Metodologi Ijtihad Muamalah
METODOLOGI IJTIHAD
MUAMALAH MENURUT TAJ AL-DIN AL-SUBKI, (728-771 H) DAN
RELEVANSINYA DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Naskah Jam’
al-Jawami fi Ushul al-Fiqh)
Oleh :
Solihah Sari
Rahayu
A.
Pendahuluan
Hukum
dalam al-Qur’an dikelompokan kedalam tiga bagian. Pertama, termasuk ke dalam
dimensi aqidah, berkaitan dengan yang
harus diyakini oleh seorang mukallaf mengenai Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari akhir, menjadi kajian ilmu ushuluddin.
Kedua , termasuk ke dalam dimensi akhlak, berkaitan dengan nilai-nilai yang
harus dimiliki dan yang harus dijauhi, menjadi kajian ilmu tasawuf. Ketiga,
termasuk ke dalam dimensi hukum amali, aturan tentang perbuatan mukallaf dan
menjadi kajian ilmu fiqh. Bagian ketiga inilah yang akan menjadi obyek usul
fikih (ushul al-fiqh).
Usul
fikih dipahami sebagai metodologi untuk menggali hukum dari dalil-dalil rinci yang sudah terbentuk sejak periode awal
Islam. Usul fikh pada masa ini belum terkodifikasi, karena semua permasalahan
masih dapat ditangani oleh Rasulullah SAW. walaupun dalam hal ini Rasulullah
SAW. telah memberi contoh berijtihad kepada para sahabat pada saat dihadapkan dengan
permasalahan yang tidak tercantum dalam nash.
Sejak
awal Islam kaidah-kaidah dalam berijtihad telah terbentuk, setidaknya kita
mengenal metode mutakalimin, fuqoha dan
mutaakhirin. Dari ketiga metode
tersebut ulama mutakalimin cenderung berfikir deduktif dalam perumusan
kaidah usulnya. Kaidah yang merupakan hasil dari penalaran terhadap dalil
dan ta’lil, terepas dari furu’ fikih atau fatwa imam madzhab. Para fuqoha cenderung
berfikir induktif , suatu kaidah yang
dibangun dari hasil istiqra (induksi) dari berbagai furu’ dan
fatwa imam madzhab yang mereka ikuti.
Fikih
muamalah sebagai hukum amaliah yang memiliki wilayah kajian berijtihad yang
paling luas, terutama muamalah dalam makna yang khusus yakni yang hanya
berkaitan dengan persoalan harta dalam rangka menjaga kelangsungan hidup.
Terlepas dari muamalah dalam arti yang luas metode yang digunakannya cenderung
tidak mengalami perubahan , walaupun secara substansial usul fikih sendiri
meniscayakan adanya perubahan, karena adanya pembaharuan fikih juga
mengehendaki perubahan usul fikih. Gambaran wilayah kajian berijtihad muamalah seperti berikut ini :
Ahwal
al-Syakhshiyyah
|
Ibadah
|
Uqubah
|
Muamalah
|
Indonesia
sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman agama, budaya, etnis yang
berlimpah dapat disatukan dengan kesamaan dalam aspek finansial, terlebih fikih
muamalah tidak terikat pada aspek akidah. Sehingga memudahkan penerapan aturan fikih muamalah karena secara
substansial aturan yang dikandungnya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Karena itu hukum ekonomi
syariah menjadi hukum positif serta
menjadi bagian dari hierarkis perundang-undangan yang ada di Indonesia.
B.
Metodologi
Ijtihad Muamalah dan Relevansinya dalam Perundang-Undangan menurut Taj al-Din
1.
Bioghrafi
Taj al-Din al-Subki dan Karyanya
Taj al-Din al-Subki memiliki nama
dengan nasabnya yang lengkap adalah ‘Abd al-Wahab bin ‘Ali bin Abd al-Kafi bin
‘Ali bin Tamam bin Yusuf bin Musa bin Tamam bin Hamid bin Yahya bin ‘Umar bin
‘Usman bin ‘Ali bin Miswar bin Sawwar bin Sulaym al-Subki al-Khaaraji
al-Anshari. Nama kecilnya ‘Abd Wahab, kunyah-nya Abu Nashar, laqab-nya
Taj al-Din dan dinisbahkan ke Desa asal keluarganya, Subk, di utara Mesir,
bagian dari provinsi al-Miufiyah[1].
Kelahirannya tidak diketahui dengan pasti tanggal dan bulannya, hanya saja
beliau lahir bertepatan dengan tahun
meninggalnya Ibn Taymiyah sekitar 727 H atau 728 H di usia yang ke 43 tahun. Disaat
Mesir dikuasai oleh dinasti Mamluk (Mamalik) Bahriyah (648-792 H /1250-1389 M).
Ayahnya, Taqi al-Din ‘Ali bin Abd al-Kafi, adalah penulis pemuka
ulama Syafiiyah dimasanya. Ayahnya lahir di desa yang sama yakni Subk, bulan Shafar 673 H, dan meninggal di
Kairo Senin Jumadil Akhir 756 H. Dia menguasai fiqih, Usuhl, Hadits,
hafizh, tafsir dan nahwu., keilmuannya yang luas menjadikan
Beliau banyak dikagumi orang-orang, hal itu dibuktikan oleh para ulama
terkemuka saat itu seperti Al-Dzahabi[2],
AL- Shafadi[3]
keunggulanya dalam berbagai ilmu mendekati para ahli di bidangnya masing-masing
seperti Ibnu ‘Athiyah dan al-Razi (
bidang tafsir), al-Dhani dan al-Sakhawi (bidang qira’at), al-Rafi;i
(bidang mantik), serta bidang lainnya.
Pendidikan Taj al-Din Subki tumbuh dalam keluarga yang cinta ilmu.
Pepatah mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonya”, itulah yang pas untuk
menggambarkan kondsi keilmuan Taj al-Din Subki. Sejak kecil telah disiapkan ayahnya menjadi
ulama mumpuni. Ayahnya adalah guru pertama dan utama yang memberikan bekal
untuk menjadi fiqih, ushul, tafsir, hadits dan lainnya. guru-gurunya ia catat
nama dan biografi mereka dalam Mu’jam al-Syuyukh[4].
Jumlah gurunya berdasar penomoran, 190 orang dan 20 orang darinya perempuan.
Catatan penting dari deretan gurunya; Pertama , ia memeiliki guru lintas
manzhab, bukan hanya Syafi’i yang ia dan keluarganya ikuti, namun juga mazhab
yang lain yakni mazhab Hanafi dan Maliki. Kedua, keuntungannya sebagai anak
yang lahir dalam keluarga ulama, ia menmbangun karir ilmiah sejak kecil.
Ketiga; para perempuan menempati posisi terkemuka sebagai ahli hadits.
Belum usia 20 tahun, ia diizinkan gurunya, Ibn al-Naqib untuk
berfatwa. Ia di percaya menjadi mufti di lembaga Dar al-‘Adl meski belum
memenuhi syarat mujtahid. Pengangkatannya meningkatkan rasa percaya dirinya,
walau demikian tidak berlebihan dan ia tetap sadar bahwa ia belum mencapai
tingat derajat mujtahid mutlak, karena ia yakin bahwa ayahnya jauh lebih baik
darinya.
Disamping itu juga ia dipercaya menjadi pengganti (na’ib) qadli,
ayahnya yang sakit, dan jadi hakim mandiri sejak bulan Jumadil Ula 756 H
serta dipercay menjadi pimpinan Dar al-Hadits al-Asyrafiyah dan pimpinan Tawqi
al-Dast tahun 754 H, mejadi khatib Jami’ al-Umawi. Beriringan dengan itu ia
juga menjadi Qadli al-Qudhah di
Syam. Ia juga dikenal sebagai seorang yang sangat kritis termasuk gurunya
sendiri di kritisi, karena sikap kritisnya ia pun dikritisi oleh al-Sakhlawi
(salah seorang pendukug al-Dahabi) dengan dikatakan sebagai orang yang ta’asshub.
Sebelum meninggal, ia masih memberikan khutbah pada hari Jum’at dan
hari Sabtu malam iajatuh sakit parah dan meninggal malam Selasa 7 Dzulhijjah
tahun 771 H (2 Juli 1370 M) pada usia yang tergolong masih muda yaitu 43 tahun,
jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarganya di Qasiyun.
Taj al-Din meninggalkan berbagai tulisan, ada yang menyebut sampai
150 buah[5]
karena beliau menguasai beragai bidang ilmu., ada yang sudah di –tahqiq
dan dicetak ulang. Salah satunya yang
menjadi perhatian beliau adalah ilmu ushul fiqh
yang mendorong terlahirnya kitab Jam’
Jawami’ (The Compilation of the Comprehensive) . Tidak ada informasi
jelas kapan Taj al-Din mulai menulisnya, tapi ia menyebutkan bahwa kitab itu
tuntas pada akhir malam 11 Dzulhijjah tahun 760 H di rumahnya, di perkampungan
al-Muzzah dekat kota Damaskus. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa tulisan ini
adalah karya keempat yang ditulis Taj al-Din dan jadi rujukan atau sandaran
pendapatnya. Diantara karya unggulan Taj al-Din di bidang ushul al-fiqh antara
lain :
a.
Jam’u
al-Jawami’ fi Ushul al-fiqh
b.
Al-Ibhaj
fi Syarh al-Minhaj
c.
Al-Ta’liqah
fi ushul al-fiqh, syarh
d.
Al-Syarh
al-Kabir
e.
Raf’
al-Hajib ‘an Mukhtashar Ibn al-Hajib
f.
Man’
al-mawani’an Jam’ al-Jawami’
g.
Ham’
al-Hawaami fi Man’ al-Mawani’
Dan
banyak lagi karya beliau dalam berbagai bidang seperti bidang Fiqih, Ushulu al-Din, Hadits dan
ilmunya, Sejarah dan Thabaqat . Dari
karyanya yang mencakup di berbagai bidang tersebut menggambarkan keluasan ilmu
beliau. Dan walaupun menguasai berbagai bidang, Taj al-Din memiliki perhatian
khusus terhadap ushul fiqih dan mendorongnya lahirnya berbagai karya di bidang
lain. Khususnya melalui karya
unggulannya kitab Jam’u al-Jawami’ yang mendapatkan apreasiasi yang luar
biasa, ada yang memberikan penjelasan (syarh; commentary), menjelaskan
penjelasan ( khasiyah; notes on commentary), menyusunnya dalam format sya’ir
(al-nazhzham ; versification), memberikan pengukuhan (taqrir;
justification), membuat catatan pinggir (ta’liq; annatition), meringkas
(i ikhtisar; summarization) dan banyak lagi karya-karya inspirasi Jam’u
al-Jawami’ tersebut.
2.
Defnisi
dan Legitimasi Ijtihad
Makna kebahasaan ijtihad (al-Ijtihad) dapat ditemukan dalam
berbagai literatur kamus bahasa Arab. Kata ijtihad memilki akar kata jahada,
masdar-nya ada dua dengan arti yang berbeda. Pertama, al-juhd
dengan arti kesanggupan atau kemampuan yag di dalamnya terandung makna sulit
dan susah. Kedua, al-jahd dengan arti kesungguhan, sepenuh hati atau
serius. Kata ijtihad semakna dengan kata tahajud, yaitu proses
pengerahan seluruh kemampuan (badz al-wus’)dan obyek jahd itu
sendiri (al-mahjud)[6].
Intinya ijtihad hanya digunakan utnuk upaya ang menguas tenaga atau pikiran
dan, kalau perlu mengeluarkan biaya. Karenaya, ia tidak digunakan untuk
pekerjaan yang ringan.
Secara
terminologis, maksud ijtihad dalam bab ijtihad kitab jam’
al-jawami’ seperti berikut ini :
Ijtihad adalah
optimalisasi kemampuan faqih (dalam memahami dalil) untuk menghasilkan fiqih[7]
Maksudnya
adalah pengerahan kemampuan maksimal dalam menganalisa (al-nadhr)
berbagai dalil, oleh karena itu tidak disebut ijtihad kalau secara
dharuri satu atau beberapa dalil teah memberikan informasi pasti. Misalnya
secara dharuri diketahui bahwa Allah itu Esa dari srat al-ikhlas
(112), ayat 1, kalau dihubungkan dengan berbagai ayat lainnya. Dalam hal ini
menurut pendapat penulis karena ijtihad
hanya pada ranah yang zhanni saja, sehingga jika telah ada dalil qhat’i
walaupun satu ayat maka itu bukan ranah ijtihad.
Orang yang melakukan ijtihad
adalah mujtahid yakni orang yang menjalani dan mengikuti proses berfikir
maksimal untuk menyelesaikan persoalann furu’. Taj al-Din menyebutnya
dengan Faqih, dikarenakan seorang faqih itu sebagai salah satu
syarat seorang rawi dan syarat seorang mujtahid. Sehingga untuk
menjadi seorang mujtahid juga dia harus seorang faqih yang
memahami agama (faqih), memiliki karakter pemikir serius, konsisten dan
sistematis bukan berfikirnya pada saat dihadapkan pada masalah furu’ saja. lebih jelasnya seperti terlihat pada
bagan berikut ini :
Syarat Fundamental :
Menguasai al-Qur’an, Sunnah,
Bahasa, Ushul Fiqih, dan Ijma’
|
Syarat Pelengkap :
Mengetahui baroatul asliyah, , maqosidu syari’ah,
qawa’id al-kuliyah, topik-topik khilaf, furu’ setempat, mantik, ‘adalah, mujtahid,
wara’, hidup dengan cara yang baik dan benar, menjaga kehormatan, dan berbagai syarat spesifik lainnya.
|
Mujtahid
|
Syarat Keahlian
|
Syarat Umum Taklif
Islam
Baligh
berakal
|
Berdasar
pemenuhan syarat (kapabilitas) ijthad, mujtahid terbagi menjadi tiga tingkatan
: Pertama, mujtahid yang memenuhi (hampir) semua syarat diatas, lazim
disebut mujtahid muthlaq[8].
Kedua, mujtahid al-madzhab (mujtahid muqayyad) adalah
seseorang yang mampu menganalisa berbagai kemungkinan (takhrijal-wujuh)[9],
dari pendapat imamnya. Ketiga, mujtahid fatwa (alfitya), mujtahid
yang mendalami pendapat imamnya dan men-tarjih antara satu dengan
pendapat lainnya. maksudnya ia hanya mampu membandingkan dan memilih pendapat
terkuat imamnya atau pengikut imamnya. Klasifikasi diatas menggambarkan betapa
ketatnya syarat untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi, berkonsekuensi
kuantitatif, mujtahid yang lebih tinggi lebih sedikit dibanding mujtahid yang
rendah. Namun pada setiap tingkatan selalu ada mujtahid yang relative menguasai
banyak persoalan dan yang hanya menguasai persoalan spesifik karenanya tuntutan
untuk melakukan ijtihad dapat dipenuhi
Proses berijtihad yang dilakukan
oleh para mujtahid tidak dapat dipisahkan dari sumber hukumnya sebagai metode
pendekatannya, seperti yang dilakukan oleh Taj al-Din, ia juga menyebut istidlal
sebagai metode penemuan hukumnya. Adapun output ijtihad adalah fiqih atau hukum
syara’ karena bersumber dari syara’, tumbuh dari syari’, Allah
dan Rasul-Nya. Artinya fiqih merupakan ilmu yang bentuk penerapannya diperoleh
semata dari syara’, bukan dari hukum itu sendiri. Sebab sesuatu yang qadim
mustahil muncul dari yang baru.
Dasar penggalian fiqih adalah
dalil-dalil zhanni, baik berupa nash, ijma’ atau qiyas. Qiyas
diyakini seluruhnya zhanni. Ijma walau mayoritas ulama
menyebutnya sebagai qath’i, tapi periwayatannya tetap mnempatkannya
sebagai zhanni. Adapun kebenaran
hasil ijtihad adalah kebeneran rasional dan kebenaran rasional adalah tunggal.
Menurut al-Jahizh dan al-Anbari dengan hasil ijtihad-nya seorang
mujtahid tidak berdosa, dan kalau ia muslim mendapat pahala. Pada masalah yang
tidak ada dalil pasti menurut Abu Hasan al-‘Ash’ari , al-Qadli Abu Bakr
al-Baqillani, Abu Yusuf, semua mujtahd berpahala. Menurut al-“Ash’ari dan
al-Baqillani, “ hukum Allah mengikuti prasangka mujtahid, karena itu mujtahid
berpahala karena ijtihadnya; bukan karena hukum yang ia tetapkan, berpahala pada
prosesnya; bukan pada hasil akhirnya, kecuali kalau kesalahannya itu karena
kemalasannya, disepakati ia berdosa.
3.
Definisi
Muamalah
Kata
muamalah (al-muamalah) secara
etimologi adalah masdar dari fi’il madhi ‘amala, mengikuti wazan
faa’ala yufaa’ilu mufaa’alatan, (tsulasi mazid bab ke satu), yakni ‘aamala
yu’aamilu mu’aamalatan mempunyi makna saling, berserikat dua atau banyak
pihak (musyarakah) hingga berarti “interaksi dengan orang lain”. Adapun
secara terminologi kata muamalah yang
mendekati dengan makna kebahasaan adalah segala aturan yang mengatur
berkaitan dengan ibadah dan aktifitas lainnya, kemudian mengerucut pada ta’amul
antara manusia. Dalam definisi ini tercakup makna yang luas semua aturan
interaksi antar manusia, seperti aturan sosial, pidana, perdata, etika, dan estetika.
Dalam
al-Qur’an kata amila dan turunannya terulang 359 kali[10],
hampir semuanya bermakna bekerja, beramal, berbuat, dan yang semakna dengan itu
sedangkan yang mengandung makna hubungan transaksional sesama manusia terdapat
dalam lafadz tijarah (perniagaan). Dalam sunnah Rasulullah, kata amila
dipraktekan oleh beliau dalam perjanjian kerjasama penggarapan tanah
khaybar, oleh sebagian besar perawi hadits disebut muamalah, seperti dinukil
al-Bukhari berikut :
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : عامل النبي صلي الله عليه وسلم خيبر
بشرط ما يخرج منها من ثمر اوزرع ( رواه اليخاري)
“Dari Ibn Umar
ra, katanya :” Nabi SAW melakukan kerja sama lahan Khaibar dengan cara
bagi hasil, baik berupa buah-buahan atau tanaman (sayuran)”. (HR. Al-Bukhari).
Istilah lain yang lebih menjurus
kepada muamalah bermakna penghasilan dan pendapatan adalah al-makasib,
istilah ini identik dengan ungkapan yang digunakan syara’ ( al-musammah)[11]
baik spesifik atau tidak. Al-makasib mengindikasikan makna
perbuatan sadar manusia di luar ibadah yang dapat berbuah pahala dan dosa.
Berikut
ini Ali Fikri[12]
memberikan definisi secara khusus lagi dalam kitabnya, bahwa :
علم ينتظم تبادل الاموال والمنافع بين الناس بواسطة العقود
والالتزامات
Ilmu tentang
tata cara pertukaran hara dan jasa antara sesama manusia dengan perantara
transaksi atau janji.
Pada
definisi diatas adanya penekanan terhadap pertukaran harta sebagai unsur utama
muamalah, terlepas dari adanya akad
maupun janji. Dalam pertukaran harta tersebut lebih berorientasi pada
kemaslahatan hidup di dunia, meraih manfaat dan kebahagiaan, serta terhindar
dari mudharat dan kesusahan, jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam
hal ini Taj al-Din mendefinisikan muamalah identik dengan al-makasib,
yaitu (aturan) dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia , mencari dan
mengumpulkan harta , khususnya dengan cara yang halal. Karena menurutnya
dibanding muamalah , konsep al-makasib, justru memiliki akar historis
yang lebih mapan sebagai klasifikasi fiqh
yang berkaitan dengan harta, juga pemenuhan maqasid al-syariah
lebih jelas dan spesifik. Pendapat Taj
al-Din sejalan pula dengan Ibn Abidin
dan kalangan ulama kontemporer, walaupun dalam hal ini Taj membuat spesifikasi
muamalah dengan istilah al-makasib.
4.
Teori
Ijtihad dalam Muamalah menurut Tad al-Din dan Relevansinya dalam
Perundang-undangan di Indonesia
Teori
hukum alam yang di bawa oleh Thomas Aquinas[13]
mengilhami para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan segenap keyakinannya
terhadap Tuhan yang Maha Esa, baik yang muslim maupun non Muslim. Masing
–masing memberikan masukan terhadap keaneka ragaman pemikiran dalam mewujudkan
sebuah bangsa yang berketuhanan dan bermasyarakat yang harmonis.
Doktrin
hukum alam memiliki gagasan bahwa prinsip-prinsip hukum dan moral universal
dapat disimpulkan dari alam- khususnya manusia. Baik di Barat terinspirasi
dengan agama nasraninya, di Timur terinspirasi dengan agama Islamnya dan di
Indonesia sebagian terinspirasi dari kepercayaan dan budayanya. Sehingga hukum
yang terlaku akan selalu terpengaruh oleh ide-ide rumusan hukum alamnya.
Di
BaratHukum Barat, hukum Islam, serta hukum Barat, merupakan system hukum yang
berlaku, karena memang memenuhi syarat keberlakuan hukum, yaitu berlaku secara
empiris[14],
normative[15],
dan evaluative.[16]
Disamping tiga sistem hukum itu, dalam sistem hukum Indonesia berlaku hukum
hasil legislative Indonesia (hukum positif). Gambaran hubungan empat sistem hukum
terhadap sistem hukum nasional (SHN)
Indonesia seperti gambar berikut :
Hukum
Islam
|
Hukum Adat
|
Hukum
Barat
|
S H N
|
Hukum Positif
|
Kesemua
sistem hukum yang terdapat dalam gambar diatas
membentuk sebuah sistem hukum
nasional yang satu sama lain berlaku saling berdampingan dan saling mengisi
dengan tetap terjaga esensialitas dan substansialitasnya nilai-nilai sebagai
wujud idiologi suatu bangsa.
Sebagai
bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sepantasnya sistem hukum
Islam mendominasi hukum positif terutama dalam hal muamalah (ekonomi Islam)
terlebih fikih muamalah tidak terikat pada aspek akidah. Sehingga
memudahkan penerapan aturan fikih
muamalah, karena secara substansial aturan yang dikandungnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
membuat perundang-undangannya dapat mengadaptasi sumber hukum Islam melalui
al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Ijtihad (Qiyas ) serta metode lainnya sebagai pengembangan
dari pola ijtihad dengan hierarki hukum di Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah serta Peraturan Daerah (aturan Otonom). Karena
menurut Hans Kelsen[17]
bahwa norma hukum itu berjenjang, berlapis dalam suatu hierarkis; norma
yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, sampai pada norma tertinggi yang bersifat hipothesis dan fiktif yaitu
norma dasar ( basic norm). Demikian
norma dan nilai yang terdapat dalam muamalah, dari mulai kebutuhan yang
tertinggi hingga kebutuhan yang sangat mendasar terdapat nilai-nilai sebagai
benang merah yang dapat dijadikan aturan sehingga dapat melindungi semua pihak
tanpa memihak golongan tertentu.
Kebanyakan
muamalah sangat terkait dengan hak hamba dan kemaslahatan dunia, ia dapat
ditetapkan dengan akal; akal dapat menentukan baik (sesuai dengan tabiat atau
indah) dan buruk ( tidak sesuai dengan tabiat atau jelek). Karenanya muamalah
banyak bersifat ma’qul ma’na yakni hukum-hukum yang maknanya dapat
dirasionalisasi untuk meraih kemaslahatan atau menolak kemadharatan. Dengan
demikian wilayah kajian muamalah adalah seluruh bidang muamalah, berbeda dengan
bidang lainnya yang hanya sebagian saja.
Muamalah
termasuk kedalam persoalan dunia (al-umuru al-dunyawiyah), dalam
menetapkan hukum menggunakan qiyas sebagai hujjahnya. Urusan dunia yang dimaksud
Taj al-Din adalah hal-hal yang tidak terkait dengan i’tikad dan kenabian.sebab
keduanya merupakan landasan agama; kesalahan pada keduanya berdampak kafir dan
sesat. Untuk itu, pada dua hal
ini dalilnya harus qhat’i. Bahkan tidak bisa dengann khabar wahid,
karena zhann yang dihasilkan khabar wahid sama sekali tidak bisa
mengubah sesuatu yang tidak maslahat menjadi maslahat. Sementara untuk fatwa
dan urusan duniawi, khabar wahid
dapat diterima, berdasarkan ijma’.
Karena
dalil i’tikad harus qhat’i, maka larangan qiyas hanya masalah
i’tikad saja. qiyas jadi dalil semua hukum hukum syara’ secara mutlak.
Dalam masalah hudud, para sahabat menetapkan hadd minuman khamar 80 kali
dera berdasar qiyas. Taj al-Din menegaskan bahwa qiyas dapat
dilakukan antara satu ibadah dengan ibadah lain dan antara fardu dengan yang
sunat atau sebaliknya. Sebab tidak disyaratkan antara ashl dan far harus
sama dalam segala hal; tidak ada dua hal yang persis sama. Syaratnya hanyalah
ada persamaan ilat hukum, dan tidak masalah kalau berbeda dalam masalah
lainnya. hanya saja , persoalan ibadah mahdlah dominan diatur dalil qhat’i maka
penggunaan qiyas jadi sangat terbatas, sebaliknya karena muamalah maliyah
minim dalil dan dalil yang ada bersifat zhanni, maka metode dominan
uyang digunakan adalah qiyas.
Selain
menggunakan qiyas, Taj al-Din juga menggunakan maslahah al-mursalah,
istihsan, ‘urf sebagai hujjah, walaupun dengan persyaratan yang
ketat. Pada pelaksanaannya, prosedur ijtihad merujuk pada dialog antara Nabi
Saw dengan Mu’adz dengan mengemukakan riwayat lain yang dalam pandangannya
sanadnya lebih kuat. Khusus dalam penemuan hukum, ada dua tahapan utama yang
harus dilakukan yakni, pahami masalahnya dan tetapkan hukumnya. Dalam ilmu
mantik pemahaman permasalahan dan penentuan hukum dikenal dengan tashawur (konseptualisasi)[18] dan
tashdiq ( konfirmasi)[19]. Adapun
proses pengkoseptualisasian dilakukan dengan cara as-sabru wa taqsim[20]sedangkan
proses tashdiq dilakukan dengan
cara penentuan hukum yakni menemukan hukum serta validitas hubungan
hukum antara dalil dan faktanya atau sebaliknya secara runut, jika terdapat dalil yang kontradiktif maka dilakukan
tahapan berikut ; al-jam’u[21],
nasakh[22],
tarjih[23],
takhsish[24],
takhyir[25]
dan tasaquth.
Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa metode ijtihad muamalah pada dasarnya dilakukan
melalui dua tahapan besar. Pertama, “menemukan “ pengetauan komprehensif (mani’ dan jami’) tentang objek dimaksud
melalui upaya eksplorasi, penyaringan, dan eliminasi karkteristiknya, yag
dilanjutkan dengan merumuskan sebuah definisi (hadd) tentangnya. Sebagai
langkah lanjutan , yang jadi awal penting bagi tahapan berikutny, objek
tersebut perlu ditempatkan pada klasifikasi fikih yang telah ada.
Kedua,
setelah diketahui substansi dan posisinya dalam “bangunan” fikih, dilakukan
upaya penemuan hubungannya (konfirmasi) dengan dalil syara’. Mengikuti urutan
dalil (tartib al-adilah),otoritatif, proses itu lebih dulu ditujukan
kepada dalil-dalil qhat’i (al-Qur’an , sunnah mutawatir dan ijma yang qath’i ). Kalau tidak ditemukan
ketentuan hukumnya dalam dalil qath’i, maka dilakukan perujukan kepada
pendapat mujtahid terdahulu terkait
dengan objek tersebut.kalau masih tidak ditemukan, dilakukan upata istidlal
menggunakan metode al-istiqra juz’i terhadap kulli, istishab ma qila, istihsan,
dan qawl al-sahabat. Kalau
masih belum ditemukan jawabannya, upaya berikutnya (bisa juga sebagai arguent
penguat) adalah memakai kaidah-kaidah fikih sebagai ” dalil “.
Adapun
hubungannya dengan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana telah dibahas
diatas bahwa Indonesia sebuah negara yang memiliki beragam agama, budaya, etnis
serta memiliki kekayaan yang berlimpah. Selain itu Indonesia juga termasuk
negara yang sudah mengalami asam garamnya penjajahan. Datangnya penjajah baik
Portugis, Belanda maupun Jepang membawa pengaruh yang kuat terhadap keragaman
pola hidup dan pola pikir masyarakat Indonesia. Sistem hukum dan ekonomi yang
mereka bawa adalah sistem hukum Barat
Erofa Kontinental, sementara di Indonesia berlaku sistem hukum Adat dan hukum
Islam dimana sebuah sistem yang mengadung nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
kesusilaan, tradisi dan budaya yang tinggi
Masyarakat
Indonesia di saat kolonial datang sudah memiliki sistem hukum tersendiri,
sesuai dengan adat istiadat, agama dan budayanya masing-masing. Walau secara
perlahan kolonial mengisi ruang-ruang kemasyarakatan melalui jalur perdagangan,
pernikahan hingga mendominasi dan memecah belah kerajaan-kerajaan yang ada di
Indonesia. Mengingat pengaruh kolonial sangat kuat maka bahasan muamalah dalam
arti sempit disinggung dalam masalah perdata seperti yang terdapat dalam KUHP (
kitab Undang-Undang Hukum Perdata) atau dalam istilah hukum Belanda dikenal dengan Borgerlijk Wetbok atau
diartikan sebagai hukum sipil sebagai lawan kriminal atau pidana. Sementara
hukum perdata mengatur hak, harta benda, dan hubungan antara orang dan
orang dalam satu negara yang dalam KUHP
terdiri dari empat buku. Hukum perdata dalam
pengertian ini juga disebut hukum privat (privat law) dan hukum sipil (civil
law).
Perbedaan
muamalah dalam arti yang luas dengan hukum perdata dalam arti yang luas,
muamalah dalam arti yang luas mencakup semua hukum didunia (habl min an-nas)
hubungan sesama manusia dalam semua urusan, sedangkan hukum perdata dalam arti
yang luas meliputi semua hukum privat materil, yaitu semua hukum yang terdapat
dalam KUHP (Kitan Undang-Undang Hukum Perdata) atau Burgerlijk Wetbok
dan KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) atau Burgerlijk Van Kophandel, .
sedangkan hukum perdata dalam arti sempit bermakna hukum perseorangan “selain”
hukum dagang, seperti yang termuat dalam pasal 102 UUDS[26].
Namun dalam kecenderungan umum saat ini, tidak ada lagi pemisahan makna luas
dan sempit ini pada hukum perdata.
Dari
sisi hukum formil (al-murafa’at),
lazimnya tidak ada pemisahan dalam fikih ; seperti dalam bahasan jual beli ;
selalu diiringi dengan khiyar, konsekuensi dan cara penyelesaiannya.
Sementara makna hukum perdata dalam arti yangluas tidak mencakup makna muamalah
paling luas ( hanya mengenyampingkan ibadah). Tetapi hukum perdata dalam makna
luas bisa dikatakan sepadan dengan makna definitive muamalah yang luas dan
tentu saja lebih luas dari makna muamalah dalam arti yang sempit (aturan
tentang persoalan harta dalam rangka menjaga kelangsungan hidup), yang oleh Taj
al-Din disebut al-makasib, persinggungan ini dapat digambarkan , berikut
:
Disamping
BW, hukum perdata juga diatur secara terpisah . Dari 14 peraturan keperdataan
yang bersinggungan dengan muamalah hampir semuanya menyangkut lembaga keuangan
. kalau diklasifikasi , 11 peraturan tentang lembaga keuangan (perbankan,
koperasi, surat berharga dan pasar berjangka), 1 buah bentuk badan usaha (PT),
1 buah KHES berupa aturan untuk semua lembaga keuangan dan 1 perundangan penegasan Pengadilan Agama
sebagai lembaga yang berwewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Walaupun
Indonesia sebagai negara yang dominan
dipengaruhi sistem civil law, warisan Belanda, sstem hukum di Indonesia
pada dasarnya tidak mendukung perkembangan lembaga keuangan dengan karateristik
“unik”, seperti jual beli ( murabahah) dan penyertan modal (musyarakah
dan mudharabah). Dalam sistem
civil law, dan regulasi perbankan umumnya, bank komersial justru
dilarang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. hal itulah yang membuat
pembentukan dan pengembangan lembaga keuangan, termasuk LKS, sangat dipengaruhi
oleh peranan regulasi. Karena itu juga, pesat atau lambannya perkembangan LKS
selalu dapat di telusuri dari dukungan regulasi yang diperolehnya.
Menjadi
sebuah tantangan bagi terealisasinya fiqih muamalah dalam tataran
perundang-undangan selain menjadi sebuah peluang. Hal tersebut terbukti dengan
bergulirnya beberapa regulasi perundang-undangan hukum materil Islam yang sudah
menjadi hukum positif . salah satu dari empat belas peraturan tersebut bisa
dikatakan secara langsung mengadopsi substansi fikih muamalah. Hal itu jadi
bukti bahwa muamalah telah menjadi bagian dari sistem hukum di Indonesia.
Muamalah tidak lagi berada pada level budaya hukum, tapi sudah menjadi bagian
dari struktur dan substansi hukum[27]. Sebagai
budaya hukum muamalah sudah jadi sikap dan kesadaran hukum masyarakat (kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide, dan
harapan), sebagai struktur hukum muamalah sudah memiliki lembaga negara dan
organisasi penegaknya, sedang secara substantive, ia telah menjadi prinsip,
norma dan acuan masyarakat dan
pemerintah, telah ditungkan dalam perundangan resmi. Tiga hal ini bersifat
komplementer dan berhubungan secara fungsional untuk terwujudnya hukum
nasional.
C.
Kritik
Analisis
Kebanyakan
penelitian hukum Islam yang sekarang bukan dari hasil ijtihad namun baru pada
tahap pemahaman. Dalam rangka menggerakan kembali
tradisi ijtihad, pada pertengahan abad XIX
sebenarnya telah dilakukan upaya reformasi hukum Islam. Akan tetapi,
reformasi itu ternyata lebih menekankan pada aspek bagaimana menerapkan hukum
Islam yang sudah ada (hasil rumusan para fuqaha terdahulu) ke dalam
struktur masyrakat modern, bukan pada aspek
bagaimana menelurkan hukum Islam modern. Dengan kata lain masih dalam
tataran pemahaman secara ontologi belum pada aspek epistimologi dan aksiologi.
Terlihat dari follow up reformasi yang terjadi itu lebih menyentuh pada level cabang
atau ranting hukum Islam (baca: fiqh), bukan pada level pokok sehingga
menyentuh level yang lebih fundamental, yakni dasar-dasar teoritis hukum Islam
(Ushul al- fiqh). Ushul al-fiqh pada masa
klasik sangat terfokus perhatiannya pada upaya penafsiran literal al-Qur’an dan
Sunnah. Bahasa kedua sumber hukum ini diberikan interpretasi sedemikian
rupa agar memiliki efek literal dan langsung berhubungan dengan kasus-kasus
hukum. Alasan hukum (kausa efektif/ratio legis/’illah) dalam teks hanya
diketahui berdasarkan pernyataan eksplisit teks itu sendiri.
Pemikiran manusia
dipandang tidak akan mampu menentukan ratio legis yang ada dibalik
firman Tuhan. Al-Syatibi, walaupun popular sebagai tokoh yang menyuarakan
pemahanam induktif – bukan pemahaman literal deduktif – ternyata juga belum
bisa dikatakan lepas dari karakteristik pemikiran literal,[28] begitu pula halnya dengan
Najmuddin al-Tufi.[29] Dengan demikian,
paradigma ushul al-fiqh yang betul-betul baru belum pernah muncul sepanjang
sejarah ushul al-fiqh tradisional.
Akibatnya, hukum Islam tetap saja merupakan produk lama
yang dimodifikasi, bukan produk yang benar-benar baru. Ibarat sebuah mobil,
kita tidak pernah mendapatkan mobil baru yang memang dirancang secara baru
untuk kebutuhan medan yang baru. Kita hanya
mendapatkan mobil-mobil hasil modifikasi saja.[30]
Walaupun demikian umat Islam di Indonesia terus
melakukan upaya menuju adanya perubahan, upaya mengimplementasikan nilai-nilai substansial
agama Islam terutama regulasi mengenai
lembaga keuangan seiring dengan tuntutan perubahan zaman. Berbagai
perundang-undangan digulirkan demi untuk mencpai kemaslhatan umat mulai dari Undang-Undang
Perkawinan no 1 tahun 1974, Undang-Undang tentang Peradilan Agama No 7 tahun
1989 yang di rubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2006, Undang-Undang tentang
Wakaf Tunai Nomor 41 tahun 2004, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah tahun
2008, Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat tahun 2011.
Dari sekian regulasi yang digulirkan
pemerintah terlihat cenderung dominan ke arah pengembangan perekonomian Islam (muamalah),
yakni adanya adaptasi dan harmonisasi fiqih muamalah yang merupakan
hasil ijtihad masa kini, hal itu berarti proses ijtihad dikalangan ulama
Indonesia berjalan walaupun dengan metode dan cara yang sederhana.
Proses ijtihad yang diawali dengan banyaknya
fatwa dari para ulama melalui fatwa DSN-MUI
(Dewan Syariah Nasional) mengenai berbagai macam kasus ekonomi yang
ditinjau dari aspek hukum Islam. Pengakuan dan penempatan fatwa DSN-MUI sebagai
norma hukum mengikat, keudian diperkuat oleh peraturan perundangan yang lebih
tinggi.
Dengan
demikian tulisan ini yang mendasarkan pada teori hukum alam (Thomas Aquinas)
kemudian diperkuat dengan midle theori dan aplikasi theori ( qiyas ;
analogical reasoning) serta hierarkis perundang-perundangan di Indonesia maka nampak beriringannya pemikiran seorang tokoh
besar ushul fiqh al-Qadli abd al-Jabbar yang mengedepankan potensi akal manusia
untuk lebih mengoptimalkan fungsi akal dalam melakukan ijtihad.
Menurut Abd Jabbar manusia adalah makhluk yang
berakal dan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan karena hikmah dan
keadilan Allahlah mengharuskan mereka mengemukakan dalil yang tepat agar
kewajiban yang dibebankan kepadanya
menjadi sah. Ditegaskan bahwa kewajiban ‘aqliy atau pencarian dalil i’aqliy sebagai
suatu tanggung jawab langsung manusia yang
bersifat individual. Itu sebabnya maka Abd Jabbar menegaskan batalnya
semua pemikiran yang bertujuan menghapuskan atau meremehkan tanggung jawab
tersebut. dengan demikian , harus ad kegiatan berfikir untuk menemukan dalil
tentang adanya Tuhan yang merupakan kewajiban ‘aqliyat pertama bagi
manusia.
Itu sebabnya, maka ‘Abd Jabbar menegaskan
bahwa berfikir itu wajib hukumnya. Bahkan, ia merupakan kewajiban yang pertama
karena kewajiban akal mendahului kewajiban al-sam’iy, seseorang memang
harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan (ma’rifat
Allah) baru sesudah itu mengetahui
dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh-Nya berupa
hukum-hukum syara’. Kalaupun kemudian nash menetapkan kewajiban-kewajiban
itu, maka hal itu hanya merupakan penegasan atau konfirmasi.[31]
D.
Kesimpulan dan Temuan
1.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas
dapat disimpulkan antara lain :
1.
Ijtihad
Taj al-Din lebih menekankan penguasaan kandungan hukum umum yang ada dalam nash
dan kemudian menerapkannya dalam beberapa kasus khusus, adaptasi dari konsep iyas
Imam Syafi’i . namun Taj al-Din memperluas dan mengukuhkan validitas ilat mustanbathah,
tidak membatasai hanya pada ilat manshushah. Karena itu selain, nash
sharih, dan nash zhahir, Taj al-Di menawarkan delapan masalik illah utama
lainnya, diantaranya ; istishlah, istihsan, maqasidu al-syari’ah, istidlal (dalil
nafi’, penafian hukum karena ketiadaan dalil, istiqra’, syar’u man
qoblana dan lain-lain.
2.
Taj
al-Din dalam merekomendasikan ijtihad muamalah ada dua tahapan; pertama,
merumuskan pengetahuan komprehensif tentang objek dimaksud (tashawwur) melalui upaya ekplorasi, penyaringan dan
eliminasi krakteristik, perumusan definisinya, dan penentuan posisinya sesuai
klasifikasi fikih, secara deduktif dan terutama secara induktif. Kedua,
menemukan hubungannya (konfirmasi; tasdiq) dengan dalil syara’ sesuai tartib
al- adallah, yaitu : 1) perujukan kepada dalil-dalil qath’i. 2)
kalau tidak ditemukan, dirujuk ke pendapat mujtahid terdahulu tentangnya. 3)
kalau belum ditemukan , dilakukam Isitidlal . 4) kalau masih belum
ditemukan, upaya berikutnya (bisa juga sebagai argumen penguat) adalah memakai
kaidah-kaidah fikih sebagai dalil.
3.
Ijtihad
muamalah Taj al-Din diduga kuat memiliki relevansi-kontributif terhadap
peraturan perundang-undangan ekonomi syariah Indonesia, dengan alur relevansi;
Pertama, hampir semua perundangan ekonomi syariah, yang mensyaratkan penyertaan
prinsip syariah, ersumber dari fatwa DSN-MUI. Kedua, secara substantive metode
istimbath pada perumusan fatwa MUI dan DSN bisa dikatakan duplikasi dengan
modifikas sederhana dari ijtihad Taj al-Din. Ketiga, dari sisi sokongan
terhadap peratuan perundang-undangan Indonesia, secara tidak tidak langsung Taj
al-Din telah memberikan kontribusi teori terhadap dan bagi MUI dan DSN dalam
pilihan metodologis penetapan fatwa. Keempat, dari sisi konsistensi justru
ijtihad muamalah Taj al-Din lebih meyakinkan
jadi kerangka metodologis penguatan dan pelaksanaan prinsip syariah
serta pewujudan maqasidu sl-syari’ah.
2.
Temuan
Dalam penelitian desertasi ini
ditemukan beberapa hal, namun sebagai reviewer akan menguraikan dalam bentuk
narasi seperti berikut ini.
Taj-al-Din memiliki keluarga besar yang cukup berpengaruh karena keluasan dan
kedalaman ilmunya, terutama bagi kalangan intelektual Kairo dan Damaskus selama
enam generasi atau lebih. Salah satu karya terbesarnyanya adalah kitab Jam’u
al-Jawami’ sebuah ringkasan Ushul al- Fiqih namun sangat komprehensif dan
luas yang memiliki turunan dari kitab tersebut sebanyak 102 buah. Metode yang
digunakan oleh Taj-al-Din dalam penulisannya menggunakan metode gabungan (konvergensi atau al-jam’u dan
didominasi oleh muakalillimin.
Menurut Taj al-Din syarat seorang
untuk menjadi seorang mujtahid adalah haruslah seorang faqih, yang bisa berfikir mendalam, selain itu
seorang mujtahid adalah yang gigih dan kontinyu dalam menerapkan kaidah
berfikir dan metode yang jelas pada semua masalah dengan kapasitas kerumitan yang beragam.
Menurutnya saat ini telah berlalu masa mujtahid mutsaqil (mutlak) beralih kepada (mujtahid mazhab; muqayyad )
hingga ke level ketiga (mujtahid fatwa; mujtahid al-fitya), atas dasar
ketiganya maka Taj al-Din merekomendasikan denagn “menemukan “ pendapat
mujtahidterdahulu tentang masalah yang hendak ditetapkan hukumnya. Jika tidak
ditemukan pendapat mujtahid tersebut si mufty dapat menggali hukumnya secara langsung dari
dalil-dalil zhanni dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun yang digunakan Taj al-Din
untuk menggambarkan aktifitas muamalah berupa usaha mencari dan mengumpulkan harta adalah al-makasib, karena
al makasib sendiri memiliki akar historis yang lebih mapan untukjadi
klasifikasi fikih di bidang “aktifitas yang berkaitan dengan harta “, dibanding
muamalah. Dalam persoalan muamalah, khususnya ekonomi syariah, meski tdak
termasuk produk hukum yang diakui secara hierarkis (hukum tidak tertulis) fatwa
DSN bisa dikatakan “mendikte” hukum tertulis Indonesia. Hal itu terlihat pada
dan secara keseluruhan berawal dari, peraturan BI terkait perbankan dan prinsip
syariah yang hanya merujuk pada fatwa DSN-MUI yang difositifisasi lewat
Peraturan bank Indonesia. Secara tidak
langsung atau tidak pemerintah menerima
semua ketentuan hukum Islam yang
difatwakan DSN-MUI. Walaupun fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI pun tak pelak
mengandung bias kepentingan pelaku ekonomi dan terksan cenderung memihak hanya
kepada pemilik modal dibanding kepada
pelaku bisnis yang lemah secara ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Husni,
etodologi Ijtihad Muamalah dan Relevansinya dengan Perundang-undangan
Indonesia ( Studi Naskah Jam’u al-Jawami’ fi ushul al-Fiqh, Taj
al-Din as-Subki, 728-771 H ), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
2016.
Wael
B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997),
Muhyar
Fanani, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta:
Lkis, cet. I, 2010
J.J. H. Bruggink ; Refleksi Tentang Hukum, Judul Asli; Wat Zegt
Schollen Over Recht, Terj. Arief Sidarta, (Bandung; PT. Cita Adotya Bakti,
1999)
Muhammad Syahrur, Dirasah
Islamiyyah Mu‘asirah...,
Muhammad bin Mukrom Ibn Mandzhur
al-Afriqy al-Mishri, (w. 711 H) Lisan al-Arab, Beirut : Dar al-Shadr,
t.th, Juz 3, h. 133. Muhammad al-Hudlori Bek , Ushul al-Fiqh, (t.tp :
al-Makabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969)
Taj-al-Din ‘Abd al-Wahab bin ‘Ali
al-Subki, Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh , Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003)
[1] Husni, dalam
Desertasinya Metodologi Ijtihad Muamalah yang diambil dari kitab “Ushul
Fiqh: Tarikhuh wa Rijaluh”, karya Sya’ban Muhammad Ismail, (Riyadh; Dar
al-Marikh li al-Nasyr), 1981, h. 363.
[2] Adalah al-Imam al-Hafizh, ahli
sejarah Islam, Syamsuddin, Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin
Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi asy-Syafi’i ad-Dimasyqi, yang
terkenal dengan Adz-Dzahabi, dilahirkan pada Rabiul Akhir 673 H/1274 M
di sebuah desa bernama Kafarbatna di dataran padang hijau Damaskus, di tengah
sebuah keluarga yang berasal dari Turkmenistan, yang ikut secara kewalian
kepada kabilah Bani Tamim, dan mereka menetap di kota Mayyafarqin dari daerah
Bani Bakar yang paling terkenal
[3] Adalah Khalil
bin Aybak bin Abdillah al-Shafadi al-Syafi;i (696-764 H/ 1296-1363 M). seorang
imam, penyanyi sekaligus sastrawan kesamaannya di masanya. Ia menimba ilmu
fiqh, sastra dan hadis semenjak kecil. Diantara gurunya adalah ibn sayyid
Al-Ndj imam tajuddin al-subki mengatakan”al- shafadi telah menulis sekitar 600
buku. Saya sendiri bersahabat baik
dengannya sejak kecil
[4] Kitab ini
ditakhrij oleh ulama yang lebih senior darinya, Syams al-Din al-Hafizh Abi
Abdillah Ibn Sa’ad al-Shalih al-Maqdisi al-Hambali (703-795 H)
[5][5] Yusuf bin
Ilyan bin Musa Sirkis (w. 1351 H), Mu;jam al-Mathbu’ut al-‘Arabiah wa
al-Mu’rabiyah, (Mesir ; Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, t, th) Juz
I, h. 1004
[6] Muhammad bin
Mukrom Ibn Mandzhur al-Afriqy al-Mishri, (w. 711 H) Lisan al-Arab,
Beirut : Dar al-Shadr, t.th, Juz 3, h. 133. Muhammad al-Hudlori Bek , Ushul
al-Fiqh, (t.tp : al-Makabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969), Cet. Ke-9, 367.
[7] Taj-al-Din
‘Abd al-Wahab bin ‘Ali al-Subki, Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh , Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h.
118.
[8] Mereka adalah
mujtahid yang dapat berijtihad dan berfatwa secara mandiri (hampir) di semua
bidag hukum syara’ dan tidak ada yang membantah bahwa orang yang demikian sudah
todak ada lagi.
[9] Melakukan istimbath
al hukm baik dengan meng-qiyas-kan yang di diamkan imamnya dengan
yang telah ditetapkan hukumnya, karena adanya persamaan substansinya, atau
menetapkan bahwa yang didiamkan termasuk ke dalam cakupan keumuman pendapat, atau keumuman kaidah imamnya.
[10] Muhammad Fu’ad
Abd al-Baqi, Mu’zam al-Mufahros li Alfadzh al-Qur’an al-Karim, (Kairo;
Mathba’ah Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1364 H), h. 483-488.
[11] Akad musammah
yaitu akad yang disebutkan syara’ namanya, termasuk hukum terkait dengannya,
seperti bay’, ijarah, syirkah, hibah, wakalah dan sebagainya.
[12] ‘Ali Fikri, Muhammad
‘stman Syaibir al-muamalah al-maliyah al-mu’asirah di al fiqh al—islamy, Dar al-Nafais, 2007, Cet ke 6 hal. 12.
[13] Dia adalah
Thomas Aquinas (1225-7 March 1274),
Thomas of Aquino , Doctor Angelicus atau Doctor Communis, pendeta dan Filosof
Italia masa Scholastic. Dia merupakan pemikir natural theology klasik
berpengaruh dan pendiri paha Thomis. Ia memakai berbagai ide Aristotl dan
mensintesakannya dengan berbagai prinsip Kristen. Karya populernya adalah Summa
Theologica dan Summa Contra Gentiles.
Lihat ; Placid Conway, Saint Thomas Aquinas of The Order Of Preachers
(1225-1274), London ; Green and Longmans, CO. 1991), h, 1-20
[14]
Hukum disebut
berlaku secara empiris, faktual, efektif, atau keberlakuan sosiologis, jika
masyarakat mematuhinya
[15]
Hukum tersebut
berlaku secara normative, atau keberlakuan yuridis, jika ia merupakan bagian
dari system kaedah tertentu dan saling berkaitan dengan yang lain
[16].Keberlakuan
evaluatif atau keberlakuan evaluatif kefilsafatan, jika kaedah hukum itu
berdasakan isinya dipandang
bernilai.J.J. H. Bruggink ; Refleksi
Tentang Hukum, Judul Asli; Wat Zegt Schollen Over Recht, Terj. Arief Sidarta, (Bandung;
PT. Cita Adotya Bakti, 1999), h. 147-156.
[17]
Hans Kelsen adalah seorang pengacara publik
yang kemudian menjadi akademisi pada tahun 1918 jadi Assosiate professor
hukum pada University of Vienna dan pada tahun 1919 menjadi professor penuh hukum publik dan hukum internasional.
[18] Ilmu Tashawwur
(Conception ; idea) adalah pengetahuan hakekat objek secara mandiri; tanpa
menghubungkannya dengan objek lainnya.
[19] Tashdiq
( assertion, verification, proposition) adalah pengetahuan tentang benar
tidaknya huungan beberapa tashawwur. Artinya ia berkaitan dengan
hasilnya, ilmu tentang wujud atau tidaknya objek dimaksud.
[20] Suatu cara
pengelompokan data mulai dari mengeksplorasi, penyaringan, eliminasi,
pendefinisian hingga klasifikasi.
[21] Mengamalkan
dua dalil yang bertentangan, karena bertentangan diperlukan adanya
kombinasi dengan menghilangkan unsur
yang bertentangan tersebut.
[22] Penghapusan
salah satu dalil yang bertentangan jika diketahui salah satunya datang
belakangan, maka dihapus yang belakangan.
[23] Menguatkan
satu dari dua dalil.
[24] Pengkhusussan
salah satu dari dua dalil
[25] Pemilihan
salah satu dari dua dalil
[26]
Yang menitahkan adanya penbukuan (kodifikasi) hukum perdata dan hukum dagang.
[27][27]
[28]Wael B Hallaq,
A History of Islamic Legal Theories, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997), hlm. 207.
[29]Muhyar Fanani, Fiqh
Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Lkis, cet. I,
2010), hlm. 86.
[30]Muhammad Syahrur, Dirasah
Islamiyyah Mu‘asirah..., hlm. 34.
[31]
I Nurol Aen, Relevansi Konsep Al-Mushawwabat dengan Dasa Teologi Mu’tazilah
(tudi atas Pemikiran Al-Qadli ‘Abd al-Jabbar)SGD, UIN, Bandung, 1998, hal.
79-80
Komentar
Posting Komentar