiil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniyah, rohaniyah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat  dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban  manusia  sesuai dengan pancasila. Rumusan ini jelas menggambarkan kesejahteraan sebaai kemakmuran yang telah dicapai oleh sekelompok masyarakat atau bangsa , yaitu suatu keadaan yang serba terpenuhi segala kebutuhannya baik yang bersifat pisik maupun non pisik.[34]
            Menurut Abraham Maslow seperti dikutip juhaya S. Praja, bahwa kesejahteraan masyarakat meliputi berbagai aspek dan diperoleh secara bertahap.[35] Yaitu tahap pertama terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat pisik (physiological needs) atau terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok (basic needs) seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Kesejahteraan tahap berikutnya terpenuhinya kebutuhan rasa aman ( safety needs) dari kemungkinan adanya ancaman yang datang dari dalam  atau dari luar. Kesejahteraan tahap berikutnya lagi terpenuhinya kebutuhan sosial (social needs) yaitu kebutuhan akan dirinya yang menjadi bagian dari masyarakatnya hingga tumbuh rasa kasih sayang , rasa ingin menolong dan ingin membantu anggota masyarakatnya. Kesejahteraan tahap berikutnya lagi terpenuhinya kebutuhan adanya pengakuan (esteem needs) yaitu kebutuhan ingin dihargai oleh orang lain atau ingin dihirmati.  Kesejahteraan tahap terakhir terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri ( self actualization needs) yaitu kebutuhan akan penyaluran diri atas bakat , minat dan dan kemampuannya dalam bentuk nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
            Terkait dengan wakaf tunai untuk kesejahteraan umat dan dalam fungsi sosialnya wakaf tunai merupakan asset yang sangat bernilai  dalam pembangunan lahir batin. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulanagan kemiskinan merupakan sasaran dari wakaf tunai. Wakaf tunai memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki benda lain , serta tidak mengenal batas pendistribusian.
     Uang, dalam hal ini mata uang rupiah, berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 termasuk ke dalam benda wakaf. Undang-Undang  tentang Wakaf tersebut  yang diproyeksikan sebagai sarana rekayasa social (social engineering) dapat menggali manfaat dari fungsi uang sebagai sarana pembangunan, dakwah, social, pendidikan umat Islam dan lain-lain.
     Uang memiliki fungsi ekonomi, yakni, 1) sebagai alat pertukaran (mediun of exchange for transacsion), 2) sebagai satuan nilai (unit of account).[36]
Sejalan dengan fungsi uang sebagai alat tukar, maka pemanfaatan wakaf uang dialokasikan untuk usaha yang sifatnya produktif. Sebagaimana  diungkapkan Ibnu Khaldun dan dikutip oleh M Umer Chapra[37] bahwa Ibnu Khaldun sangat menekankan peranan investasi untuk harta kekayaan yang dimiliki, dia berujar bahwa kekayaan akan tumbuh dan berkembang  dan bahkan bertambah manakala kekayaan tersebut dihabiskan untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi hak-hak masyarakat, serta mengurangi penderitaan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat akan menjadi semakin baik, memperkuat negara, menjadikan negara makmur dan mencapai kewibawaan negara dan daulah.
Mengingat peran uang yang sangat sentral dalam kegiatan transaksi ekonomi, maka sudah sangat tepat adanya mobilisasi pemanfaatan wakaf tunai,  karena pada prinsipnya wakaf itu menyerahkan harta benda yang bermanfaat baik secara muabbad maupun muaqqot.
Adapun sasaran pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf uang menurut Prof. Mannan antara lain  adalah untuk peningkatan standar hidup orang miskin, rehabiitasi orang cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh, membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa, akademi dan universitas, mendanai riset, mendirikan rumah sakit, menyelesaikan masalah-masalah social non muslim dan membantu proyek-proyek untuk penciptaan lapangan keja yang penting untuk menghapus kemiskinan sesuai dengan syari'at Islam.
III.   Penutup
A.    Kesimpulan
Wakaf telah menjadi salah satu instrumen dalam ekonomi Islam yang mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Hadirnya wakaf uang dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 akan sangat membantu dalam mensejahterakan umat. Hanya saja bagaimana kelembagaan wakaf untuk dapat mengelola harta benda wakaf sehingga tujuan dan fungsi dari wakaf tercapai. Di bawah ini ada tiga kesimpulan yang merupakan jawaban dari ketiga permasalahan tersebut antara lain :
1.      Optimalisasi lembaga-lembaga wakaf dalam rangka mendukung tercapainya tujuan dan fungsi wakaf maka dilakukan kerjasama antara lembaga-lembaga terkait yakni :
a.       Kepala Kantor Urusan Agama  yang selanjutnya disingkat dengan KUA  adalah pejabat Departemen Agama yang membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.
b.      Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, yang selanjutnya disingkat LKS-PWU adalah badan hukum Indonesia yang bergerak dibidang keuangan syari’ah.
c.       LKS-PWU yang sudah siap untuk menerima dan melayani wakaf adalah Bank Mu’amalat,  Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, dan Bank Mega Syari’ah.
d.      Organisasi lain yang ada di masyarakat.
2.      Nazhir merupakan pihak yang sangat berperan dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf , apakah harta benda tersebut akan produktif ataupun terlantar? Itu tergantung kepada nazhir. Oleh karena itu Nazhir dalam melaksanakan tugasnya  melakukan beberapa upaya sebagai berikut :
a.       pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi , penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
b.      Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dalam bentuk  wakaf uang dilakukan dengan : Pertama, benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk Lembaga Keuangan Syari’ah atau instrumen keuangan syari’ah. Kedua, nadzir hanya dapat mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf uang pada Lembaga Keuangan Syari’ah  Penerima Wakaf Uang  (LKS-PWU) dalam jangka waktu tertentu  apabila LKS-PWU menerima wakaf uang untuk jangka waktu tertentu. Ketiga, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syari’ah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  Keempat, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank harus diasuransikan pada asuransi syari’ah.
3.      Kedudukan wakaf tunai (waqf cash) dari segi tata hukum nasional di Indonesia sudah jelas yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004  tentang Wakaf, menyebutkan  bahwa yang termasuk harta benda wakaf tidak saja benda tidak bergerak akan tetapi dengan jelas bahwa uang dalam hal ini ( mata uang rupiah) sebagai benda bergerak sudah dapat diwakafkan , sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai. Disamping itu kedudukan wakaf selain sebagai amal soleh (sodaqoh jariyah juga sebagai pranata sosial yang telah sejak dulu hidup dalam masyarakat. Wakaf tunai memiliki dimensi sosial  yaitu sebagai upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan kemiskinan, seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi umat yang bermuara pada prinsip ta’awun. Terkait dengan wakaf tunai untuk kesejahteraan umat dan dalam fungsi sosialnya wakaf tunai merupakan asset yang sangat bernilai  dalam pembangunan lahir batin. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulanagan kemiskinan merupakan sasaran dari wakaf tunai. Wakaf tunai memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki benda lain , serta tidak mengenal batas pendistribusian.
B.     Saran-Saran
Dalam rangka memberdayakan wakaf tunai untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi umat termasuk peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, membantu pendidikan anak yatin piatu, beasiswa bagi yang berprestasi ,pengembangan pendidikan modern, mendirikan rumah sakit, pelayanan kesehatan bagi yang tidak mampu,  dan menyelesaiakan masalah sosial lainnya. Maka pada sub bab ini penulis menyampaikan beberapa saran dan masikan  sebagai berikut :
  1. Untuk merealisasikan tujuan da fungsi wakaf  diatas diharapkan kerjasama dengan semua pihak, baik pemerintah, ulama, kaum profesional, cendekiawan, pengusaha, arsitektur, perbankan, lembaga-lembaga bisnis, lembaga penjamin serta keuangan syari’ah serta masyarakat pada umunya, khususnya umat Islam di seluruh Indonesia.
  2. Untuk dapat memasyarakatkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf perlu dilakukan sosialisasi  secara terus menerus  dan berkesinambungan kepada masyarakat luas mengenai wakaf tunai agar  masyarakat lebih memahami bahwa untuk bisa mewakafkan hartanya tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu tetapi cukup dengan uang yang relatif kecil, maka kita akan mendapat pahala wakaf secara terus menerus.
  3. Dalam pengelolaan wakaf hendaknya para nadzir lebih fokus dan selalu meningkatkan kualitas Sumber Dayanya baik dalam manajemen pengelolaan, maupun wawasannya.
  4. Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebaiknya segera dibentuk perwakilannya baik di tingkat provinsi maupun kabupaten bahkan sampai kecamatan , agar lebih memudahkan dalam melakukan pengelolaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji Depag RI, Proses lahirnya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta, 2000

E. Syibli Syarjaya, Perkembangan Pemikiran Fiqh Wakaf dalam Peratuan Perundang-undangan Perwakafan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Pencapaian Maqosidu Syari’ah, Disertasi PPS ,UIN SGD , Bandung,2009

Farif Wadjdjy & Mursyid, wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007

Juhaya S. Praja dan Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, Dinamika, Cirebon, 2009.
______________, Perwakafan di Indonesia (sejarah, pemikiran dan perkembangannya), Yayasan Piara, Bandung, 1997

Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008



[2] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 47 ayat (1)
[3] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 47 ayat (2)
[4] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 48
[5] Penjelasan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 48
[6] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 49, ayat (1)
[7] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Op.cit, hlm 166
[8] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 49, ayat (2)
[9] Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 50
[10] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif”, Op.cit , hlm 161
[11] Ibid, hlm 162
[13] Penjelasan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 25
[15] Juhaya S. Praja, Pranata Ekonomi Islam Wakaf,  hlm. 21
[16] Qs. Ar-Ra’d, 11.
[17] Juhaya S. Praja, Ibid. hlm 22
[18] Ibid hlm. 137
[19] Undang-Undang No.  41 Tahun 2004,  pasal 1 dan 9.
[20] UU No 41 Tahun 2004 pasal 11.
[21] UU No 41 Tahun 2004 pasal 12
[22] UU No 41 Tahun 2004 pasal 13
[23] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Op.cit, hlm 171
[24] Juhaya S. Praja,  Pranata Ekonomi Islam Wakaf, hlm 139
[25] UU No 41 Tahun 2004 pasal 4
[26] UU No 41 Tahun 2004 pasal & 5.
[27] Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Pasal 22.
[28] Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Pasal 23
[29] Penjelasan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, pasal 43 ayat (2).
[30] Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 48 ayat (2), (3), (4) dan (5).
[31] Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fiqh Ekonomi Umar bin Al-Khattab, Khalifa, Penerjemah; Asmuni Solihan Zamakhsyari, Khalifa, Jakarta,2006, hlm. 312
[32] Juhaya S. Praja &Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, hlm 252
[33] Juhaya S.Praja & Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, hlm 304
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Muhammad Uzair, Dasar-dasar Sosio Ekonomi Sistem Kebijaksanaan Keuangan Islam, dalam Amrullah dkk (penyunting), Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Ekonomi Islam, Yogyakarta,PLP2M, 1985, hlm.130
[37] Umer Chapra,The Future of Economic; An Islamic Perspektif, Jakarta, Shari’ah Economic and Banking Institut, 2001, hlm. 163

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya

MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA

Analogical Reasoning (Qiyas sebagai SUmber Hukum Islam)