Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya
TRADISI
TOLAK BALA
DI
KALANGAN IKHWAN TQN SURYALAYA
(Tinjauan
terhadap Motivasi dan Upaya Pelestarian Tradisi Tolak Bala)
SOLIHAH SARI
RAHAYU
Dosen Fak.
Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
Email :
solihah.sr@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini
akan mengangkat sebuah tradisi tolak bala di salah satu komunitas TQN, yang
dalam pelaksanaannya ada perbedaan dengan tradisi tolak bala di daerah lain. Adapun
tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui asal muasal dimulainya tradisi
tolak bala dan apa alasannya para Ikhwan TQN tetap konsisten melaksanakan
tradisi tolak bala yang hingga saat ini masih dapat dilestarikan oleh komunitas
TQN Suryalaya.
Adapun
metodologi yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi,
sebuah metode yang mengungkapkan tradisi tolak bala apa adanya, sebagaimana yang dilakukan oleh
para komunitas TQN Suryalaya dalam mengekspresikan keyakinannya dalam kehidupan
mereka.
Hasil dari
penelitian ini bahwa tradisi tolak bala berawal dari adanya keyakinan di
komunitas Ikhwan TQN yang menyatakan bahwa akan turun bala di bulan Safar
sebanyak 320.000 penyakit dan salah satunya di hari Rabu terakhir bulan
tersebut. Dari keyakinan tersebut menimbulkan tindakan-tindakan preventif berupa
melakukan doa, dzikir serta sedekah. Namun keyakinan tersebut berkembang
seiring banyaknya musibah dan bencana yang terjadi saat ini. Pada dasarnya jika
Allah berkehendak dalam kehidupan Ikhwan kapanpun musibah akan terjadi,
karenanya sebagai Ikhwan TQN berusaha untuk menolak, paling tidak meminimalisir
musibah yang terjadi melalui tradisi tolak bala baik dengan sholat maupun
dengan sedekah. Dan suatu keharusan untuk tetap melestarikan tradisi tersebut
baik dengan cara melakukannya secara terus menerus (experience) maupun dengan
cara dikembangkan keilmuannya (knowledge).
Kata Kunci : Tradisi, Tolak Bala, Ikhwan TQN, Motivasi dan
Pelestarian.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
sebagai sebuah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, memiliki
banyak lembaga pendidikan yang berbasis
pesantren guna membina dan mendidik generasi penerusnya menjadi anak bangsa yang berakhlaqul karimah
dan berilmu agama yang luas. Pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai
di sebuah daerah kemudian datang para santri yang ingin belajar agama padanya,
tempatnya pun masih di rumah kyainya namun semakin hari semakin bertambah
santrinya akhirnya muncul inisiatif
untuk membangun pondok di sekitar rumah kyai tersebut. Kegiatan agama inilah yang kemudian dinamakan
pondok pesantren[1].
Lembaga
pondok pesantren berdiri sejak ratusan tahun telah menghiasi dan memperkaya
khazanah Islam Nusantara yang keberadaannya sangat teruji dan berpengaruh bukan
hanya bagi masyarakat sekitar namun bagi kemajuan bangsa ini yang membentuk ke
dalam pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena di dalamnya telah
melahirkan generasi yang dapat membangun bangsa ini. Pondok pesantren memiliki
pola pendidikan terpadu antara nilai-nilai yang ada di masyarakat, agama
dan budaya. Disamping pola utamanya
pendidikan pengajaran, sehingga peranannya sangat penting dan strategis bagi
pengembangan agama di masyarakat.
Sebagai
sebuah lembaga yang berbasis pendidikan pengajaran dan pengkajian, pondok
pesantren memiliki kekhasaan tersendiri sesuai dengan kapasitas yang dimiliki
oleh kyainya. Ada yang dikenal dengan pesantren alat yaitu pesantren yang
khusus mengkaji ilmu tata bahasa Arab (ilmu nahwu dan sorof), pesantren yang
berbasis pada ilmu fiqih, pesantren yang berbasis ilmu tauhid serta ilmu
tasawuf, masing-masing pengkajian tersebut menjadi karakteristik tersendiri
bagi pondok pesantrennya.
Salah
satu pondok pesantren yang masih tetap eksis sampai sekarang yang mendalami
pengkajian ilmu tasawuf yaitu Pondok Pesantren Suryalaya , sebuah
pondok yang berlokasi di Kampung Godebag Desa Tanjungkerta Kecamatan
Pagerageung Tasikmalaya. Suatu daerah
yang dikelilingi oleh perbukitan pegunungan antara Gunung Syawal dan
Gunung Cakrabuana dan ditepi sungai Citanduy serta dilewati jalan raya jalur
Bandung – Panjalu, suatu tempat yang sangat strategis bagi pengembangan
pesantren sekaligus menjadi tantangan karena
mudahnya tranfortasi dan arus informasi yang masuk.
Kyai
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pesantren, kyai menempati posisi
central pada pesantrennya karena kyai lah yang menjadi sumber inspirasi dan
ilmu pengetahuan bagi santri (ikhwan)[2]nya.
Seringkali kyai sebagai perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, bahkan pemilik
langsung, sehingga kepemimpinan seorang kyai seolah-olah otoriter. Gaya dan
kepemimpinannya akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola pola
komunikasi dengan santrinya dan lingkungannya hal itu akan menjadi ciri khas
dari pesantrennya.
Abah
Anom sebagai kyai sekaligus guru spiritual pada komunitas TQN Suryalaya telah
memberikan berbagai macam keteladanan dalam kehidupan kesehariannya sehingga para santri mendapatkan pembelajaran
akan kehidupan yang sesungguhnya. Banyak pola hidup yang beliau contohkan
berupa kebiasaan-kebiasaan positif
terhadap muridnya saat dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Karena beliau
bukan sosok sufi yang hanya berdiam diri di hutan-hutan namun beliau ada
ditengah masyarakat yang akan selalu membutuhkannya.
Abah
Anom sebagai pemimpin tarekat yang muktabaroh[3] memiliki berbagai kegiatan baik yang sifatnya
amaliah ke-TQN an maupun yang sifatnya sosial keagamaan. Dimana kegiatan
tersebut melahirkan tradisi bahkan menjadi budaya dikalangan ikhwan[4]
Suryalaya. Salah satu tradisi itu adalah tradisi tolak bala, sebuah
tradisi yang bertujuan untuk menangkal bala atau bahaya yang mungkin terjadi.
Terlebih di saat masyarakat akan memiliki hajat besar seperti akan
melangsungkan pernikahan putra putrinya atau
membangun rumah dan sebagainya.
Tradisi
tolak bala berlangsung sejak masih zaman Abah Sepuh[5]
hingga sekarang, namun seiring perubahan zaman tradisi tersebut ada sebagian
masyarakat yang sudah mulai sedikit tidak melakukannya. Namun peneliti tertarik dengan sebagian ikhwan yang masih
tetap melakukan tradisi dan budaya tolak bala, motivasi apa yang mereka miliki
sehingga tetap konsisten walaupun keadaan sudah mulai berubah.
Meskipun
keadaan sudah mengalami perubahan
idealnya budaya tolak bala tersebut harus dilestarikan karena memiliki
nilai positif yang bermanfaat yang besar. Oleh karena itu perlu ada upaya
pelestarian terhadap tradisi tersebut apapun itu bentuknya. Dengan demikian
penulis bermaksud melakukan penelitian terhadap tradisi tolak bala guna
mengetahui motivasi serta penyebab
berkurangnya minat ikhwan Suryalaya dalam melakukan tradisi tolak bala tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berawal
dari latar belakang diatas, penulis dapat menarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana
asal muasal tradisi tolak bala dikalangan ikhwan TQN Suryalaya?
2.
Bagaimana
motivasi dan tujuan mempertahankan tradisi tolak bala disaat orang lain sudah mulai meninggalkan
bagi kalangan ikhwan TQN Suryalaya?
3.
Upaya
apa saja untuk melestarikan tradisi tolak bala tersebut ?
C.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melakukan beberapa
hal antara lain :
1.
Mendeskripsikan
asal muasal tradisi tolak bala dikalangan ikhwan TQN Suryalaya.
2.
Mengetahui
motivasi pemertahanan dalam tradisi tolak bala yang mulai sedikit
berangsur di kalangan ikhwan TQN Suryalaya
3.
Melakukan
berbagai upaya untuk melestarikan tradisi tolak bala agar tradisi positif tersebut tetap eksis.
D.
Kontribusi Penelitian
Penelitian
ini harapan penulis dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis diharapkan dapat digunakan sebagai wacana dan khazanah
keilmuan dalam ajaran Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) serta sebagai bahan
informasi bagi penelitian-penelitian berikutnya.
Adapun
secara praktis, diharapkan dari penelitian ini peneliti mendapatkan tambahan
ilmu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai asal muasal tolak bala ,
sekaligus nilai -nilai yang terkandung di dalamnya serta upaya-upaya
pelestarian tradisi tersebut agar penulis dapat melakukan tindakan real dalam
melestarikan tradisi tolak bala .
E.
Tinjauan Pustaka
Kajian dikalangan
ikhwan Tarekat Qodiriyah Wa
Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya sudah banyak dilakukan. Dalam beberapa literature
bahwa dalam pengembangannya TQN Suryalaya mengambil jalur kearifan lokal dan
peranan sosial politik, sungguhpun inti
ajaran serta ritual mereka tetap bertumpu pada proses penguatan dan pembersihan
batiniyah melalui pengamalan zikir[6]
dan wirid Tarekat. Namun pada penelitian itu sebatas meneliti sejarah pengembangan
sufisme TQN, yang lebih
memfokuskan kepada aspek lain seperti tradisi dan budaya, sosial, pendidikan, historis, organisasi, ekonomi. Kaitannya
dengan tradisi yang ada di TQN Suryalaya begitu banyak namun untuk penelitian
terhadap tradisi tolak bala,ternyata belum ada, seperti pada beberapa
penelitian berikut ini :
1.
Pengembangan
Sufisme dan Kearifan Lokal dalam Sejarah TQN Suryalaya, oleh Dudung Abdurrahman ( 2012).
2.
Ketika
Perempuan Lupa “ Sebuah
kajian Enografi tentang Perempuan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Suryalya,Yamin (2012).
3.
Tradisi
Pembacaan Tanbih dalam Komunitas TQN Suryalaya , Bassar (2010).
4.
Tradisi
Nerbang di Pondok Pesantren Suryalaya, Rahayu
(2011).
5.
Dzikir
Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya, Mukaffan (2012).
6.
Peran
Edukasi TQN Suryalaya, oleh Sri
Mulyati
7.
Keluarga
Sakinah dalam perspektif Tanbih TQN Pondok Pesantren Suryalaya oleh Muhibah
8.
TQN
: Suryalaya dan Pesona Tarekat
oleh Dr. Asep Salahudin
9.
Pengaruh
Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Suryalaya terhadap Praktek Keagamaan Masyarakat
Desa Tanjungkerta Kec. Pagerageung Tasikmalaya oleh wawan Kurniawan
10.
Kaya
Materi Miskin Hati (mengenai pengamalan TQN : jika diamalkan, diamankan dan
dilestarikan) oleh : Syukron Makmun
11.
Pendidikan
Keluarga dan Riyadloh dalam Pembentukan
Karakter Pengamal TQN Suryalaya,
oleh Suhro wardi
12.
Tradisi
Tolak Bala di Pondok Pesantren Suryalaya ( dari aspek pemaknaan dan fungsi) Oleh Nana Suryana
Adapun
penelitian yang berkaitan dengan tradisi Tolak Bala di berbagai daerah sudah
banyak dilakukan juga dengan karakteriktik tersendiri seperti berikut ini :
1.
Ritual
Tolak Bala Pada Masyarakat Melayu (Kajian Pada Masyarakat Petalangan Kec.
Pangkalan Kuras Kab. Pelalawan, oleh Hasbullah dan Awang Azman (2017). Kajian
ini menjelaskan tentang pelaksanaan ritual tolak bala, perpaduan Islamdan
budaya serta alasan masih tetap
dipertahankan.
2.
Perubahan
fungsi dan makna ritual tolak bala didesa bagan serdang kecamatan pantai labu
kabupaten deli serdang, oleh Sutikno , kajian ini menjelaskan adanya perubahan
fungsi dan makna ritual tolak bala menjadi dikomersilkan
3.
Nilai-Nilai
Tradisional Tolak Bala Di Desa Betung Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten
Pelalawan Oleh: Gustiranto, yang
menjelaskan mengenai proses pelaksanaan
ritual tolak bala ditinjau dari
segi praktek dan tujuan pelaksanaannya.
4.
Study
Kasus “Memudarnya Tradisi Tolak Bala Di Masyarakat Desa Marannu Kecamatan Lau
Kabupaten Maros” oleh ......membahas kajian tentang analisis
pemudaran tradisi assongka bala dan perilaku sosial masyarakat yang melakukan
assongka bala.
5.
Tradisi Tolak Bala di Suryalaya yang
dilakukan oleh Nana Suryana lebih kepada pemaknaan dan fungsi Tolak Bala
Yang
membedakan penelitian dengan yang
terdahulu itu, tradisi tolak bala yang ada di kalangan ikhwan TQN Suryalaya
terbagi pada dua; tolak bala dengan cara ibadah mahdlah (sholat lidaf’il bala)
dan tolak bala dengan cara sedekah memberikan beras (bahan makanan pokok )
serta seekor ayam, kambing atau sapi (binatang ternak). Tolak bala yang berupa
sedekah dilakukan secara perorangan setiap akan memiliki hajat besar (
menikahkan putra putrinya, khitanan atau membangun rumah dll) atau secara
lembaga (instansi/ organisasi). Selain itu perbedaannya dengan yang peneliti
lakukan adalah dari bentuk upaya pelestariannya, mengingat tradisi melalui
harta sudah sedikit berkurang dilakukan oleh para ikhwan TQN Suryalaya.
F.
Kerangka Pemikiran
Tradisi
tolak bala yang dilakukan di Pondok Pesantren Suryalaya , sudah
dilakukan puluhan tahun sejak zaman Abah Sepuh ( Ayahanda Abah Anom),,
masyarakat mengenalnya dengan sebutan tolak bala yang diorientasikan
pada sebuah pemberian harta kepada pihak pesantren untuk mengharap doa dan
keberkahan dikarenakan akan melaksanakan sebuah hajat besar. Namun dalam hal
ini penulis menyebutnya dengan tolak
bala , karena diorientasikan kepada harta benda. Selain ada istilah tolak
bala dalam jenis yang berbeda, yaitu
dalam bentuk dan melalui ibadah mahdlah (sholat sunnah lidaf’il
bala).
Tradisi
tolak bala adalah jenis kegiatan
sosial keagamaan dan budaya yang terrefleksikan dalam sebuah tradisi,
setidaknya kegiatan ini penulis mengelompokan ke dalam pemaknaan budaya seperti
makna budaya menurut Clifford Geertz (1992) dalam bukunya yang berjudul The
Interpretation of Culture”
mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang
disusun.
Dalam
pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan
perasaannya dan memberikan penilaian-penilaianya. Suatu pola makna yang
ditransmisikan secara jistorik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik
melalui sarana dimana orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan
mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan
peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber infrmasi yang
ekstrasomatik”. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses
budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan (Kuper, 1999;98).
Manusia
dalam merepresentasikan dunianya, perasaannya
seperti yang diungkap oleh Clifford Geertz diatas di perkuat oleh Weber bahwa tindakan manusia tersebut sebagai wujud
pribadinya dengan memperlihatkan perilakunya yang khas dikarenakan ajaran yang
diperoleh dari nenek moyangnya tanpa refleksi yang secara sadar atau
perencanaan. Seperti dalam contoh tradisi tolak bala bagi ikhwan
Suryalaya , individu akan langsung melakukan tolak bala dengan memberikan beras
beberapa kilogram dan seekor ayam jago warna putih kepada pihak pesantren
dengan memohon doanya dan keberkahan dari gurunya agar dijauhkan dari balai nya
pada saat akan mengadakan suatu hajatan atau acara lain yang memerlukan
biaya besar.
Tradisi
tolak bala yang dilakukan ikhwan Suryalaya, diyakini bahwa dengan
bersedekah lewat tolak bala maka
Allah akan menjauhkan dari mereka bahaya atau bencana terutama saat hajatan
berlangsung. Keyakinan tersebut didapat karena ikhwan Suryalaya setidaknya
banyak mendapatkan pelajaran dari Abah Anom dengan bersikap peduli kepada
sesama dengan mau bersedekah. Tindakan Abah Anom selaras dengan sebuah al-hadits dikatakan bahwa :
الصدقة تدفع البلاء
Bahwa sedekah
dapat menolak balai (malapetaka).
Keyakinan
itu menggiring para ikhwan Suryalaya untuk melakukan tolak bala disetiap
acara-acara yang digelar pada masyarakat baik secara individual maupun kelompok
masyarakat. Terlepas dari keyakinan terhadap tradisi tolak bala bahwa tradisi tolak bala memiliki banyak nilai yang terkandung
didalamnya. Posisi nilai yang terdapat dalam tradisi tolak bala secara substansial terlihat dalam diagram
berikut ini :
Nilai
dalam sebuah tradisi menjadi intinya karenanya sangat penting untuk dilakukan
sebuah upaya pelestariannya. Sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah kaidah berikut ini :
المحافضة علي قديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلاح
“Bahwa mempertahankan tradisi terdahulu yang baik sangat
penting dan mengambil sesuatu yang baru
yang lebih baik dan bermanfaat” artinya adanya suatu keharusan untuk
melestarikan tradisi yang baik dan bermanfaat.
Adapun
nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi tolak bala seperti tergambar
dalam pola berikut :
Diantara nilai-nilai tersebut antara lain :
1.
Ketaatan
terhadap pengamalan ajaran agama
2.
Pengabdian
3.
Kedermawanan
4.
Ketulusan
5.
Kesadaran
6.
Kebersamaan
7.
Kepedulian
sosial
8.
Gotong
royong dll.
Nilai-nilai
tersebut diatas yang didefinisikan oleh Smith dan Schwartz (1977) sebuah keyakinan yang mengacu pada tujuan
yang diinginkan, melampaui tindakan atau situasi tertentu, berfungsi sebagai
standar untuk memandu pemilihan atau evaluasi perilaku, orang dan peristiwa,
dan diperintahkan oleh kepentingan relatif untuk satu sama lain.[7]
Sehingga pemaknaan nilai dapat berbeda, tergantung dalam perspektif mana
seseorang melihatnya.
Nilai
memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai
hal-hal yang besar, baik dan diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan
intensitas. Sifat isi menyampaikan bahwa
cara pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting. Sifat
intensitas menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut.
Nilai
pula yang dapat terlestarikannya sebuah tradisi dan budaya, terutama
nilai-nilai yang sudah tertanam dalam sosial kemasyarakatan. Nilai akan
mewarnai dinamika sebuah peradaban
budaya bahkan akan memberikan inspiratif dan inovatif terhadap perkembangannya.
Perkembangan peradaban budaya beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang sangat cepat tidak dapat
mengimbangi perkembangan budaya yang berakibat pada tergesernya nilai-nilai
budaya tersebut.
Pada
tradisi dan budaya tolak bala yang berkembang di masyarakat Indonesia,
terdapat didalamnya nilai-nilai yang sangat kuat, sehingga tradisi tersebut
mengakar kuat di masyarakat. Hampir di seluruh nusantara tradisi tolak bala
ada dan dilakukan oleh masyarakat tersebut dengan gaya dan cara yang
berbeda-beda. Namun untuk masa sekarang keadaan tradisi tersebut
G.
Metodologi Penelitian
1.
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Pesantren Suryalaya Desa Tanjungkerta Kecamatan Pagerageung
Kabupaten Tasikmalaya. Sebuah daerah yang berlokasi cukup jauh dari pusat Ibu
Kota Kabupaten, dan terletak diperbatasan antara Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis. Pondok Pesantren Suryalaya terletak di daerah
perbukitan yang diapit oleh pegunungan, yakni antara Gunung Sawal, Gunung
Cakrabuana dan Gunung Tampomas. Serta dilalui oleh aliran sungai Citandui yang
berhulu di Gunung Cakrabuana dan berhilir di pantai Pangandaran.
2.
Waktu Pelaksanaan
Adapun
pelaksanaan penelitian dilakukan selama beberapa bulan secara formalnya, secara
substansial peneliti termasuk juga sebagai informan yang sudah cukup lama
tinggal di komplek Pesantren Suryalaya, sehingga peneliti sudah memperhatikan tradisi tersebut sejak kecil
dan tahu betul serta mengalami bagaimana proses tradisi tolak bala berlangsung.
3.
Subyek penelitian
Untuk
memudahkan peneliti dalam menjawab dan menyimpulkan rumusan masalah yang diajukan,
maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi[8]
yang menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya. Mengingat penulis merupakan
penduduk asli Suryalaya yang mengenal betul tradisi tolak bala berjalan selama
ini, bahkan penulis termasuk subyek penelitian yang terlibat langsung dalam
tradisi tersebut. Inti dari penelitian etnografi merupakan studi yang sangat mendalam tentang
perilaku yang terjadi secara alami di sebuah budaya atau sebuah kelompok sosial
tertentu untuk memahami sebuah budaya tertentu dari sisi pandang pelakunya.
Dalam hal ini penulis akan
mendeskripsikan bagaimana pemahaman masyarakat sekitar khususnya masyarakat
ikhwan yang sering melakukan tolak bala secara langsung datang ke Pesantren Suryalaya untuk memohon doa dan
keberkahan dari Abah Anom selaku guru mursyid .
4. Teknik
Pengolahan Data
Berkaitan dengan pengumpulan data,
tidak hanya studi pustaka yang dilakukan dari berbagai bersumber buku, karya ilmiah ataupun sumber online, akan tetapi penulis lebih
memperdalam pada sumber lapangan, baik berupa observasi (pengamatan), maupun
wawancara yang secara spesifik dilakukan kepada ikhwan yang sering
melakukan tolak bala, dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu data-data berupa rekaman saat
peneliti melakukan wawancara, fhoto-fhoto, dan segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tolak bala.
Studi pustaka melalui buku, karya
ilmiah maupun sumber online penulis gunakan untuk mendapatkan data
mengenai teori-teori yang diperlukan dalam penulisan ini serta data-data
mengenai tradisi terdahulu yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Dalam hal ini penulis mengunjungi perpustakaan dan mengumpulkan buku-buku yang
relevan dengan tradisi, budaya diberbagai tempat serta teori- teori
pelestarian. Jika melalui sumber buku tidak ditemukan, maka penulis mencari
melalui sumber online, baik dalam
karya-karya ilmiah, jurnal maupun artikel. Alhamdulillah melalui sumber online sedikit banyak penulis terbantu
dalam mengakses hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan tema penelitian.
Metode wawancara dan observasi
penulis lakukan guna memperoleh data dari intrumen secara langsung. Penulis
menempatkan para ikhwan yang aktif yang sering menemui Abah Anom dan orang-orang
yang berada di seputar pesantren sebagai instrumen penting penelitian. Hal lain
yang diperlukan informasi tentang
situasi sosial mereka pada masa awal tradisi tolak bala dilaksanakan,
dalam hal ini penulis menemui para sesepuh yang masih ada guna mendapatkan
informasi tradisi tolak bala di masa awal tersebut .
Wawancara yang dilakukan cukup menyita
waktu, karena para ikhwan yang sering melakukan tolak bala bukan hanya penduduk sekitar Suryalaya saja
melainkan masyarakat ikhwan yang dari
luar Suryalaya. Selain itu pelaksanaan tolak
bala tidak ada ketentuan waktunya jadi kapanpun, siapapun, dan kepada siapa
saja para ikhwan yang bermaksud melakukan tolak bala . Secara personal datang
dan pergi ke Pondok Pesantren Suryalaya baik pagi, siang dan petang sambil
membawa beras dan ayam atau binatang ternak lainnya untuk menyerahkannya ke
keluarga besar pesantren khususnya kepada Abah Anom.
Para ikhwan yang sering melakukan tolak
bala bukan hanya yang secara finansial dianggap mampu namun juga ikhwan
yang jika dilihat dari tingkat pengabdian kepada pesantren begitu tinggi. Penulis
yang juga sebagai informan yang merasakan langsung dan tidak dapat dipisahkan
dalam proses pengumpulan, analisis dan interpensi data. Oleh karena itu realita
yang berhasil digali dan ditemukan melalui penelitian etnosains sering dianggap
bersifat subyektif karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas
pihak-pihak yang terkait, baik penulis maupun partisipan yang terlibat
didalamnya.
Terlepas dari subyektifitas penulis
maupun informan, penulis berusaha untuk
mencari beberapa informan yang menurut Spradley dianggap memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
- Enkulturasi penuh
- Keterlibatan langsung
- Suasana budaya yang tidak dikenal
- Waktu yang cukup
- Non analitis.(J.P. Spradley : 2006 : 68)
Diantara informan yang dianggap
memenuhi persyaratan diatas antara lain pihak pesantren sendiri seperti Abah
Anom, atau putra-putra beliau yang menerima langsung tolak bala dari para ikhwan yang datang secara
sengaja. Para ikhwan yang memberikan benda sebagai obyek yang akan di
jadikan penolak bala termasuk informan
penting, karena dengannya penelti mendapatkan maksud dan tujuan informan dalam
melakukan budaya tersebut.
Pihak jagal (penyembelih binatang
ternak) juga termasuk informan yang melengkapi data penelitian ini, karenanya
mendapatkan informasi seberapa banyak binatang-binatang yang di sembelih untuk tolak bala tersebut dan dalam bentuk binatang
apa saja yang dijadikan sebagai penolak bala tersebut. Dilibatkan seorang
jagal, karena binatang yang dijadikan tolak bala nya berupa seekor domba
,kambing bahkan sapi jadi memerlukan seorang yang ahli untuk menyembelihnya.
Selain itu para ibu-ibu dapur yang
tak luput dari informan yang peneliti wawancarai guna mengkaji seberapa besar
rasa yang terungkap saat mengolah, memasak bahan makanan sebagai penolak balai,
adakah mekanisme tertentu yang membedakan dengan olahan makanan biasanya.
6.
Teknik Wawancara
Saat
melakukan wawancara peneliti menemui orang perorang yang melakukan tolak
bala yang mendatangi ke komplek pesantren Suryalaya tepatnya ke dapur
khusus yang menemui Umi (Istri Abah Anom) untuk menyatakan niatnya sambil
menyerahkan barang yang di bawanya. Peneliti menghampiri para ikhwan dan
mewawancarainya dengan menggunakan alat recorder (guna menghindari kekhilafan saat wawancara) sambil
ngobrol panjang lebar tentang apa yang sudah mereka lakukan.
Setelah
mewawancarai para ikhwan, peneliti langsung menumpahkan dalam bentuk tulisan
guna mencek ricek sudah sejauh mana kelengkapan data yang dibutuhkan,
kekurangannya, sehingga dapat dilakukan wawancara berikutnya.
Alat
dokumentasipun peneliti gunakan dalam mewawancarai para ikhwan sebagai bukti
wawancara dan bukti fisik telah berlangsungnya tradisi tolak bala
tersebut. Dokumentasi tersebut berupa foto-foto pelaksanaan, sholat sunnah lidaf’i
al-bala ,lingkungan sosialnya, penyerahan barang yang dijadikan tolak bala
saat diserahkan kepada pesantren hingga penyembelihan binatang tolak bala.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Pemaknaan Tradisi dan Budaya
Indonesia
memiliki keanekaragaman tradisi dan budaya yang sangat besar sehingga istilah
tersebut tidak begitu asing bagi masyarakat.
Pemaknaan tradisi disini adalah segala sesuatu yang diwariskan dari masa
lalu hingga masa kini yang berkaitan dengan kebiasaan dan cara hidup yang baik pada
suatu kelompok masyarakat sehingga dapat bertahan hingga puluhan bahkan ratusan
tahun. Berbicara tradisi dan budaya yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun
tentunya sudah dilakukan oleh para leluhur nenek moyang di negeri tercinta ini
untuk diceritakan dan dijelaskan kepada anak cucunya sebagai generasi penerus
bangsa. Penjelasan terhadap generasi berikutnya
menjadi sangat penting guna menjaga terlestarikannya tradisi sebagai kekayaan khazanah budaya bangsa yang
penuh dengan nilai-nilai normatif.
Melalui
tradisi dan budaya[9],
bangsa ini memiliki karakter yang khas
dibanding bangsa lain sebagai identitas di mata dunia Internasional. Karena
tradisi dan budaya Indonesia terbentuk dari keragaman yang ada melalui proses
penyesuaian yang panjang dan unsur yang rumit, termasuk didalamnya dari
berbagai sistem agama, politik, adat-istiadat, bahasa, pakaian dan lain-lain.
Sehingga melalui penyesuaian tersebut dapat hidup berdampingan, penuh
keharmonisan, bergotong royong dan saling membahu walaupun dalam suasana yang
penuh perbedaan. Menjadi sangat urgen pula pelestarian tradisi dan
budaya dalam rangka menciptakan masyarakat yang madani, negeri yang baldatun
toyyibatun wa robbun ghofur, penuh rukun dan toleransi.
B.
Pemaknaan Motivasi
Derasnya
laju perkembangan informasi dan teknologi menyebabkan perubahan perilaku dan
sikap masyarakat terhadap kebiasaan-kebiasaan budaya lokal yang sudah lama
berurat akar keberadaannya di masyarakat. Perubahan tersebut mewarnai dinamika
manusia dalam meraih kepuasan hidup yang hendak dicapainya, baik perubahan yang
membawa manfaat bagi dirinya juga orang lain begitu juga perubahan yang justru
akan menjerumuskannya. Semuanya kembali kepada motivasi dan tujuan manusia itu
sendiri.
Salah
satu cara yang dapat digunakan memahami kompleksitas manusia adalah dengan
analisis kebutuhannya yang beraneka ragam. Kategorisasi yang paling sederhana
adalah dengan mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu sendiri dari kebutuhan
primer dan sekunder. Berkaitan dengan kategorisasi kebutuhan manusia erat
kaitannya dengan motivasi / dorongan yang ada pada diri manusia. Dalam hal ini
Maslow menjabarkan secara hierarki kebutuhan manusia sebagai berikut :
Gambar 3.1 Hierarki Kebutuhan Maslow
Menurut
Maslow hierarki ini beranggapan bahwa waktu orang sudah memuaskan satu tingkat
kebutuhan tertentu , mereka ingin bergeser ke tingkat yang lebih tinggi .
Tingkatan kebutuhan yang tertinggi menurut Maslow dalam hal ini bentuk
aktualisasi diri, salah satunya melalui budaya termasuk didalamnya.
Pada saat diciptakan, manusia telah
dilengkapi dengan empat fitrah (dorongan) yang menjadi potensi bagi
pengembangan budaya[10],
keempat dorongan tersebut adalah :
1.
Dorongan
Naluri ( Hidayah Fitriyah)[11]
2.
Dorongan
Indrawi (Hidayah Hissiyah)[12]
3.
Dorongan
Akal ( Hidayah Aqliyah)[13]
4.
Dorongan
Religi (Hidayah Diniyah[14].
Menurut pendapat yang lain hubungan antara motivasi
dengan sebuah pekerjaan atau aktifitas sehari-hari, maka motif dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu (1) motif biogenetis, yaitu motif-motif yang berasal
dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya, misalnya lapar,
haus, kebutuhan akan kegiatan dan istirahat, mengambil nafas, seksualitas, dan sebagainya. (2) motif sosio-genetis,
yaitu motif-motif yang berkembang
berasal dari lingkungan kebudayaan
tempat orang tersebut berada. Jadi motif ini tidak berkembang dengan
sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh leingkungan kebudayaan setempat. (3) motif
teologis, dalam motif ini manusia adalah
sebagai makhluk yang berketuhanan, sehingga ada interaksi antara manusia dengan
Tuhan-nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya keinginan
untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha
Esa, untuk merealisasikan norma-norma sesuai agamanya[15].
Dari
ketiga jenis motif diatas, dorongan yang paling kuat dan dalam adalah motif
teologis. Melalui motif teologis (keyakinan), bukan saja mempunyai kekuatan
baru dan tidak perlu merasa lelah, akan tetapi mempunyai optimisme dan
kepastian akan memperoleh hasil yang diharapkan sangat besar, karena
pertolongan Allah terlibat di dalamnya. Adanya kesadaran bahwa seberapa kuat
kemampuan manusia tanpa ijin Allah, maka
tidak akan berhasil dan sukses apa yang kita usahakan.
Hidayah
religius atau identik dengan motif
teologis mendasari terlahirnya budaya dan tradisi sosial keagamaan dalam suatu
mayarakat dalam merepresentasikan keyakinannya sebagai bentuk aktualisasi diri
meminjam istilah Maslow pada tingkat yang paling tinggi. Manusia akan merasa
puas bentuk keyakinannya dapat diaktualisasikan melalui hasil karyanya dalam
suatu budaya dan tradisi bagi halayak.
Sebagai
bangsa yang kaya dengan tradisi dan budaya semakin mendukung untuk terciptanya
Islam nusantara yang syarat dengan
karateristik yang khas. Kekhasan dalam Islam Nusantara mendeskripsikan
terimplementasikannya nilai-nilai Islam di bumi Nusantara yang sudah sangat
lama dipraktekkan oleh para pendahulu negeri ini. Namun dari sekian
motivasi-motivasi diatas, yang melekat pada setiap tradisi dan budaya tentunya
tidak lepas dari sebuah tantangan perubahan sosial dan arus perkembangan
teknologi dan informasi.
Tradisi
dan budaya juga melahirkan sebuah sikap individu dan kelompok terhadap
dunianya. Sikap dalam hal ini seperti yang dikatakan oleh Allport (1935)
dalam Haddoc dan Miao (2004 ; 276) menurutnya bahwa sikap merupakan keadaan
siap baik secara mental maupun syaraf, yang diorganisir melalui pengalaman,
yang memiliki pengaruh dan dinamis dan mengarah terhadap respons seseorang
kepada semua obyek, dan situasi yang terkait dengan keadaan tersebut.[16]
Pendapat yang lain diungkap oleh Eagly dan Chaikan(2004 ; 302)
bahwa sikap dideskripsikan sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan
dengan melihat entitas tertentu dengan tingkat dukungan atau penolakan.[17]
Dari dua pengertian diatas dapat ditangkap beberapa hal berikut ini
;
1.
Sikap adalah kadaan mental, syaraf
atau pikiran yang diterima sebagai kebenaran
2. Sikap
mendorong orang berfikir, merasa atau bertindak baik positif maupun negatif
terhadap orang, ide atau peristiwa
3.
Sikap bukan faktor bawaan, melainkan
diperoleh melalui belajar atau pengalaman.
Satu hal yang menarik bahwa sikap yaitu munculnya perilaku yang
mendeskripsikan keadaannya dengan kecenderungan secara psikologis. Artinya pada sikap ada suatu hal
yang ingin dimunculkan dari alam idenya sebagaimana adanya sesuai keadaan
psikologisnya. Dorongan dari alam idelah yang melahirkan sebuah sikap begitu
pula keadaan pikiran dan perasaan dapat
mempengaruhinya. Menjadi penting mengetahui dorongan/ motivasi seseorang
berkaitan dengan apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya saat melakukan
sesuatu.
Namun sikap tidak terbentuk dengan sendirinya. Sikap tidak dibentuk
dalam kekosongan. Orang dilahirkan dengan karakteristik tertentu yang berdampak
pada sikap mereka. Namun, banyak faktor yang memiliki peran yang besar terhadap
kehidupan orang dan faktor tersebut terus menerus mempengaruhi kehidupan
mereka. Diantara beberapa faktor tersebut antara lain :
1.
Lingkungan
2. Kepribadian
3. Sosialisasi
4. Keterbukaan
pada pengalaman baru
5. Media
6. Citra
diri, bagaiana kita memanang diri kita
7. Pengaruh
kultural
8.
Status rasa aman, keluarga dan
pekerjaan[18]
Demikian halnya dengan budaya (cultural) yang terlahir dari
hasil cipta karya masyarakat dapat dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal diatas
dalam sikap perilaku setiap individu dan kelompoknya juga dalam tradisi dan
budayanya.
Begitu
cepatnya teknologi mengikis budaya lokal terlupakan dikalangan generasi muda.
Semakin jarang anak muda masa kini mengatakan “pamali” terhadap suatu ucapan,
semakin jarang pula anak muda masa kini mengatakan ini warisan leluhur. Rasa
bangga terhadap warisan leluhur budaya nenek moyang luntur sudah, kalaupun
masih ada, itu di embel-embeli dengan suatu kepentingan dan motivasi tertentu.
Sebuah
dorongan yang muncul karena keadaan yang telah membentuknya, modernisasi
membentuk anak-anak muda masa kini menjadi lupa akan jati dirinya, lupa akan
budayanya yang membawanya kepada harmonisasi. Sikap acuh tak acuh,
individualistis, mementingkan diri sendiri menghapus kepedulian terhadap
lingkungan sekitarnya.
Kurangnya nya kesadaran akan
pelestarian budaya menimbulkan sikap
acuh tak acuh terhadap perkembangan budaya . Dan mengakibatkan kan budaya kita
semakin tertutupi oleh budaya barat yang masuk. Bukan budaya kesenian saja yang hilang tetapi budaya budaya kecil
kita mulai dari budaya mengantri, budaya gotong royong, budaya kejujuran,
budaya musyarwarah pun telah menghilang dari peredaran. Dan tentunya tidak ingin budaya yang masih bertahan juga
ikut hilang.
C.
Tolak Bala dan Jenisnya
Istilah tolak
bala terdiri dari dua kata, Tolak
dan Bala , kata tolak bala berasal dari kata dasar tolak, yang berarti penangkal bencana (bahaya,
penyakit, dan sebagainya) dengan mantra (kenduri dan sebagainya). Kata tolak
bala terdiri dari dua kata yang saling berkaitan, jika di konversi ke dalam
bahasa Arab adalah al-daf’u al-bala, karena dikenal dengan sholat lidaf’il
bala.
Dibeberapa
daerah di Nusantara istilah tolak bala memiliki sebutan yang berbeda-beda
sesuai dialek dan bahasanya masing-masing. Di Jawa dikenal Bolo (bebendhu)
secara etimologi berarti suatu kemarahan, di masyaraat sunda sebelah barat Jawa
Barat tolak bala dikenal dengan rebo wekasan (sukabumi, bogor, dsk) ,
ruwatan bumi (karawang, subang,
purwakarta). Kue Cimplo kue bulan bala di Indramayu. Di Desa Mintoluyo Pati
Jawa Tengah dikenal dengan ritual resik desa, di Bantul ad sedekah laut.
Banyaknya
istilah yang ada, tidak lain semuanya bertujuan untuk menolak bala. Bala yang
selama ini dimaknai sebagai sesuatu yang
menakutkan oleh masyarakat memunculkan tindakan preventif dalam menyikapinya. Berbagai cara dilakukan
untuk menolak bala tersebut, melalui upacara tertentu, ritual, berdoa, sedekah,
kenduri dan lain-lain. Dilihat dari segi tradisi dan budaya upacara-upacara,
ritual dan kenduri memiliki nilai budaya dan adat yang amat kental dan sudah
menjadi kekayaan bagi negeri ini. Namun aangkah bijaksananya jika menyikapi
suatu bencana dengan selalu berserah diri kepda Tuhan YME. Sebagai satu yang menciptakan alam semesta
ini dan Tuhan pula tidak merusaknya, sudah sewajarnya hanya kepadaNya meminta
pertolongan.
Namun
di samping itu kurangnya kesadaran bahwa musibah atau bencana itu akibat dari
perbuatan manusia itu sendiri sehingga saat datang musibah orang menyikapi
dengan keluh kesah berprasangka buruk pada Allah. Al-Qur’an menyebutkan dalam
firmannya berikut ini :
Allah telah berfirman: “Dan apa
saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. 42:30)
Dalam
ayat lain disebutkan pula :
Artinya
: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah
(Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang
dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan
(Allah).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41-42.
Kedua
ayat diatas memberikan petunjuk dan gambaran kepada manusia untuk bersikap
hati-hati dalam menjalani hidup ini agar tidak berbuat seenaknya terhadap alam
semesta karena alam semesta adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara
untuk kemakmuran manusia. Allah SWT. telah memberikan solusi saat manusia
ditimpa musibah dan malapetaka antara
lain dalam firman-Nya :
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi
rooji'uun"
(QS Al Baqoroh 2:155-156)
Satu
kata yang tepat dalam ayat diatas saat ditimpa musibah yaitu membaca kata “
inna lillahi wa inna ilaihi rooj’uun” . sebuah kata yang akan mengembalikan
manusia pada pemilik-Nya, karena hakikatnya bahwa manusia tidak memiliki
apapun semuanya milik Allah swt.
Pada hakikatnya bahwa makna
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun bagi orang beriman,yang pertama
kali harus diingat saat menghadapi suatu guncangan adalah Alloh SWT. Kita
semua dan segala sesuatu yang ada pada diri kita adalah kepunyaan Alloh. Hanya
kepada Nya lah kita kembali dan menghadap setiap perkara. Kita berusaha
mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata kepada Alloh. Saat
itu kita diharapkan akan mampu berserah diri dan menyerah secara mutlak atas
kehendak Alloh. Mengingat Alloh saat mendapat musibah tidak hanya
terbatas ucapan lisan saja namun harus disertai dengan perbuatan amal dan
sabar.
Hadits
lain memberikan alternatif lain agar terhindar dari marabahaya melalui
bersedekah kepada orang yang membutuhkan, hadits tersebut menyebutkan bahwa :
الصدقة تدفع البلاء
“
sedekah dapat menolak bala”
Dalam hadits
tersebut dikatakan bahwa melalui sedekah akan mencegah malapetaka dan bala.
Selanjutnya dalam menyikapi suatu musibah hendaknya mengikuti petunjuk dalam
al-qur’an seperti dalam firmanNya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ
وَالصَّلَاةِ
“Mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat” (QS. Al Baqarah: 45)
Sabar, itulah
yang pertama harus dilakukan dalam ayat tersebut, karena dengan sabar dapat
berimplikasi terhadap shalatnya seseorang. Sabar lebih luas cakupannya dari
pada shalat. Orang yang shalat belum tentu bisa sabar tapi orang yang sabar
sudah pasti dapat bertahan dalam shalatnya. Lebih dari itu shalat seseorang
dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat sementara orang yang sabar
memerlukan waktu yang lama dan proses yang panjang, karenanya sabar terbagi ke
dalam tiga[19],
antara lain :
1.
Sabar
dalam ketaatan (ibadah) kepada Allah
swt.
2.
Sabar
dari maksiat kepada Allah swt.
3.
Sabar
dalam menerima taqdir
Tolak
bala dalam tradisi ikhwan Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN) berjalan sebagaimana biasanya, tolak bala dilaksanakan
dalam bentuk materi dan non materi sebagaimana dalam gambar berikut ini :
Gambar : Dari berbagai sumber
Dalam gambar diatas menunjukan bahwa
untuk menolak bala dapat dilakukan dengan cara beribadah kepada Allah swt. baik
ibadah mahdlah maupun ibadah ghair mahdlah. Ibadah Mahdlah dijadikan
sebagai alat untuk menolak bala melalui sholat sunnah lidaf’i al-bala .
berikut ini ada tiga macam sholat sunnah lidaf’i al-bala :
1.
Sholat
sunnah lidaf’i al-bala yang dilaksanakan ba’da sholat fardlu isya
2.
Sholat
sunnah lidaf’i al-bala yang dilaksanakan qobla sholat fardlu subuh
3.
Sholat
sunnah lidaf’i al-bala yang dilaksanakan setahun sekali, yakni di hari Rabu
terakhir bulan sofar tahun hijriyah yang dikenal dengan Rebo Wekasan.
BAB
III PEMBAHASAN
(
Hasil Penelitian)
A.
Kondisi Sosiologis Ikhwan TQN Patapan[20]
Suryalaya
Suryalaya merupakan sebuah pesantren Tarekat
Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN) memiliki ribuan bahkan jutaan ikhwan yang tersebar di seluruh penjuru
nusantara hingga ke luar negeri, keadaan itu terlihat perkembangannya yang
sangat pesat seperti dalam gambar :
Gambar 3.1
Gambar diatas diambil sekitar tahun
1970 an dalam sebuah perkumpulan pengajian manakiban, mereka para ikhwan
mengisi ruang-ruang yang kosong, seiisi mesjid sudah penuh sesak hingga
memenuhi pinggiran teras mesjid hingga ke halaman luar. Pesantren Suryalaya
khususnya ajaran tarekat di tahun 1960-an dan 1970-an sudah mulai mendapat
perhatian publik sehingga mengundang banyak orang yang datang untuk belajar
tarekat. Berbeda jauh dengan dimasa Abah Sepuh, yakni masa-masa sulit dalam
perjuangan untuk menyebarkannya.
Gambar 3.2
Pondok Pesantren Suryalaya Saat Manakiban
Masa Sekarang
Terlihat dalam gambar para ikhwan
saat menghadiri acara manakiban berlangsung memadati sekeliling mesjid Jami
Nurul Asror, untuk tetap duduk mendengarkan pengajian berlangsung selama
beberapa jam ( dari pukul 06.00 – 11.00 ) setelah sehari sebelumnya mengikuti
serangkaian acara di Pondok Pesantren. Kedekatan tersebut antara seorang guru
mursyid dengan para muridnya terlihat dalam berbagai kegiatan bukan hanya saat
acara manakiban saja. sehingga apapun yang dilakukan oleh gurunya dalam
kehidupan sosialnya muridnya mengetahui dan mengikutinya.
Perkembangan masa kini tidak lepas
dari peran yang sangat besar seorang guru Mursyid yang tinggal di sebuah
perkampungan dusun Godebag, dengan
segenap muridnya dalam menjalani rutinitas ketarekatannya disela-sela kegiatan
sehari-harinya. Seperti bercocok tanam, menanam dan menjala ikan serta
membangun irigasi dan sebagainya. Abah Sepuh (sebagai panggilan akrabnya)
sebagai Guru Mursyid mengalami begitu banyak tantangan dalam menyiarkan
ajarannya terutama dari para alim ulama anti tarekat dan Pemerintah Kolonial
Belanda yang berusaha menghapuskan tarekat hingga ke akar-akarnya.[21]
Beratnya
dalam perjalanan dakwahnya, Abah Sepuh dengan berjalan kaki hingga puluhan
kilometer, belum lagi pitnahan, hujatan dan gunjingan beliau terima, namun
tidak mematahkan semangat beliau untuk terus berjuang dalam dakwahnya. Namun
atas kerjasama yang solid antara mursyid dan murid, serta atas ikatan yang kuat
dan resmi antara mereka melalui baiat, sesuai janji kesetiaan, ketaatan dan
kemutlakan murid kepada mursyid ajaran tarekat menunjukan hasilnya.
Hubungan
sosial mereka dengan masyarakat sangat kuat, keakraban bagaimanapun antara
murid dan mursyid sangat penting dan bagian dari ketaatan pada umumnya dan
pengetahuan esoterik pada khususnya, seperti halnya untuk memperoleh
keberkahan.
Dalam
kesehariannya selalu ada tamu yang
datang kepada beliau untuk belajar
bertarekat dan para pelayan di dapur tak kalah dibuatnya sibuk, karena
kebiasaan Abah sepuh selalu menjamu tamu yang datang. Sepenggal kisah seorang
yang dikenal dengan ”Macan Suryalaya” Syaikh Muhammad Abu Bakar Faqih
pada tahun 1938 M Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah telah berkumpul
pangersa Abah Sepuh, Abah Faqih dan beserta para wakil lainnya dan Abah Anom
ketika itu masih berusia 23 tahun.
Dalam pertemuannya dikisahkan di dapur Patapan
Suryalaya para pelayan dapur sedang sibuk membuat berbagai hidangan untuk menjamu para tamu. Di dalam madrasah
seorang anak remaja sedang menemai Abah Sepuh, secara tiba-tiba dari arah dapur
dengan tergopoh-gopoh seorang pelayan datang menghampiri Abah Sepuh. Pelayan
melaporkan bahwa pelezat masakan, yaitu kecap kesukaan Abah Sepuh telah habis,
sedangkan jarak antara toko sembako saat itu cukup jauh. Dikhawatirkan
mengurangi kelezatan hidangan, maka Abah Sepuh segera memanggil Kyai Faqih :”
Faqih, karena waktu sangat mendesak , kamu segera berangkat ke Talaga mampir ke
pasar membeli beberapa botol kecap”.”
Baiklah Abah, saya berangkat sekarang”, sahut kyai Faqih. Setelah
mendapat titah ia langsung keluar dari madrasah dan tak lupa menutup pintu.
Baru beberapa detik pintu ditutup, tiba-tiba pintu sudah ada yang mengetuknya ,
setelah pintu dibuka, ternyata kyai Faqih sudah kembali dari pasar Talaga
majalengka dengan membawa beberapa botol kecap. ”Abah , ini kecapnya dan ada
titipan surat dari si pemilik toko di pasar Talaga”. Kyai Faqih menyerahkan
barang belanjaannya kepada Abah Sepuh. Anak kecil yang sejak awal memperhatikan
peristiwa tersebut terheran-heran dan hanya bisa menggelengkan kepala, terpesona
dengan kejadian yang baru dilihatnya, hati kecilnya bertanya-tanya. (kisah ini
diceritakan kembali oleh al-Mukarom K.H Ahmad Sastra, beliau sebagai pelopor
penyebaran TQN di Jakarta dan sekitarnya, dan masih keluarga pangersa Abah Anom
yang bertempat tinggal di Ciputat, Banten Selatan). Gambaran kedekatan pangersa
Abah Sepuh bersama murid-muridnya
seperti dalam gambar berikut :
Gambar 3.3
KH.
M. Abu Bakar Faqih berdiri disamping kanan pangersa Abah Sepuh, dirumah KHO.
Sobari berfoto bersama para ikhwan di Percetakan Galungnggung Tasikmalaya
Dalam
gambar diatas nampak relasi antara murid dengan mursyid dan memiliki makna dan
simbol yang dalam, seorang murid yang berada di samping sang guru yag saling berdekatan, menunjukan
pula kedekatan yang sesungguhnya bukan secara lahiriyah saja. hubungan
antara “murid” dan “mursyid”, juga orang-orang yang berkecimpung dalam
tarekat. Hubungan ini digambarkan dengan hubungan persahabatan karena terilhami
dari proses hubungan antara Rasulullah dengan para pengikutnya dan
pendampingya. Rasul menyebut mereka dengan ‘sahabat’, bukan tilmîdz atau
thâlib, walaupun mereka sebenarnya adalah orang-orang yang mengambil
ilmu pengetahuan dari Beliau. Pemberian istilah ini lebih didasarkan pada
kedekatan hubungan spiritual yang saling mempengaruhi, proses hubungan yang
terus menerus, dan tujuan hubungan yang murni karena Allah SWT.
Kedekatan
diatas bukan berarti tanpa adab dan etika. Etika menjadi sangat urgen sebab
mursyid berkedudukan sebagai perantara (washilah) antara sang murid dengan
Tuhannya. Di antara yang menjadi ajaran sentralnya adalah bagaimana etika murid
terhadap gurunya. Hampir semua kitab itu mengajarkan hubungan kepasrahan total
kepada kyai, sebab kyai adalah orang tua kedua setelah orang tua, bahkan
kedudukannya lebih mulia. Sebab orang tua hanya memelihara badan saja,
sedangkan kyai yang telah mengisi mental spiritual.
Hal
seperti ini sangat kental dalam wacana tasawuf yang masyhur dengan ungkapan “al-muridu
fi yadi al-ustadz ka almayyiti yadi man yaghsiluhu” (seorang murid di
tangan guru tak ubahnya sebagaimana orang mati di tangan orang yang
memandikannya). Pola hubungan seperti
ini, Seorang murid juga tidak segan-segan menceritakan pengalaman spiritual
baik itu positif maupun negatife. Proses ini hampir sama dengan proses
pengobatan dalam ilmu kedokteran atau penyembuhan psikis oleh psikiater. Dengan
adanya keterbukan, seorang mursyid bisa mendiaknosa apa masalah-masalah yang
dihadapi dan bagaimana cara menyelesaikanya, tentu dengan adanya beberapa hal
yang dijauhi[22]
Mengenai
sikap murid kepada guru ini, al-zarnuji dengan mengutip kata-kata Ali bin Abi
Thalib mengatakan, “Ana abdu man allamani harfan wahidan” (Aku adalah
hamba orang yang telah mengajari saya wuruf satu).
Selanjutnya
dikembangkan etika hubungan yang harus dilaksanakan murid antara lain (1)
dengan tidak berjalan di depannya, duduk ditempatnya, (2) tidak memulai
mengajak bicara kecuali atas perkenannya, (3) berbicara macam-macam di
depannya, (4) tidak menanyakan hal-hal yang membosankannya, (5) tidak boleh
mengetuk pintunya ketika guru belum datang dan (6) cukuplah dengan sabar
menanti di luar hingga ia sendiri yang keluar dari rumah.[23]
Pola
hubungan yang terjadi bukan hanya hubungan biasa saja, namun hubungan yang melahirkan tradisi baru. Dalam
dunia tarekat hubungan antara murid dan mursyid bukan dalam bentuk penghormatan saja akan tetapi lebih
kepada ketaatan, kepatuhan dan pengkhidmatan. Hubungan yang mencakup aspek
esoteris, tradisi robithoh[24]
menjadi suatu yang sangat penting dalam membina hubungan tersebut.
Tradisi
ketaatan dan tradisi kepatuhan, tradisi robithoh mungkin sulit dipahami
dan dimengerti oleh sebagian orang. Tetapi, kejadian seperti itu memang
ada dalam kelompok-kelompok masyarakat
tertentu termasuk masyarakat pesantren, dengan kyai (murysidnya) sebagai
pemimpin utamanya. Weber dalam teorinya tentang model kepemimpinan mengatakan
bahwa suatu dominasi bisa atas dasar kharisma[25] (charismatic
domination) terdapat bila pihak yang
berwewenang secara pribadi diakui memiliki kharisma akibat kekuatan magis,
menerima wahyu, atau juga memiliki sifat kepahlawanan[26].
Dalam konteks ini sama apa yang terjadi di pesantren dengan apa yang
diteorikannya.
Tradisi
ketaatan dan kepatuhan kepada guru mursyid yang mendasari berlanjutnya sebuah
eksistensi budaya. Kebiasaan Abah Sepuh dalam menjamu para tamunya dianggap
sebagai sedekah jariyah yang akan meminimalisir anti tesa dari hal-hal yang
tidak diharapkan. Kebiasaan baik dalam bersedekah dipahami pula menjadi sebuah
tradisi yang dapat menolak bala terhadap keberlangsungan misinya dan
keberadaannya.
B.
Asal muasal tradisi tolak bala di kalangan ikhwan TQN Suryalaya
Asal
muasal tradisi dan budaya tolak bala yang ada di Nusantara, berawal dari
kepercayaan dan keyakinannya pada sesuatu diluar jangkauan manusia, seperti aneka macam kejadian, musibah,
bencana yang menimpa masyarakat Indonesia. Untuk menghindari terjadinya musibah
tersebut maka dilakukannya berbagai macam upaya untuk menangkalnya seperti
menyediakan sesajian, mempersembahkan kepala kerbau yang dipersembahkan kepada
alam, melakukan kenduri, sedekah serta upaya lainnya. Upaya tersebut tiada lain
untuk menciptakan harmonisasi antara sesama ciptaan Tuhan agar terjadi hubungan
sebaik mungkin, tidak saling mengganggu dan merusak terhadap pihak lain namun
saling menghormati dan saling menyayan
Dari
sekian tradisi dan budaya yang ada d nusantara, tradisi di Patapan Suryalaya
salah satunya sebagai bentuk implementasi dari ajaran ketarekatannya. Gerakan
tarekat selalu memberikan warna dalam berbagai aktifitasnya, dalam kehidupan
sosialnya satu sama lain. Melalui tradisi dan budaya karakter Islam muncul pada
Islam Nusantara melalui komunitas Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan
segenap adat istiadat yang menunjukan kearifan lokalnya (local wisdom)
untuk memperkaya khazanah budaya Islam Nusantara.
Tradisi
dan budaya yang ada di Pesantren Suryalaya yang sejak dahulu sudah dilaksanakan
oleh Abah Sepuh[27]
antara lain :
1. Tradisi suluk (riyadlah[28]
para Salik dalam upaya taqarrub ilallah).
3. Melaksanakan berbagai macam sholat sunnah secara berjamaah ( sholat
lidaf’il bala, Nisfu sya’ban, sholat
rajab dan lain-lain)
Salah satu dari
tradisi yang dilakukan Pesantren Suryalaya yaitu tradisi tolak bala,
dalam hal ini penulis tidak mendapatkan secara pasti kapan dimulainya tradisi
tersebut berlangsung, mengingat para informan yang masih hidup dimasa Abah Anom
dan Abah Sepuh sudah tiada. Selain itu bukti-bukti tulisan yang mengarah ke
asal mula tradisi tolak bala pun tidak penulis temukan, hanya beberapa
kisah pangersa Abah Sepuh dalam kegiatan dakwahnya yang menggambarkan mengenai
pengorbanannya baik materi maupun non mater.
Walaupun
demikian penulis menjadikannya sebagai data yang penting dalam penelitian ini ,
mengingat dari kisah tersebut tergambar
pengorbanan beliau menjadikan jalan termudah dalam dakwahnya. Allah
memberikan kemudahan bagi hambanya yang berjuang berusaha keras dalam kebaikan
yang hasilnya dapat dirasakan sekarang ini. Sikap Abah Sepuh diikuti oleh
muridnya dalam menjalani kehidupannya sehingga dalam beberapa hal menjadi
sebuah kebiasaan baik seperti menjamu para tamu yang datang. Jamuan tersebut
sebagai sedekah hartanya kepada para tamu juga para muridnya, dan hingga saat
ini kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi Patapan Suryalaya. Sikapnya yang
dermawan, ramah dan santun meminimalisir kebencian dari masyarakat yang anti
tarekat, semakin berkurang hinaan, hujatan dan fitnahan terhadap Patapan
Suryalaya.
Para
ikhwan memahami betul bahwa hidup itu penuh dengan misteri yang banyak sekali
rahasia Allah yang tidak diketahui oleh manusia. Tentang apa yang akan terjadi
di masa yang akan datang terutama berkaitan dengan berbagai hal yang tidak
mengenakkan dalam kehidupannya. Karenanya sebagai hamba Allah seharusnya
berfositif thiking ( husnu al-dhan) kepada Allah dalam menerima apa yang
sudah menjadi ketentuan Allah dengan melakukan yang terbaik dan bersikap yang
baik.
Pemahaman
para ikhwan tidak lepas dari kapasitasnya sebagai seorang murid tarekat ,
sehingga apa yang dilakukannya mengacu kepada apa yang dilakukan guru mursyid.
Pelaksanaan tolak bala sebagaimana yang telah berlangsung lama
dilatarbelakangi dengan adanya referensi klasik
yang terdapat dalam kitab Al-Jawahiru al-Khomsah karya Mohammad
Khottirudin al- Athor yang menyebutkan bahwa : “Allah akan menurunkan bala
penyakit sebanyak 320.000 dalam setahun dan hari Rabu terakhir di bulan Safar
adalah yang terberat. Tulisan yang sama
tentang turunnya bala tersebut terdapat dalam kitab al-Jam’u
al-Fawaid Karya Syekh Daud bin
Abdullah al-Fathani, diperkuat juga menurut Hawash Abdullah (1982) dalam
bukunya perkembangan ilmu tasawuf dan tokoh-tokohnya di Nusantara menulis bahwa
dalam kitab Islam memang banyak yang menyebut bahwa adanya bala di bulan safar.
Itulah
sebab tingkat kewaspadaan para ikhwan semakin besar terhadap hari Rabu terakhir
di bulan Safar. sehingga sudah menjadi kebiasaan untuk mencegah sebagai
tindakan preventif, dilaksanakan sholat sunnah lidaf’i al-bala (sholat
sunnah tolak bala), masyarakat menyebutnya dengan “Rebo Wekasan”. Mereka
beranggapan bahwa melalui sholat diharapkan bala yang akan turun di bulan Safar
tidak akan terjadi.
Tidak
cukup sampai disitu, adanya perkembangan terhadap kekhawatiran yang lain jika bala datang bukan
pada bulan Safar, namun pada bulan-bulan yang lain. Demikian juga malapetaka
datang dalam kehidupan sehari-harinya berkaitan dengan kebutuhannya, maka tradisi tolak bala pun dilakukan bukan
hanya dalam bentuk ibadah mahdlah, namun tolak bala dilakukan
dalam bentuk ibadah ghair mahdlah yakni dengan cara bersedekah sebagian harta
yaitu melalui pemberian bahan makanan pokok berupa beras dan binatang ternak
sebagai lauk pauknya.
Tolak
bala melalui sedekah yang dilakukan ikhwan TQN Suryalaya pun tak lepas
dari kisah hidup yang inspirtifnya pangersa Abah Sepuh ketika Abah Sepuh pernah
didatangi seseorang yang hendak menghinanya, namun karena kearifannya, beliau tahu bahwa tamu tersebut akan
menghinanya, tanpa pikir panjang lalu Abah Sepuh dengan segera beliau
memerintahkan muridnya untuk menyembelih seekor kambing, kemudian dipergunakan
untuk menjamu tamu tersebut[39].
Peristiwa tersebut dipahami oleh para ikhwan bahwa melalui sebuah pengorbanan
dalam bentuk materi (bersedekah) maka hal-hal yang buruk (malapetaka) dapat
dihindari.
Maka
hingga saat ini setiap ikhwan yang hendak mempunyai niat yang besar dalam
kehidupannya, mereka mengawalinya dengan melakukan tolak bala kepada
keluarga pesantren Suryalaya dengan harapan akan terhindar dari berbagai bahaya
dan mendapatkan keberkahan.
C.
Pemahaman tolak bala dikalangan Ikhwan TQN Suryalaya
Secara
umum ikhwan menyadari betul bahwa melaksanakan tolak bala sudah
merupakan hal yang biasa, terlepas ada dan tidaknya sebuah bencana dan
malapetaka, hanya saja jika sedang ada kepentingan yang lebih mendesak itu
lebih di prioritaskan dalam pelaksanaannya. Skala prioritas Tolak bala yang dimaksud adalah di saat para ikhwan akan
punya hajat besar seperti pernikahan, khitanan, membangun rumah, melanjutkan
pendidikan bagi putra putrinya, melakukan suatu perjalanan, akan melaksanakan
sebuah kegiatan skala besar di masyarakat dan sebagainya.
Seperti dikatakan diatas bahwa dari sebuah
pola hubungn antara murid dan guru
mursyid melahirkan tradisi ketaatan dan tradisi kepatuhan, yang
dalam hal ini para ikhwan melaksanakan tradisi tolak bala pun merupakan
suatu bentuk ketaatan dan khidmat kepada guru mursyidnya untuk mendapatkan
limpahan barokah dan karomah (kemuliaan) darinya. Karenanya tanpa dipaksa
ataupun perintah dari guru mursyidnya para ikhwan melakukan dengan penuh
kesadaran dan dengan rasa senang hati.
Terlebih
tradisi tolak bala dalam bentuk ibadah mahdlah yakni sholat sunnah lidaf’i
al-bala sudah dilaksanakan secara rutin masuk kedalam daftar rangkaian
sholat sunnah. Sehingga para ikhwan sudah menjadikan sholat sunnah lidaf’i
al-bala sebagai suatu hal yang biasa bukan suatu beban. Demikian pula pada saat
tibanya bulan Safar, bulan hijriyah yang diyakini bulan turunnya berbagai
penyakit, para ikhwan secara otomatis di pagi hari , hari Rabu
berbondong-bondong mendatangi mesjid jami Nurul Asror untuk melaksanakan sholat
sunnah lidaf’i al-bala (Rebo Wekasan).
Menyikapi semakin maraknya musibah, bencana atau bala yang menimpa manusia saat ini, menuntut kita para ikhwan untuk
bertindak cerdas dan tepat sesuai dengan tuntunan agama. Tindakan tolak bala
tersebut direfresentasikan dalam suatu bentuk ibadah yang bertujuan atau
dengan harapan terhindar dari berbagai malapetaka. Dengan banyaknya kejadian
saat ini para ikhwan semakin yakin bahwa melalui tolak bala berbagai
macam bencana akan dijauhkan oleh Allah swt.
Para
ikhwan meyakini bahwa kebiasaan melaksanakan tolak bala baik melalui
sholat maupun sedekah merupakan cara yang terbaik yang telah guru contohkan dan
jika para ikhwan mengikuti jejak beliau pasti akan selamat dunia akhirat dan
selalu dalam keberkahan dalam hidupnya.
Dalam
hal ini penulis memiliki pemahaman tersendiri, bahwa tradisi tolak bala
merupakan pengembangan dari tradisi ketaatan, kepatuhan kepada gurunya
yang sesuai dengan visinya dalam ajaran Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyah
(TQN), yaitu Ilahy Anta Maqsudi wa ridloka Mathlubi A’tini Mahabbataka
wa Ma’rifataka (Ya Tuhanku, hanya kepada Engkau yang kumaksud ,dan
KeridloanMu lah yang kucari, berikanlah MahabbahMu dan Ma;rifatMu). Ketaatan
dan kepatuhan yang dimaksud bukan ketaatan yang tanpa usaha (no action ),
justru disertai dengan tindakan nyata (action) dengan sholat dan sedekah yakni
sholat lidaf’i al bala dan tolak
bala.
Selain itu keyakinan para ikhwan
tersebut dibuktikan dengan selalu melakukan tradisi tolak bala baik
melalui sholat sunnah lidaf;i al-balanya maupun melalui sedekah kepada keluarga
pesantren Suryalaya. Keyakinan itu pula diperkuat setelah adanya maklumat[40]
dari pangersa Abah Anom No : 01.PPS.III.2003 tentang Musibah di Irak yang
berbunyi sebagai berikut :
Bismillahirrahmanirrohiim.
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Dengan
terjadinya musibah pengeboman terhadap Negara Irak yang beribukotanya di
Baghdad, kita maklumi bersama bahwa di kota Baghdad terdapat Makam Sulthan
al-Auliya Syekh Muhyidin Syekh Abdul Qadir al-Jaelani Qaddasa Allohu’anhu. Abah
menghimbau dengan segala kerendahan hati kepada seluruh para Wakil Talqin,
Kiyai, Ustadz, Mubaligh, Pengurus Organisasi
di lingkungan Pondok Pesantren Suryalaya dan segenap Ikhwan/ Akhwat TQN
Pondok Pesantren Suryalaya dimana saja berada, ba’da sembahyang fardlu Isya,
sunat ba’da Isya, berdzikir. Agar setiap malam melaksanakan Sembahyang Sunat
Lidaf’i al-Bala, 2 Rakaat. Adapun setiap Rakaat ba’da Fatihah membaca : ayat
kursi 1 kali, al-Ikhlas 1 kali, al-Falaq 1 kali dan an-Nas 1 kali. Selanjutnya
melaksanakan Khotaman.
Demikian agar
segenap para Ikhwan/ Akhwat TQN Pondok Pesantren Suryalaya mengetahui dan
melaksanakan Maklumat ini dengan penuh kesadaran dan rasa tulus ikhlas. Semoga
Allah swt. memberikan perlindungan dan terciptanya kedamaian dunia. Amin Ya
Rabbal ‘Alamiin.
Wassalamualaikum
Wr. Wb[41].
Maklumat yang dikeluarkan selain
berkaitan dengan sholat sunnah lidaf’i al-bala, pangersa Abah Anom juga
mengeluarkan maklumat yang berkaitan dengan himbauan untuk bersedekah dalam rangka peduli sosial terhadap bencana
yang menimpa sebagian wilayah Indonesia. Maklumat tersebut dikeluarkan saat
bencana tsunami Aceh dan tsunami Pangandaran dengan Nomor : 117.PPS.XTL.2004.
dan Nomor :242.PPS.VII.2006 yang berisi tentang :
1.
Pelaksanaan
sholat ghaib, tahlil dan doa-doa lainnya
2.
Mendoakan
kepada keluarga korban bencana
3.
Memberikan
bantuan amal jariyah, infaq dan sodaqoh dan hibah kepada saudara-saudara kita
yang terkena musibah.
Terlepas dari maklumat yang pangersa Abah Anom keluarkan, toh para
Ikhwan
Melalui
maklumat yang di keluarkan oleh Abah Anom, para ikhwan semakin mendapat
legitimasi yang kuat dalam melaksanakan tradisi ini. Namun sebagian masyarakat
ikhwan TQN, walaupun demikian kecenderungan untuk tidak membudayakan tradisi tolak
bala pun sangat besar, khususnya dalam tolak bala yang bersifat
materi mengingat perlunya kesadaran mengeluarkan sebagian milik mereka.
Pola
pemikiran masa kini dikalangan ikhwan menjadi sangat simple. Bahwa musibah
ataupun bencana itu terjadi dikarenakan akibat dari perbuatan manusia itu
sendiri yang sudah menyimpang jauh dari koridornya. Karenanya diperlukan adanya
perbaikan akhlak dengan meningkatkan tingkat amaliah TQNnya agar dapat
meminimalisir terjadinya bencana.
Alur
pemikiran dalam menyikapi dan upaya mempertahankan tradisi tolak bala
seperti berikut ini :
Gambar : dari berbagai sumber
D.
Pelaksanaan Tolak Bala di kalangan Ikhwan TQN
Seiring pemahaman, keyakinan yang
ada pada komunitas Ikhwan TQN Suryalaya, maka pada waktu-waktu tertentu dilaksanakan tradisi tolak bala,
baik dalam bentuk Sholat sunnah lidaf’i al-bala dan tolak bala bi
al-mal sebagai sodaqah jariyah. Pada
awalnya pelaksanaannya tradisi sholat sunnah lidaf’i al-bala atau yang
dikenal dengan Rebo Wekasan dilaksanakan hanya setahun sekali yakni pada
hari Rabu minggu terakhir di bulan Safar
tahun Hijriyah, sebagaimana diyakini bahwa bulan Safar dengan bulan
Bala .
Pada saatnya tiba, hari Rabu pagi
sejak ba’da Subuh suasana komplek pesantren Suryalaya diramaikan dengan
berdatangannya para Ikhwan yang tinggal
di perkampungan dekat dengan komplek Suryalaya baik laki-laki , perempuan,
anak-anak, remaja maupun dewasa mereka berbondong-bondong datang ke mesjid
Nurul Asror. Suasana masih gelap dan udara masih terasa cukup dingin suara para
pejalan kaki terdengar dengan ketergesa-gesaannya dan sedikit gemuruh dalam
sedikit perckapannya, memecahkan keheningan pagi itu.
Suasana mesjid terlihat begitu
tenang dan adem, membuat para jemaah betah berlama-lama tinggal di mesjid.
Sebagian jemaah para Ikhwan sudah mulai berdatangan satu persatu menempati
tempat yang sudah disediakan oleh pengurus mesjid. Posisi Imam sudah berada di
dalam mesjid, sambil menunggu jemaah yang lain datang, Imam memimpin jemaah
yang sudah berdatangan mengalunkan lantunan istighfar dengan nada yang khas sebagai berikut :
Gambar 3.4
Jemaah laki-laki (Ikhwan ) menempati
tempat di dalam mesjid dan jemaah perempuan (akhwat) menempati bagian atas (lantai 2) dan serambi mesjid serta halaman
luar mesjid.
Hingga waktu beranjak siang , jemaah
semakin memadati area mesjid, Imam sholat pun segera mengumumkan dan
memberitahukan tiba saatnya sholat sunat isroq, Isti’adah dan Istikharah sebelum
dilaksanakan sholat lidaf’i al-bala. Selepas pemberitahuan para jemaah
pun langsung secara munfarid melakukan ketiga macam sunat tersebut, masing-masing
dilaksanakan 2 rokaat hingga berjumlah 6 rakaat. Setelah selesai sunat isroq Imampun
kembali mengumumkan tata cara sholat sunnah lidaf’i al-bala ,mulai dari
jumlah rokaat, bacaan sholat setiap rakaat, dan ditutup dengan doa menolak bala yang dipimpin oleh Imam langsung. Pelaksanaan
sholat sunnah lidaf’i al-bala seperti terlihat gambar berikut:
Gambar 3.5
Begitu juga bahkan para Ikhwan yang
cukup jauh tempat tinggalnya di luar kota Tasikmalaya dengan sengaja mendatangi
pesantren Suryalaya sehari sebelumnya sudah tiba
Tepatnya di pagi hari jam 06.05
setelah pelaksanaan sholat sunnah isyroq, sunnah isti’adah dan sunnah
istikharah. Berlangsung sholat sunnah lidaf’i al-bala yang dilakukan
secara berjamaah dengan khusus dan khidmat sebanyak dua rakaat. Selesai berdoa
para mubalig membagikan secarik kertas yang berisikan tulisan tangan berbahasa
Arab , mereka menamakan dengan sebutan“ isim”[42]
. masyarakat berebutan untuk mendapatkannya, karena tidak semua kebagian.
Para ikhwan meyakini bahwa doa yang
terdapat dalam Isim tersebut dapat memberikan keselamatan , karenanya isim
tersebut dicelupkan kedalam air bak
mandi agar air yang ada dalam bak mandi tersebut turut terdoai, karena dari air
lah sumber kehidupan manusia. Isi tulisan yang dikenal isim tersebut
adalah seperti dalam gambar :
Gambar 3.6
Pencegahan terhadap bala, selain dengan ibadah mahdlah (sholat sunnah lidaf’i
al-bala), para Ikhwan juga melakukan sedekah jariyah, mereka menyebutnya
dengan tolak bala. Jadi kalau Ikhwan mengatakan Rebo Wekasan
berarti melakukan tolak bala tersebut dengan cara sholat, sedangkan kalau
Ikhwan mengatakan tolak bala berarti mereka akan bersedekah.
Dalam hal ini perbedaannya Rebo
Wekasan dilaksanakan dengan cara berjamaah sedangkan tolak bala
dilakukan secara personal. Teknisnya Ikhwan yang bermaksud melakukan tolak
bala menyediakan bahan yang akan diberikan kepada Pesantren yaitu berupa
bahan makanan pokok berupa beras, lauk pauknya berupa binatang ternak seperti
ayam, domba, atau sapi dan uang untuk membeli bumbu masaknya. Selain bahan
(obyek tolak bala), tujuannya dan untuk siapa ditujukannya pun harus
jelas dan diungkapkan dalam peniatannya. Seperti pada gambar berikut sebagai salah satu contoh memberikan ayam dan
beras kepada keluarga pesantren yang
dalam hal ini kepada Umi ( Hajjah Yoyoh Sopiah) istri almarhum Abah Anom :
Gambar 3.6
Penyerahan bahan tolak bala kepada keluarga pesantren
Gambar 3.7 Penyembelihan binatang tolak bala oleh
jagal
Salah satu yang unik dari seorang
jagal menurut Bapak Edin Sahidin[43]
adalah bahwa seorang jagal harus yang sudah punya Saepi[44],
karena pekerjaannya berkaitan dengan melayangnya roh makhluk hidup. Akan
dikemanakan roh tersebut, hanya oleh seseorang yang memiliki saepi bisa
menempatkan roh-roh binatang yang disembelih dikembalikan kepada yang
memilikinya (Tuhan). Selain orang yang sudah memiliki amalan saepi,
mereka yang boleh melakukan jagal adalah yang bisa bertawasul kepada Allah swt.
dan para Anbiya dan mendoakan bagi yang bertolak bala[45].
Penyerahan tolak bala secara simbolik
mengandung arti bahwa melalui bahan
makanan pokok dan lauk pauknya yang diberikan berarti menggambarkan penyerahan
sepenuhnya lahir batin Ikhwan kepada gurunya dengan segala permasalahannya,
guru yang bertanggung jawab terhadap muridnya dalam segala kehidupannya.
Setelah diserahkan kepada keluarga, dan didoakan maka ayam, domba ataupun sapi segera disembelih
dan sebelum disembelih didoakan secara khusus kepada yang bertolak bala dengan
disebutkan nama dan tujuannya.
Pada gambar diatas terlihat
berserakan kertas putih berisikan tulisan nama dan tujuan si pemberi hewan yang
akan disembelih , selain itu terlihat pula banyaknya tambang yang bergelantung
diatas atap, hal itu menandakan bahwa selain binatang berupa ayam, domba pun
sering disembelih ditempat tersebut sebagai wujud penyembelihan binatang tolak bala yang berlangsung ditempat
tersebut.
Memberikan Tolak bala kepada
Pesantren hanya bagi yang berniat saja, dan sesuai dengan kemampuan. Tidak ada
unsur paksaan, semuanya dilakukan dengan sukarela dan tulus ikhlas. Walaupun demikian namun para Ikhwan tetap
melaksanakan tradisi tolak bala tersebut hingga bertahan dari masa Abah
Sepuh sampai saat ini. Karena Ikhwan yang merasa memiliki maksud tertentu atau “Paniatan”
yang besar yang akan melakukan tolak
bala tersebut. Jadi pada pelaksanaan waktunya tidak menentu, kapan saja
tradisi tersebut diberikan tergantung para Ikhwan yang memiliki maksudnya.
Adapun peruntukan dari tolak bala
tersebut adalah untuk menjamu para tamu yang datang ke Pesantren, tidak sedikit
dari mereka, selalu ada saja setiap harinya. Terutama tamu yang datang dari
jauh maka mereka harus di jamu baik makan pagi siang maupun malamnya. Para tamu
datang bertujuan untuk belajar tarekat dan sekalligus berziarah ke makam
pendiri pesantren yang juga sebagai mursyid TQN Suryalaya. Puncaknya pada saat
hari manakiban bulanan tiba, ribuan tamu yang datang ke Pesanrten
Suryalaya, sehingga untuk menjamunya sebagian didapat dari para pemberi tolak
bala, sangat bermanfaat tolak bala tersebut karena bersedekah untuk orang
banyak.
E.
Motivasi Pemertahanan tradisi Tolak Bala dan penyebabnya
1.
Pergeseran Tradisi dan Budaya
Beragam
tradisi dan budaya yang kental dengan syarat nilai budaya masyarakat, juga
merupakan bagian dari sumber tata nilai didalamnya ditemukan banyak norma dan
etika berkomunikasi secara vertikal dan horizontal. Sebuah masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya hingga saat ini ,dapat dikatakan sebagai
masyarakat yang memiliki jati diri terhadap bangsanya. Indonesia sangat kaya
dengan budaya yang dimilikinya, beribu-ribu pulau memiliki suku yang berbeda
karakter tersendiri tentunya membawa budaya yang berbeda pula. Namun saat ini
masyarakat Indonesia sepertinya sudah
tidak merasa bangga dengan budaya yang dimilikiya, hal itu terlihat dengan
banyaknya masyarakat yang sudah mengabaikan kebudayaannya.
Mayoritas
anak-anak Indonesia sudah tidak menggunakan bahasa daerahnya dalam
berkomunikasi di kesehariannya bersama teman-temannya. Kebanyakan anak-anak
Indonesia juga sudah tidak mengenali jenis permainan masa kecilnya yang kental
dengan permainan dengan alam. Alam banyak memberikan pembelajaran kehidupan
bagi dunia anak-anak, mulai dari lingkungan tempat bermain, sarana yang digunakan, semua bersumber dari alam,
alam memberikan banyak solusi dan merangsang berbagai inovasi serta kreasi.
Selain permainan, aneka tarian masyarakat Indenesia yang sangat khas yang
bertemakan sosiografi dan kondisi masyarakat saat itu akan sangat dirindukan.
Bukan
hanya dikalangan anak-anak, orang tua pun memiliki gaya tersendiri dalam
menjalin hubungan sosialnya, sesama Tuhannya, aneka kebiasaan dan tradisi yang
membentuk sebuah budaya menjadi bekal kehidupan bermsyarakat. Satu sama lain
membentuk pola komunikasi yang harmonis dengan gayanya tersendiri dalam rangka
menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang
baik. Kebersamaan yang didasari ketulusan menjadi salah satu karakter
masyarakat saat itu, tanpa diembel-embeli kepentingan.
Saat
ini, kebiasaan-kebiasaan yang dulu sudah terbiasa dilakukan sudah mulai jarang
orang melakukannya, kalaupun ada yang melakukan hanya kelompok minoritas, yakni
kelompok cagar budaya yang menjadikan tarian tersebut sebagai bagian dari
destinasi wisata.
Tradisi
, dan budaya sudah mulai tergerus seiring berjalannya waktu, perkembangan
informasi dan teknologi yang begitu cepat. Masyarakat saat ini mulai terlena
dengan sarana teknologi yang sangat lengkap, apapun kebutuhan dapat diperoleh
dengan begitu cepat tanpa menunggu berlama-lama. Permainan anak-anak sudah
banyak tergeserkan oleh teknologi yang menghasilkan aneka rupa mainan, tarian
dan seni lainnya sudah diiringi dengan berbagai alat msik yang serba lengkap,
begitu pun alat komunikasi sebagai sarana informasi sudah sangat canggih. Tak perlu membuang
waktu dan tenaga, cukup dengan klik dan klik semua terpenuhi.
Adanya
peralihan dari kebutuhan tersier menjadi sekunder, dari kebutuhan sekunder
menjadi kebutuhan primer, dan kebutuhan primer menjadi sangat banyak variannya,
bukan hanya sandang, pangan dan papan saja, alat transportasi dan alat
komunikasi menjadi suatu kebutuhan primer, sepertinya masyarakat tidak lagi
membutuhkan adanya pertemuan dan perkumpulan yang sangat menyita waktu. Oleh
karena itu tradisi yang dahulu dilakukan melalui suatu kebrsamaan dan gotong
royong, sekarang sangat sulit ditemukan.
Dengan
demikian tradisi-tradisi yang ada di masyarakat Indonesia sudah mulai tergerus
oleh perkembangan informasi dan teknologi, termasuk tradisi tolak bala.
Beberapa tradisi tolak bala di beberapa tempatpun mengalami degradasi budaya.
Di beberapa tempat di Indonesia saat ini tradisi tolak bala dilakukan karena
dianggap bagian dari cagar budaya dan destinasi wisata bukan karena faktor
kebersamaan, ketulusan dan kesamaan kebutuhan dalam membangn daerahnya, namun
sayangnya sudah tercampuri dengan kepentingan politik. Dikatakan demikian
karena pelestarian budaya ( tradisi tolak bala, tarian, permainan anak-anak)
dibeberapa daerah menjadi ajang program yang diusung oleh para kandidat elit
politik dengan jargon mengangkat budaya daerah. Hal itu mengurangi nilai
ketulusan suatu budaya.
Di Suryalaya, tradisi yang selama
ini ada, juga ada beberapa tradisi yang sudah tidak dilaksanakan lagi, seperti sunatan
massal pada saat acara manakiban bulanan, tradisi pencak silat sebagai
salah satu hoby nya pangersa Abah Anom. Untuk tradisi tolak bala ada
sedikit perubahan, namun tidak begitu banyak hanya saja kalau dibanding dengan pada saat pangersa Abah Anom
masih ada, akan tetapi hal itu tidak begitu signifikan dan tradisi ini tetap
dapat bertahan hingga saat ini.
2.
Dorongan untuk Tetap Melaksanakan tradisi Tolak Bala
Berawal
dari makna budaya menurut Kathy S. Stolley, bahwa budaya merupakan sebuah konsep
yang luas. Bagi kalangan sosiolog, budaya terbangun dari seluruh gagasan (ide),
keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan
menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan
dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi. Budaya membentuk cara bagaimana orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas
bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung tinggi, berbicara,
organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan, hukum yang
dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa yang kita
pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk atau baik.[46]
Kebudayaan
akan terus hidup manakala masyarakat mau mempertahankannya, sebaliknya
kebudayaan akan musnah jika masyarakat tidak lagi menggunakannya. Dalam hal ini
ada beberapa faktor yang mempengaruhi budaya itu enderung bertahan atau berubah
? diantara faktor tersebut antara lain :
1.
Idiologi
2.
Kepercayaan
3.
Seni
4.
Bahasa
Dari
sekian faktor tersebut yang paling kuat mempengaruhi bertahannya sebuah budaya
dikarenakan idiologi dan kepercayaan masyarakat terhadap budaya tersebut, karena idiologi dan kepercayaan
berakar kuat dari hati. Dari kepercayaan itu akan muncul sebuah perilaku dan
tindakan, dan perilaku tersebut didasarkan pada kebutuhan dasar seseorang.
Faktor kebutuhan yang bersumber dari sebuah kepercayaan akan dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
Tradisi
tolak bala berawal dari sebuah pemahaman dalam keyakinannya bahwa
manusia tidak akan lepas dari hal-hal yang akan terjadi dan tanpa diinginkannya
kejadian tersebut, namun mereka meyakini bahwa kejadian tersebut dapat di
minimalisir dan dicegah dengan doa dan usaha. Doa dan usaha inilah yang akan
mempertahankan kontinuitas sebuah tradisi. Kebutuhan dilakukannya usaha menolak
hal-hal yang tidak diinginkan menjadi penting dalam sebuah pemertahanan.
Dari
hasil wawancara dengan para informan, ada banyak dorongan dalam melakukan
tradisi tolak bala. baik yang sifat lahiriyah dan bathiniyah. Salah satu
contoh ; seorang Ikhwan melakukan tolak bala dikarenan akan membuat
rumah. Secara sepintas seperti tidak ada hubungan antara membangun rumah dengan
tolak bala, karena disaat membangun rumah itu waktunya membutuhkan dana
yang besar, sementara tolak bala justru akan mengurangi dana biaya
membangun rumah, jadi sangat kontradiktif. Akan tetapi karena keyakinan Ikhwan
terhadap tolak bala sudah mantap, bahwa dengan bertolak bala maka
akan dilancarkan dalam membangun rumahnya. Maka tanpa berfikir lama Ikhwan
tersebut pun selalu melakukannya.
Berikut
ini beberapa motivasi bertahannya tradisi tolak bala, mereka memiliki
motivasi yang berbeda-beda, antara lain :
1.
Motivasi
fisik seperti :
a.
Membangun
rumah
b.
Pindah
rumah
c.
Menikahkan
putranya
d.
Khitanan
putranya
e.
Melanjutkan
pendidikannya
f.
Meraih
cita-cita/ keinginan
g.
Membuat
sumur
h.
Melamar
pekerjaan
2.
Motivasi
psikis seperti :
a.
Untuk
keselamatan
b.
Syukur
nikmat
c.
Bentuk
ketaatan, kepatuhan dan khidmat
d.
Kepedulian
sosial
e.
Kesehatan
( dioperasi, melahirkan dll)
Kecenderungan
melakukan tradisi tolak bala mayoritas masyarakat masih pada ranah
fisik, sebagai upaya pertahanan terhadap eksistensi diri terlebih masa kini
persaingan akibat modernisasi semakin ketat. Walaupun di satu sisi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat juga berakibat tergesernya
sebuah tradisi. Hanya saja apabila dalam jiwa para ikhwan sudah tertanam
keyakinan yang kuat maka pergeserannya tidak begitu dominan. Seperti tradisi tolak
bala yang ada di pesantren
Suryalaya.
F.
Upaya pelestarian tradisi tolak bala
Kekhawatiran
pemerintah berkaitan dengan tradisi dan budaya
yang ada di Indonesia, adalah tergerusnya tradisi dan budaya oleh
pengaruh tekologi yang canggih. Anak-anak muda masa kini lebih tertarik dengan
budaya Barat, budaya sendiri sudah mulai ditinggalkan. Oleh karena itu berbagai
upaya pemerintah dilakukan agar budaya sendiri tidak ditinggalkan. Upaya
tersebut antara lain dengan dikeluarkannya kebijakan, program cagar budaya,
otonomi budaya dan sebagainya. Perlunya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya budaya yang mana kebudayaan Indonesia adalah budaya-budaya lokal
adalah kewajiban setiap lapisan masyarakat, dimana peran serta mereka yang
terus berusaha untuk mewariskan kekuatan budaya lokal akan menjadi kekuatan
budaya itu utnuk tetap ada.
Kebudayaan
dapat dilestarikan dalam dua cara[47]
seperti dalam gambar :
Gambar
dari berbagai sumber
Kebudayaan
dapat dilestarikan apabila kebudayaan tersebut diterapkan secara langsung dalam
bentuk perbuatan, tindakan artinya masyarakat harus melaksanakan secara
langsung bukan sekedar pemahaman. Tradisi tolak bala adalah jenis budaya
yang harus dipraktekan langsung oleh masyarakat, semakin banyak warga
masyarakat mempraktekannya secara kontinyu dan berkesinambungan serta tradisi tolak bala itu dilaksanakan
dari generasi ke generasi maka tradisi tersebut akan terus ada.
Cara
yang kedua upaya pelestarian suatu budaya adalah melalui lembaga yang mengelola
pusat informasi mengenai tradisi tersebut agar secara keilmuan tradisi tersebut
dapat diambil melalui berbagai bentuk. Tradisi dan budaya dapat dikembangkan
melalui pendidikan, kepariwisataan. Melalui tulisan, masyarakat dapat
mengetahui suatu budaya tertentu dan mempelajarinya. Demikian juga pemerintah
dapat memasukannya dalam struktur kurikulum kebudayaan daerah menjadi muatan di
sekolah. Sehingga sumber daya manusia dapat ditingkatkan dalam memajukan budaya
lokal.
Dalam
tradisi tolak bala di Pesantren Suryalaya, upaya yang dilakukan guna
terlestarikannya tradisi tersebut melalui cara-cara, antara lain :
1.
Pihak
pesantren mengkondisikan terlaksananya pelaksanaan tradisi tolak bala,
baik tolak bala dalam bentuk ibadah
mahdlah dan ghair mahdlah.
2.
Pihak
pesantren mengeluarkan maklumat untuk memperkuat dilaksanakannya tradisi
tersebut.
3.
Pihak
pesantren melayani masyarakat yang akan melakukan tradisi tolak bala.
4.
Pihak
pendidikan tinggi yang ada di pesantren melakukan penelitian guna tradisi yang
ada di pesantren dapat diakses ke dunia luar.
5.
Pihak
pesantren pun mendokumentasikan apa saja yang diperlukan saat pelaksanaan
Rebo Wekasan.
BAB
IV KESIMPULAN
Penulisan
mengenai tradisi tolak bala awalnya terinspirasi oleh tradisi tolak bala yang ada di beberapa daerah yang melibatkan
banyak orang, sehingga tradisi tersebut terlihat wah. Namun dalam hal ini
penulis ingin mengangkat tradisi tolak bala yang berbeda dengan daerah
lain, adanya pembaruan dari tradisi-tradisi yang ada di nusantara.
Tradisi
tolak bala yang dilakukan oleh Ikhwan TQN Suryalaya terdapat dua jenis,
ada yang dilakukan dengan bersama-sama (berjamaah) dan ada yang dilakukan
secara personal (mandiri). Tradisi dalam bentuk ibadah mahdlah sholat sunnat (
lidaf’i al-bala ) dilaksanakan dalam tiga waktu yakni sebelum sholat fardlu
Subuh, setelah sholat fardlu Isya dan setahun sekali yakni pada hari Rabu
terakhir bulan Safar tahun Hijriyah yang dikenal dengan Rebo Wekasan.
Pelaksanaan
Rebo Wekasan dilaksanakan pada pagi hari setelah dilaksanakan sholat sunnah
isroq sekitar pukul 06.10 yang diawali dengan alunan istighfar ( bentuk ampunan
dari seorang hamba karena telah berbuat dlolim terhadap dirinya sendiri) yang
sangat menyentuh hati karena dialunkannya dengan ada yang khas. Setelah selesai
pelaksanaan sholat maka jemaah Ikhwan dibagi oleh mubaligh secarik kertas
berisikan isim / doa untuk di masukkan ke dalam air bak mandi dirumahnya
masing-masing.
Tradisi
tolak bala dalam bentuk ibadah ghair mahdlah (sedekah), tradisi ini yang membedakan dengan tradisi di
daerah lain. Perbedaannya, kalau didaerah lain pelaksanaan sedekah tersebut
dilaksanakan secara gotong royong/ bersama oleh masyarakat sekampung, sehingga
yang tadinya tidak bermaksud melaksanakan pun jadi ikut bergabung karena
terbawa oleh orang lain. Adanya unsur terpaksa, sementara tradisi tolak bala
yang dilakukan para Ikhwan TQN
Suryalaya, dilakukan secara personal / masing-masing. Dalam hal ini dituntut
adanya kesadaran untuk melakukannya.
Dalam
sebuah kesadaran melakukan sesuatu, tidak lepas dari adanya motivasi (tujuan)
dari tindakannya. Adapun motivasi melakukan tolak bala bagi para Ikhwan
antara lain ada yang bersifat lahiriyah dan bathiniyah sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. Karenanya kebutuhan bathiniyah yang menjadi dorongan kuat guna
terlestarikannya tradisi tolak bala. Selain faktor motivasi yang timbul
dari kalangan Ikhwan juga faktor lingkungan Pesantren turut mendukung proses
terlestarikannya tradisi ini. Pihak Pesantren telah mengupayakan terlestarikannya
setiap tradisi yang ada melalui proses sosialisasi, proses internalisasi kultur
dan proses pembudayaan /enkulturasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd
al-Qadir al-Jailani, al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq,
Jilid: II (Mesir: al-Baby al-Halaby, 1288 H).
Ahmad Shabahy, al-Falsafah
al-Akhlâqiyyah, (Kairo: Dar al-Ma`arif, 1969 H ), 248
Ajid Thohir, Gerakan Politik kaum
Tarekat, Hilmi Inti Perdana, Suryalaya, Tasikmalaya, 2015.
Asep Salahudin, Sufisme Sunda, Nuansa,
Bandung, 2017
Didah Rasidah Mubarok, Riwayat
Abah Sepuh, Wahana Karya Grafika, Bandung, 1986.
George Ritzer, ed., Encyclopedia of
Sociology, Vol.1&2, (New York : SAGE Publications, 2005).
Hamzah B. Uno, Teori Motivasi
& Pengukurannya, Bumi Aksara, Cetakan kelima, Jakarta, 2009.
Harun
Nasution, Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah Sejarah, Asal-Usul dan
Perkembangannya, Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Tasikmalaya,
1990.
Hasyim Muhammad, Dialog antara
Tasawuf dan Psikologi, Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2002
Ibnu Hammad, “Metode Analisis
Wacana Dalam Penelitian Lektur Keagamaan Kontemporer” Makalah disampaikan
dalam Pertemuan Lektur Keagamaan di Yogyakarta, 19 Maret 2010, Balai Litbang
Agama Republik Indonesia.
James. P. Spradley, Metode Etografi,Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2007.
Kaswan, Sikap Kerja dari Teori
dan Implementasi sampai Bukti, Alpabeta, Bandung, 2015.
Moleong, Metode
Penelitian Kualitatif, PT. Rosdakarya, Bandung, 2004.
Mulyati
Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,
Prenada Media, Jakarta, 2004.
Pandji Anoraga, Psikologi Kerja,
Rineka Cipta, Jakarta, 2006
Piotr Sztompka, 2010. Sosiologi
Perubahan Sosial. Penerbit Prenada Media : Jakarta
Sahid Arifin, Syekh Muhammad Abu
Bakar Faqih Macan Suryalaya, Perjalanan dan Pengabdiannya, Synergy Tharada,
Batam, 2002.
Sayed
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim; Tafsir al-Manar, jilid
I (Beirut: Dar al-Ma'arifah, t. th.),
Sekretaris
Yayasan Pondok Pesantren Suryalaya, Kumpulan Maklumat Syaikh Mursyid TQN
Pondok Pesantren Suryalaya, 2010.
Sri Mulyati, Mengenal dan
Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
2004.
Sri
Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Suryalaya, Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, 2010
Wawan, Desain penelitian
Kualitatif, Latifah Press, 2002.
Zainul Milal
Bizawie, Masterpiece Islam nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri,Pusataka
Kompas, Tangerang Selatan, 2016.
journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/download/6300/3828,
diakses tanggal 20 Desember
2017
http://ul102.ilearning.me/2015/05/30/pentingnya-melestarikan-budaya-indonesia-5/
diakses pada tanggal 3 Desember 2017 hari Minggu
https://kangaswad.wordpress.com/.../mintalah-pertolongan-dengan-sabar-dan-shalat-...
[1]
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai
benteng pertahanan dan pusat dakwah
serta pengembangan Islam Indonesia. Kata pesantren berasal dari bahasa Tamil
yang berarti “guru mengaji” ; menurut sumber lain dari bahasa India shastri (akar kata :sastra)
yang berarti “buku suci” “buku agama”, atau “buku ilmu”. Lembaga pesantren
disebut juga “surau” (Sumatera Barat) “dayah” (Aceh), dan “pondok” (Jawa dan
daerah ain).(Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, 2005)
[2] Ikhwan
adalah sebutan untuk anggota laki-laki TQN Suryalaya, dan akhwat adalah
anggota TQN perempuan
[3]
Mulyati Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,
Prenada Media, Jakarta, 2004.
[4] Ikhwan adalah
panggilan bagi kaum laki-laki yang komunitas TQN
[5] Abah Sepuh
adalah panggilan akrab pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, ayahandanya Abah
Anom
[6]
Dapat diperhatikan, bahwa
zikir tahlil (kalimah la ilaha illa Allah)
sebagai esensi keyakinan dan pengakuan ketauhidan, dengan cara mewiridkannya
yang khas.
[7]
https://teorionlinejurnal.wordpress.com/2012/08/29/teori-nilai-value/
[8]
Etnografi ditinjau secara harfiah,berarti tulisan atau laporan tentang suatu
bangsa yang ditulis oleh seorang antropologi atas hasil penelitian lapangan (field
work) selama sekian bulan atau
sekian tahun.
[9]
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi
[10] Sayed Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim; Tafsir al-Manar, jilid I
(Beirut: Dar al-Ma'arifah, t. th.), hlm. 62-64 dan II, hlm. 289-293.
[11] Melalui
Hidayah Sejak dilahirkan,
manusia telah menampakkan gejala-gejala sebagai pertanda bahwa dia adalah
makhluk berbudaya, antara lain terlihat pada saat lapar ataupun haus, ia
mengeluarkan suara tangisan dan pada saat disusui ibunya, ia mampu menghisap
air susu ibu tersebut tanpa ada yang mengajarinya
[12]
Melalui hidayah
pancaindera juga berbagai budaya yang
berupa bunyi-bunyian, bentuk-bentuk pemandangan, peralatan, dan sebagainya
adalah hasil tiruan manusia dari apa saja yang dapat ditangkap oleh
pancainderanya
[13]
Melalui hidayah
‘aqliyah potensi berfikir daya
khayalnya, manusia mampu melakukan apreseasi (apperception), dan
menyalurkan apresiasinya itu melalui cipta, rasa, dan karsa. Dari kemampuan
akal ini, manusia mampu membuat alat untuk memudahkan keperluan-keperluannya,
dari yang sederhana sampai yang canggih, sehingga oleh orang Barat disebut
dengan the tool making animal (makhluk pembuat alat). Makin tinggi daya
kreasi manusia, makin canggih pula bentuk-bentuk budaya materialnya
[14]
Melalui hidayah
religion daya pemikiran manusia pada dasarnya
tidak dapat menjangkau apa yang terdapat di balik alam maya , namun berkat
bimbingan sang Pencipta alam semesta yang diturunkan melalui para rasul-Nya.
Dengan bimbingan ini manusia dapat mengetahui apa yang semestinya dilakukan,
sehingga budaya yang diciptakan dapat berguna baik bagi dirinya, makhluk
sesamanya, ataupun makhluk-akhluk yang lain. Menurut sifatnya, manusia adalah
makhluk berberagama, atau disebut dengan istilah homo-relegiosi
[15] Hamzah, Psikologi Sosial, karya Gerungan,
Bandung, PT. Erisco, 1996, hal 142-144
[16] Kaswan,
Sikap Kerja dalam Teori dan Implementasi sebagai Bukti, Alfabeta,
Bandung, 2015, Hlm. 2
[17] Ibid
[18] Ibid.
Hlm 8-9
[19] https://kangaswad.wordpress.com/.../mintalah-pertolongan-dengan-sabar-dan-shalat-...
[20] Patapan adalah
istilah yang menunjukan tempat bertapa, berkholwat para salik ( orang yang
sedang belajar mensucikan jiwanya).
[21] Sahid
Arifin, Syaikh Muhammad Abu Bakar Faqih MACAN SURYALAYA Perjalanan dan
Pengabdiannya,Syinergy Tharada, Batam, 2002, hlm.68
[22] Ahmad Shabahy,
al-Falsafah
al-Akhlâqiyyah, (Kairo: Dar al-Ma`arif, 1969 H ), 248
[23] Abd al-Qadir
al-Jailani, al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq,
Jilid: II (Mesir: al-Baby al-Halaby, 1288 H), 148
[24] Robhitoh
adalah kontak bathin seorang murid dengan guru mursyidnya untuk meningkatakn
pola komunikasi yang intens.
[25] Kharisma oleh
Weber didefinisikan sebagai suatu sifat tertentu dari suatu kepribadiannseorang
individu berdasarkan mana seseorang itu dianggap luar biasa dan di perlakukan
sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat ghaib unggul atau paling sedikit
dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa.
[26] journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/download/6300/3828,
diakses tanggal 20 Desember
2017
[27] Abah Sepuh
sudah lama melaksanakan sholat sunnah Lidaf’i al-bala (Rebo Wekasan) di
setiap tahunnya walaupun tidak diketahui secara pasti kapan mulainya.
[28] Riyadlah
adalah sejenis upaya melatih diri melalui berbagai macam amalan yang diberi
oleh guru Mursyid kepada muridnya.
[29] Amalan
dzikrullah yang bersifat harian merupakan sesuatu yang wajib dilakukan bada sholat
fardlu yang lima waktu yang dilakukan
secara berjamaah.
[30] Amalan wiridan
khotaman yang dilakukan seminggu dua kali yakni hari senin bada ashar
dan hari kamis sore bada ashar, yang dilakukan secara berjamaah pula. Namun
akhir-akhir ini tradisi khotaman tersebut berkembang bukan hanya dua
kali dalam seminggu namun setiap hari bada sholat maghrib dan isya secara
berjamaah.
[31] Amalan manakiban
, sejenis pengajian yang berisi pembacaan
manqobah Tuan Syekh Abdul Qadir al-Zaelani dan diiringi serangkaian acara
lainnya dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an, pembacaan wasiat (Tanbih)
Abah Sepuh, tawasul, manqobah yang diakhiri dengan khidmat ilmiah (tausiah
berupa kajian keilmuan) yang dilaksanakan sebulan sekali yakni pada tanggal 11
setiap bulan hijriyah.
[32] Tradisi yang
bermaksud untuk mencegah terjadinya malapetaka melalui ibadah sholat sunnah dan
bersedekah sesuai kemampuan para ikhwan.
[33] Adalah tradisi
lima tahunan dalam rangka haol pondok pesantren lima tahun sekali. Dalam
tradisi ini para ikhwan serta masyarakat sekitarnya berbondong-bondong
memberikan (mensedekahkan) sebagian hartanya baik dari hasil bumi maupun
perdagangnnya (usahanya) kepada Pesantren sebagai rasa syukur dan turut
berbahagia atas kiprahnya selama ini terhadap pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya.
[34] Nerbang
adalah tradisi seni alunan pembacaan sholawat di bulan Rabi’ul awal (Maulid
Nabi), dengan menggunakan alat terbang dengan nadham yang khas yang dilakukan
para ikhwan sekitar pesantren dan para santrinya dalam rangka memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad saw.
[35] Nagbungbang
adalah traisi berjiarah ke makam pendiri pesantren secara berjamaah yang
dihadiri para ikhwan dari berbagai daerah sekitarnya yang dilaksanakan pada
bulan Rabi’ul Awal.
[36] Cukuran Massal
adalah mencukur rambut bayi yang baru lahir
dihari ketujuh secara bersama-sama sekaligus pemberian nama bayi dilaksanakan
pada acara rutin bulanan manakiban di mesjid besar pesantren.
[37] Ngaras, sebuah
tradisi soan kepada Pangersa Guru Mursyid untuk meminta doa dan keberkahannya,
sebagai upaya melakukan robithoh secara langsung
[38] Sunatan Massal
adalah kegiatan sunat anak laki-laki secara berjamaah di hari manakiban,
[39]
Wawancara dengan salah seorang ikhwan Suryalaya yang berinisial “C” pada tanggal 28 Desember 2017 di komplek
Pesantren Suryalaya.
[40]
Maklumat adalah Intruksi yang dikeluarkan oleh Abah Anom yang menyediakan
informasi atau pengingat-pengingat penting kepada seluruh Ikhwan TQN. Maklumat
biasanya diberikan dalam tulisan, dan dari waktu ke waktu , selalu sesuai dengan
isu-isu aktual di negeri ini, seperti Pemilihan Umum, Hari kemerdekaan Republik
Indonesia dan even-even lainnya.
[41] Kumpulan
maklumat Syaikh Mursyid TQN Pondok Pesantren Suryalaya, Sekretariat Pondok
Pesantren Suryalaya.
[42] Isim
adalah secarik kertas berisikan doa yang diyakini untuk menolak bala .
[43] Wawancara
dengan jagal tolak bala berinisial “E” pada tanggal 6 Desember 2017 pada hari Rabu
pukul 13.00 WIB di Komplek Pesantren Suryalaya.
[44] Saepi adalah
sejenis amalan seorang salik agar si
pengamal dekat dengan Allah swt. dengan cara-cara tertentu, seperti mandi
kemanusiaan, tidak bersentuhan kulit dengan wanita selama beberapa hari. Dan
sebagainya.
[45] Wawancara
dengan jagal tolak bala yang berinisial “U” pada tanggal 6 Desember 2017
pada hari Rabu pukul 14.00 WIB di Komplek Pesantren Suryalaya.
[46] George Ritzer, ed., Encyclopedia of
Sociology, Vol.1&2, (New York : SAGE Publications, 2005),
[47] http://ul102.ilearning.me/2015/05/30/pentingnya-melestarikan-budaya-indonesia-5/
diakses pada tanggal 3 Desember 2017 hari Minggu
Komentar
Posting Komentar