Tafsir bi Al-Ra'yi
TAFSIR
BIL RA’YI
A.
PENDAHULUAN
Tidak
mudah bagi seseorang dalam melakukan penafsiran terhadap makna ayat, mengingatnya
banyaknya ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, disamping itu juga
bukan hanya dari segi kapasitas keilmuan akan tetapi dari segi kualitas
kepribadian personal mufassir. Mengingat
lagi karena yang dihadapi bukan hanya menfasirkan tulisan biasa atau pendapat
seseorang tetapi ini firman Alloh atau kitab suci, terlebih jika ayat itu adalah ayat tentang
tasawuf.
Sesuai
perkembangan ilmu tafsir berawal dari menafsirkan dimasa Nabi (tafsir bil
Qur’an) hingga masa sahabat dan sampai periode masa tabiit tabiin bahkan hingga
sekarang. Tahapan pola penafsiran di masa sekarang dimana terjadi adanya
penafsiran antara pola penafsiran yang menggunakan pendekatan bi al-naql (riwayat
dari Nabi) dengan pola penafsiran yang menggunakan pendekatan ar-ra’yi .
pola ini yang berkembang sejak masa Dinasti Abbasiyah hingga sekarang.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tafsir bi al-ra’yi
Tafsir
bi al-ra’yi berasal dari dua kata , yakni kata tafsir dan kata al-ra’yi.
Tafsir berarti menafsirkan,
menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak([1]).
Sedangkan tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya
baik ketika berdiri sendiri maupun keika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.([2])
Adapun
tafsir Al-Qur’an , sebagaimana yang didefinisikan oleh Nashruddin adalah
penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari
ayat-ayat al-Qur’an. Berdasarkan makna diatas bahwa tafsir al-Qur’an adalah
menjelaskan makna-makna al-Qur’an yang sulit difahami dari ayat tersebut.
Kata al
ra’yi secara etimologis berarti keyakinan (i’tiqad) ,analogi ( qiyas)
dan Ijtihad. Jadi, al ra’yi dalam pengertian tafsir adalah Ijtihad. Dengan demikian , tafsir bi al-ra’yi
disebut juga tafsir bi al-dirayah. Yakni rasio yang dijadikan titik
tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan
aspek-aspek dilalah (pembuktian) dan mufasari juga menggunakan
syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab
al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.
Adapu al-ra’yu
secara semantik berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga
identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para
pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah
menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.
Corak ini dinamakan juga dengan al- Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu
penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan
atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir
dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi
al-ma’tsur.
Dengan demikian, tafsir bi al ra’yi,
sebagaimana didefinisikan oleh al-Dzahabi ialah tafsir yang penjelasannya
diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui
bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema
penafsiran, seperti asbab al-nuzul dan nasikh wal al-mansukh. Bentuk tafsir ini
disebut juga tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir
yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan
tabi’in.[3]
2.
Keabsahan Tafsir bi al-ra’yi menurut para Ulama
Keabsahan
tafsir bi al-ra’yi diperselisihkan dikalangan para ulama dikarenakan dalam
menafsirkan ayat semata-mata karena akal.
Ulama
Salaf yang paling keras menentang tafsir bi al-ra’yi ia;ah Ibnu Taimiyah. Ia
tiak mau mempergunakan ijtihad dalam soal tafsir .Menurutnya tafsir dengan
semata-mata ijtihad haram hukumnya. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Orang yang terges-gesa enafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan kepada ilmu bahasa dengan tidak memerlukan naqal dalam
hal-hal yang mengenai lafaz-lafaz yang gharib,
lafaz-lafaz mubhan, mubaddal, dan
dalam hal ikhtisar, hadzf, idlamar, taqdim dan ta’khir, akan menghadapi kesalahan dan masuk ke dalam
golongan orang yang menasirkan AL-Qur’an dengan pikiran.
Pendirian
Ibnu Taimiyah yang keras ini karena pada masa itu timbul kaum bathiniyah yang
memprgunakan hawa nafsunya dalam menetapkan makna-makna AL-Qur’an. Maka untuk
membendung aliran-aliran tersebut. Ibnu Taimiyah mempertahankan pokok
pendiriannya.
Selanjutnya Al-Ghazali sebagai
penganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengetengahi antara :
1.
Tafsir
bi al-rayi ekstrim (tafsir bathini) versus tafsir bi al-ma’tsur asli
(IbnuTaimiyah).
2.
Tafsir
bi al-ra’yi setengah ekstrim (mu’tazilah) versus tafsir bi al-ma’tsur asli Ibnu
Taimiyah plus tafsir Ibnu Jarir
Ath-Thabari.
Menurut Al-Ghazali, kita wajib memahamkan Al-Qur’an dengan nash
semata-mata jika kita memperolehnya, adapun di tempat-tempat yang tidak
diperoleh nash yang shahih , maka dipergunakan ijtihad. Pintu ijtihad dibuka
lebar-lebar oleh AL-Ghazali bagi mereka yang berkeahlian dalam engisimbathkan
hukum dari Al-Qur’n, dengan syarat tidak menyalahi ssuatu yang tegas dari Nabi
SAW.
Menurutnya kita dilarang mempergunakan ijtihad pada dua tempat :
Pertama , mempergunakan ijtihad untuk mempertahankan maksud-maksud tertentu
yang sesuai dengan hawa nafsu sebagai yang dilakukan oleh kaum batiniyah.
Kedua, menetapkan makna-makna
AL-Qur’an berasar pada pengetahuan bahasa dengan tidak memperhatikan apa yang
dimaksudkan dari kalimat-kalimat itu oleh syara’ sendiri dan dengn tidak
memperhatikan ayat satu sama lainnya. Dan dengan tidak mengetahui ‘urf syara
dan tidak mengetahui uslub-uslub
istimbath.
Dengan
demikian, maka kita boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan mempergunakan ijtihad
dalam ayat-ayat atau lafaz-lafaz yang
tidak diterangkan Nabi SW. Adapun menfasirkan ayat-ayat atau lafza-lafaz yang
suah diterangkan oleh nash Nabi, maka kit tidk boleh mempergunakan ijtihad (ra’yu).[4]
Berdasarkan
pendapt diatas, maka pengelompokan pandangan terhadap boleh tidak tafsir bi
al-ra’yi berpengaruh terhadap corak dari tafsir itu sendiri. Para ulama
membaginya menjadi tafsir bi al-ra’yi yang dapat diterima/ terpuji dan afsir
yang ditolak/ tercela.
3.
Sekilas biografi tokoh mufassir bi al-ra’yi
Berikut ini
sekilas biografi para mufassir yang dikategorikan karyanya ke dalam tafsir yang
diperbolehkan, seperti Tafsir al-Jalalayn, Ruh al-Ma’ani, Anwar al-Tanzil wa
Asrar at- Takwil.
a.
Bioghrafi Jalal Al-Din Muhammad Al-Mahalli dan Jalal
al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi (Tafsir Jalalayn)
Biografi
Jalaluddin al-Mahalli
Nama aslinya ialah Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ibrahim al-Mahalli
Asy-Syafi'i, dilahirkan di Mesir pada tahun 791 Hijriyah, dan
wafat pada permulaan 864 Hijriyyah.
Beliau adalah seorang
yang sungguh-sungguh menekuni berbagai ilmu agama, antar lain fiqih, tauhid,
uslu fiqh, nahwu, sharaf dan mantiq. Ia berguru
kepada al-Badr Mahmud al-Aqsara'i, al-Burhan
aal-Bajuri, Asy-Syams al-Basati, Al-A'la al-Bukhari dan lain-lainnya. Di
masanya ia merupakan seorang 'alamah terkemuka, terkenal pandai dalam
pemahaman masalah-masalah agama, sehingga sebagian orang menyebutnya seorang
yang memiliki pemahaman yang brillian melebihi kecemerlangan berlian. Tetapi ia
sendiri mengatakan bahwa dirinya tidak mampu banyak menghafal, dan sesungguhnya pemahaman yang dimilikinya tidak mau menerima
kekeliruan. Ia jug terkenal seorang ulama yang saleh dan wara',
konsisten kepada pemahaman salaf, dan tidak pernah berhenti dari
kegiatan ber-amar ma'ruf nahi munkar, meskipun mendapat cacian orang
dalam membela perkara yang haq.
Dalam menghadapi para
pembedar dan penguasa yang dzalim, dia selalu berpegang teguh kepada kebenaran.
Mereka sering datang mengunjunginya, tetapi ia tidak terpengaruh oleh mereka,
bahkan mereka tidak diperkenankan masuk menemuinya. Pernah ditawarkan kepadanya
jabatan qadi terbesar di negerinya, tetapi ia tidak mau menerimanya. Dia lebih
suka memegang majelis tadris fiqih di al-Muayyidiyah dan al-Darquqiyyah.
Kitab yang ditulisnya
menjadi pusat perhatian banyak orang dan dijadikannya sebagai pengangan mereka
dalam belajar. Kelebihannya ialah gaya bahasanya sangat ringkas, data-datanya
lengkap dan terseleksi, ungkapannya fasih, uraiannya dan penyelesaiannya sangat
jelas. Diantara karya
tulisnya ialah Syarah Jam'ul Jawami' fil Usul, Syarah al-Minjah
(Tentang fiqih Syafi'i) dan Syarah al-Waraqat (tentang ushul fikih);
karya lainnya ialah tafsir ini.
Biografi Jalaluddin
al-Suyuthi
Nama aslinya ialah Abul Fadl alias Abdurrahman
ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad as-Suyuthi, lahir pada bulan Rajab tahun
848 Hijriyah, wafat malam Jum'at tanggal 19 bulan Jumadil Ula tahun 911
Hijriyah. Ia seorang hafidz hadits, musnid, muhaqiq, dan telah hafal al-Qur'an
weaktu berusia 8 tahun, serta telah banyak menghafal kitab karya para ulama di
masanya. Orang tuanya meninggal dunia semasa ia berusia 5 tahun, lalu
pengasuhannya diwasiatkan kepada sejumlah ulama, antara lain al-Kamal ibnul
Hammam. Ia belajr dari banyak guru; menurut perhitungan muridnya yang bernama
ad-Daudhi, guru beliau ada 51 orang, hasil karyanya lebih dari 500 buah. Ia
juga seorang yang piawai dalam kecepatan menurut ad-Daudi dalam satu hari
pernah beliau mampu menulis sebanyak tiga fel karya tulis.
Ketenaran hasil karyanya
tidak disangsikan lagi karena telah menyebar di seluruh kawasan Timur dan Barat
serta diterima oleh banyak orang. Setelah usianya menginjak 40 tahun, beliau
istirahat dari kegiatan menulisnya dan mengisi sisa usianya hanya untuk
beribadah kepada Allah swt. Untuk itu beliau tinggal di Raudatul Miqyas, tidak
berpindah dari sana sampai meninggal dunia.
Bioghrafi al-Alusy
Al-Alusi yang nama lengkapnya adalah
Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi , Syihabuddin, Abu al-Tsana, dilahirkan
di pinggir Kurh, Bagdad, sebelum Dzhuhur pada hari Jum’at, bertepatan dengan
tanggal 14 Sya’ban 1217 Hijriah (1802 M). Ia seorang ahli tafsir, hadis,
sastrawan, dan pembaharu dari Baghdad. Sudah menjadi keharusan ulama terdahulu
dan kebiasaan masyarakat Arab Islam, bahwa setiap anak diharuskan untuk mulai
belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Alusi pun mulai menghafal al-Qur’an
semenjak ia berumur lima tahun dibawah bimbingan syekh al-Malâ Husain
al-Jabûri. Sejalan dengan bertambah umurnya, ia pun terus belajar dan membaca
teks-teks warisan ulama sebelumnya di bawah bimbingan ayahnya, sehingga sebelum
mencapai umur sepuluh tahun, ia telah mempelajari beberapa cabang ilmu
pengetahuan, fikih syafi’iyah dan hanafiyah, mantiq, dan hadis.
Al-Alusi tidak hanya mengambil ilmu pengetahuan
dibawah bimbingan orang tuanya, tetapi ia juga berguru kepada ulama-ulama
terkenal di masanya. Diantara guru yang sangat dikaguminya adalah Syekh
‘Alâuddin Afandi al-Maushili, sampai-sampai ia bersama gurunya tersebut dalam
waktu yang cukup lama.
Sebelum Alusi mencapai umur 20
tahun, ia telah mulai mendalami kajian tafsir al-Qur’an. Dan ketika berumur 21
tahun, ia diberi kepercayaan oleh gurunya, syekh ‘Alâuddin untuk mengajar di
madrasah al-Khotuniyah. Di samping itu juga, ia diminta oleh Haji Nu’man
al-Bajah Ji untuk mengajar di madrasah yang dipimpinnya, hanya saja Alusi tidak
bertahan lama, dikarenakan banyak yang tidak setuju dengan dirinya.
Ketika Kurh berada dibawah tangan
Haji Amin al-Bajah Ji, Alusi diminta untuk memimpin madrasah dan sekaligus
menjadi imam Mesjid. Disamping Alusi mengajar di madrasah, juga mengajar di
mesjid-mesjid, yaitu mesjid Haji al-Malâ ‘Abdul Fattah, Mesjid al-Qomariyah,
mesjid Sayyidah Nafisah, dan mesjid al-Marjaniyah. Sehingga jadwal mengajarnya
dalam sehari (di madrasah dan mesjid) mencapai 24 jadwal mengajar. Akan tetapi
ketika ia mulai menulis tafsir al-Qur’an (Rûh al-Ma’âni) dan diberi kepercayaan
untuk menjadi mufti, maka jadwal mengajarnya berkurang menjadi 13 jadwal saja.
Kehidupan politik pada masa kehidupan
al-Alusi tidaklah stabil, kerena pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan,
perang saudara dan pergantian raja-rajanya. Selama al-Alusi hidup, ia
menyaksikan banyak pergantian kepemimpinan di Irak, mulai dari
pemimpin-pemimpin yang memimpin Irak cukup lama, seperti Daud Basya (1188
H/1774 M), Ali Ridha Basya (1247 H/1831 M), Muhammad Najib Basya (1258 H/1842
M), sampai pemimpin-pemimpin yang memimpin hanya sebentar, seperti Abdi Basya
(1265 H/1849 M), Muhammad Wajih Basya (1267 H/1851 M), Muhammad Rasyid Basya
(1268 H/1852 M), dan pada tahun yang sama ia digantikan oleh Basya al-Kabir
(1268 H/1852 M-1269 H/1853).
Meskipun politik negara tidak
setabil, kegiatan ilmiah di Irak tetap berjalan. Pada masa itu banyak
bermunculan ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu, fiqh, hadis, tafsir, dan
sastra (adab). Diantara ulama, sastrawan yang terkenal pada masa itu adalah
banyak yang berasal dari keluarga al-Suwaidi, keluarga al-Rawi, al-Syawaf,
al-Madras, al-Umari, al-Alusi, al-Zahawi. Hal ini juga tidak terlepas dari
dukungan penguasa, seperti yang dilakukan oleh Daud Basya. Ia mendirikan
sekolah-sekolah sebagai pendukung berkembangnya ilmu pengetahuan.
Setelah ayahnya meninggal dunia
(1268 H/1830 M), ia meninggalkan Kurkh dan tinggal di samping mesjid syekh
Abdul Qadir al-Jili. Dari sinilah, kecerdasan, keutamaan dan ilmu al-Alusi
banyak diketahui oleh orang banyak. Ketika Bagdad terjangkiti penyakit Thaun,
Daud Basya turun dari kepemimpinannya dan digantikan oleh Ali Ridha Basya. Pada
masa Ali Ridha Basya ini, al-Alusi bersembunyi dan mengasingkan diri
dikarenakan banyak orang yang tidak menyenanginya dan telah memfitnahnya.
Ketika Abdul Ghani Affandi al-Jamil ditunjuk sebagai mufti di Bagdad, Al-Alusi
menemuinya dan tinggal bersamanya sampai mendapatkan kepercayaan dan
pengampunan dari Ali Ridha Basya atas fitnah yang dituduhkan kepadanya.
Kemudian al-Alusi diberi kepercayaan untuk dimintai fatwa dan pengajar di
madrasah al-Qadiriyah.
Pada masa Ali Ridha ini, al-Alusi
menuliskan sebuah buku “syarh al-Burhan fi Itha’at al-Sulthan” yang dihadiahkan
untuk Ali Ridha Basya, yang kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjadi Imam
dan Khatib mesjid al-Marjan, yang tidak diberikan kecuali kepada orang yang
dianggap palin alim. Pada tahun yang sama, ia ditunjuk sebagai mufti di
Baghdah. Ketika Ali Ridha Basya digantikan oleh Muhammad Najib Basya, jabatan
mufti dan kepemimpinan al-Alusi di mesjid Marjan dicopot, dikarenakan adanya
kesalah fahaman antara dirinya dengan menteri Muhammad Najib Basya. Sehingga
kehidupan dunia al-Alusi berbalik 180 derajat. Untuk mengungkapkan kesusahan
hidupnya, sampai-sampai dikatakan bahwa al-Alusi hampir memakan tikar yang
digunakan sebagai tikar mesjid.
Pada tahun 1267 H/1850 M, al-Alusi
melakukan perjalanan menuju Istanbul. Ketika ia sampai di Maushil, ia singgah
di rumah Mahmud Afandi al-Umari yang dikenal sebagai seorang filsuf. Ketika di
Maushil inilah al-Alusi menunjukan dan membacakan tafsir al-Qur’an (Ruh
al-Ma’ani) yang ditulis sebelumnya dalam suatu majlis yang dihadiri oleh para
ulama Maushil, dan Mereka pun merasa ta’jub/kagum.
Selama perjalanannya ke Istanbul,
al-Alusi selalu singgah dan tinggal di tempat-tempat yang dilewatinya selama 2
hari untuk melakukan diskusi dengan ulama-ulama setempat. Sesampainya di
Istanbul pun, tidak ada yang dilakukannya kecuali diskusi dengan ulama-ulama
setempat. Dari hasil perjalanannya, ia mendapatkan berbagai pengalaman dan
pengetahuan yang belum pernah diperoleh sebelumnya, sehingga keilmuan dan
keutamaannya banyak dikagumi oleh banyak orang. Dalam perjalanan pulangnya dari
Istanbul menuju Baghdad mulai sering sakit, dan terus menurus dari waktu ke
waktu. Pada tanggal 25 Dzulqa’dah 1270 H/1854 M al-Alusi meninggal dunia dalam
usia 53 tahun.
Diantara karya-karya yang ditulis al-Alusi adalah: Rûhu al-Ma’âni fî
Tafsîri al-Qur’an al-‘Adzîm wa al-Sab’i al-Matsâni, Hasyiah Syarh al-Qhatr,
Kasyf al-Turrah ‘an al-Ghurrah, Al-Fayid al-Wârid ‘alâ Raudhi Murtsiyat Maulânâ
Khâlid, Al-Thirâz al-Madzhab fî Syarh Qashidat al-Bâz al-Asyhab, Al-Kharîdah
al-Ghaibiyah fî Syarh al-Qashîdah al-‘Ainiyah, Hasyiah Abdil Malik bin ‘Ishâm
fî ‘Ilm al-Isti’ârah, Al-Bayân Syarh al-Burhân fî Ithâ’at al-Sulthân,
Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘alâ al-Asilat al-Lâhûriyyah, Sufrat al-Zâd li Safarat
al-Jihâd, Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah li al-Asilat al-Îrâniyyah, Al-Nafahât
al-Qudsiyyah fî al-Raddi ‘alâ al-Imamiyyah, Nahju al-Salâmah ilâ Mabâhits
al-Imâmah, Syahyu al-Naghm fî Tarjamat Syaikh al-Islâm Arif al-Hakam, Nasywat
al-Syumûl fî al-Safr ilâ Istanbûl, Nasywat al-Madâm fî al-Aud ilâ Madînat al-Salâm,
Gharâib al-Ightrâb wa Nuzhat al-Albâb, Al-Maqâmât, Anbâu al-Abnâ bi Athyabi
al-Anbâ, Al-Ahwâl min al-Akhwâl, Qhutfu al-Zahri min Raudhi al-Shabr, Zajru
al-Maghrûr ‘an Rajzi al-Ghurûr, dan Saj’u al-Qamariyyah fî Rub’i al-Umriyyah.
Biorafi
al-Baidhawy
Nama lengkapnya adalah Nashiruddin
Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi Al-Syairazi.
Beliau berasal dari sebuah desa bernama Baidho’ bagian dari Negara
Persia (Iran). Dia adalah hakim di kota Syairaz dan sekaligus ahli tafsir al-Qur’an,
menyusun banyak ilmu pengetahuan, dan dengan mudah meraih pangkat itu setelah
kajadian yang membuktikan kepandaian dan kejeniusannya. Disanalah mula-mula
ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai bersentuhan
dengan ilmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan adab, dan
memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan Sastra kepada ilmu-ilmu Syara’ dan Hukum..
Selain itu, menurut Qadhi Syuhbah
dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim ulama di Azerbaijan,
dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat sebagai Qadhi
(hakim) di Syairaz. Al-Baidhawi hidup dalam suasana politik yang tidak menentu.
Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah,
tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang
baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa
pun hidup dalam budaya yang boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun
demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan
diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Mungkin, karena pertimbangan inilah
-setelah mengikuti saran guru spiritualnya, Syaikh Muhammad Al-Khata’i yang
memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan al-Baidhawi mengundurkan
diri dari jabatan hakim. Selepas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
hakim, al-Baidhawi mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah
beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang
berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi perhatian tulisan
ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di antara ulama.
Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685 M, sedangkan
menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
4.
Contoh tafsir bi al-ra’yi
Sesuai dengan
pengelompokannya, tafsir al-ra’yi ada yang masuk ke dalam penafsiran yang
ditolak karena tidak memenuhi persyaratan ijtihad, seperti contoh berikut ini :
1.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap surat al-Baqarah (2) ayat 74 :
ثُمَّ
قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَٱلۡحِجَارَةِ أَوۡ أَشَدُّ
قَسۡوَةٗۚ وَإِنَّ مِنَ ٱلۡحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنۡهُ ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ
وَإِنَّ مِنۡهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخۡرُجُ مِنۡهُ ٱلۡمَآءُۚ وَإِنَّ مِنۡهَا
لَمَا يَهۡبِطُ مِنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا
تَعۡمَلُونَ ٧٤
74. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,
bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah
lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa
yang kamu kerjakan
Mereka
menduga ada batu yang dapat berfikir, berbicara, dan jatuh karena takut kepada
Alloh, sepert teks ayat diatas.
2.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap surat An-Nahl (16) ayat 68 :
وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ
أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ
٦٨
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia"
Mereka
berpendapat bahwa di antara lebah-lebah itu, ada yang diangkat sebagai
nabi-nabi yang diberi wahyu oleh Alloh, dan mereka mengemukakan cerita-cerita
yang bohong tentang kenabian lebah. Semenara itu, sebagian yang lain
berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu
dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan madu.
3.
Penafsiran
sebagian orang terhadap surat AL-Humazah (104) ayat 6-7 :
نَارُ ٱللَّهِ ٱلۡمُوقَدَةُ ٦ ٱلَّتِي تَطَّلِعُ
عَلَى ٱلۡأَفِۡٔدَةِ ٧
6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan
7. yang
(membakar) sampai ke hati
Mereka
berpendapat bahwa ayat ini menunjukan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan
pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka menyeret
ayat diatas pada makna yang tidak dimungkinkan jika dihubungkan dengan ayat
sebelum dan sesudahnya.[5]
Selanjutnya diantara karya tafsir bi
al-ra’yiyang dapat dipercaya adalah :
1.
Mafatih
al-Ghaib, karya Fakhr ar-Razi (w. 606 H)
2.
Anwar
at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H)
3.
Madarik
at-Tanzil wa Haqoiq at-Takwil, karya An-Nasafi (w 701)
4.
Lubab
at-Takwil fi Ma’ani At-Tanzil, karya al-Khazin (w. 741 H).
C.
KESIMPULAN
Seiring perkembangan ilmu
tafsir yang semula hanya mengandalkan dari penjelasan al-Qur’an itu sendiri, penjelasan
Rasulullah dan para Sahabat, akan tetapi untuk masa sekarang hal itu tidak bisa
dilakukan mengingat para ulama mutaqodimin sudah tidak ada dan zaman semakin
jauh dari zaman tersebut. Perkembangan pengetahuan sudah semakin canggih
sehingga menuntut kaum muslim di belahan dunia untuk tetap mengembangkan
keilmuannya. Demikian halnya dalam ilmu tafsir, dengan kondisi sekarang sangat
menuntut adanya penafsiran melalui kontek ijtihad. Hal itu tidak bisa
dihindari, karena kalau tidak, Islam tidak akan berkembang keilmuannya.
Hal itu sesuai pula dengan
makna dari tafsir bi al ra’yi yakni suatu penafsiran yang menggunakan tidak
berdasarkan tekstual ayat saja tetapi lebih menekankan pada aspek pemikiran
manusia (akal). Walaupun sebagian para ulama
menganggapnya haram dan tidak ulama yang lain . Seperti pendapat Al-Ghazali yang membolehkan penafsiran melalui
akal (ijtihad) asalkan memenuhi persyaratan tertentu, pendapat tersebut dapat
mempengaruhi perkembangan ilmu tafsir masa kini, sehingga isi al-Qur’an dapat
difahami dari berbagai aspek. Demikian perkembangan ilmu tafsir sehingga sampai
kepada kita sekarang ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Wasron Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997)
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:
Litera AntaraNusa, 1994.
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2007
Moh. Amin, Modul Materi Pokok Ilmu Tafsir, Dirjen Kelembagaan UT, Jakarta, 1996.
Endang Toetari Adiwikarta, Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur’an,
Yayasan Amal Bakti Gombong Layang, Bandung, 2013
Mashuri Sirojudin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa ,
Bandung, 1987
[1]
.Ahmad Wasron Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997). hal. 1055
2. Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, Jakarta: Litera AntaraNusa, 1994. HAL 456
[3]
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an , Oustaka Setia, Bandung , tahun 2012, Hal
220
[4]
. Mashuri Sirojudin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, PT. Angkasa, Bandung,
1993, Hal. 118
[5]
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, PT. Pustaka Setia , Bandung, 2012 Hal 225-226
Komentar
Posting Komentar