Metodologi Ijtihad Muamalah



METODOLOGI  IJTIHAD  MUAMALAH             MENURUT  TAJ AL-DIN AL-SUBKI, (728-771 H) DAN RELEVANSINYA DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Naskah Jam’ al-Jawami fi Ushul al-Fiqh)

Oleh :
Solihah Sari Rahayu



A.    Pendahuluan
Hukum dalam al-Qur’an dikelompokan kedalam tiga bagian. Pertama, termasuk ke dalam dimensi aqidah, berkaitan dengan yang  harus diyakini oleh seorang mukallaf mengenai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari akhir, menjadi kajian ilmu ushuluddin. Kedua , termasuk ke dalam dimensi akhlak, berkaitan dengan nilai-nilai yang harus dimiliki dan yang harus dijauhi, menjadi kajian ilmu tasawuf. Ketiga, termasuk ke dalam dimensi hukum amali, aturan tentang perbuatan mukallaf dan menjadi kajian ilmu fiqh. Bagian ketiga inilah yang akan menjadi obyek usul fikih  (ushul al-fiqh).
Usul fikih dipahami sebagai metodologi untuk menggali hukum dari dalil-dalil  rinci yang sudah terbentuk sejak periode awal Islam. Usul fikh pada masa ini belum terkodifikasi, karena semua permasalahan masih dapat ditangani oleh Rasulullah SAW. walaupun dalam hal ini Rasulullah SAW. telah memberi contoh berijtihad kepada  para sahabat pada saat dihadapkan dengan permasalahan yang tidak tercantum dalam nash.
Sejak awal Islam kaidah-kaidah dalam berijtihad telah terbentuk, setidaknya kita mengenal metode mutakalimin,  fuqoha dan  mutaakhirin. Dari ketiga metode tersebut ulama mutakalimin cenderung berfikir deduktif dalam perumusan kaidah usulnya. Kaidah  yang  merupakan hasil dari penalaran terhadap dalil dan ta’lil, terepas dari furu’ fikih  atau fatwa imam madzhab. Para fuqoha cenderung berfikir induktif , suatu  kaidah yang dibangun dari hasil istiqra (induksi) dari berbagai furu’ dan fatwa imam madzhab yang mereka ikuti.
Fikih muamalah sebagai hukum amaliah yang memiliki wilayah kajian berijtihad yang paling luas, terutama muamalah dalam makna yang khusus yakni yang hanya berkaitan dengan persoalan harta dalam rangka menjaga kelangsungan hidup. Terlepas dari muamalah dalam arti yang luas metode yang digunakannya cenderung tidak mengalami perubahan , walaupun secara substansial usul fikih sendiri meniscayakan adanya perubahan, karena adanya pembaharuan fikih juga mengehendaki perubahan usul fikih. Gambaran wilayah kajian berijtihad  muamalah seperti berikut ini :

Ahwal al-Syakhshiyyah

Ibadah

Uqubah

Muamalah
 
















Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman agama, budaya, etnis yang berlimpah dapat disatukan dengan kesamaan dalam aspek finansial, terlebih fikih muamalah tidak terikat pada aspek akidah. Sehingga memudahkan  penerapan aturan fikih muamalah karena secara substansial aturan yang dikandungnya  dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Karena itu hukum ekonomi syariah  menjadi hukum positif serta menjadi bagian dari hierarkis perundang-undangan yang ada di Indonesia.

B.     Metodologi Ijtihad Muamalah dan Relevansinya dalam Perundang-Undangan menurut Taj al-Din
1.      Bioghrafi Taj al-Din al-Subki dan Karyanya
            Taj al-Din al-Subki memiliki nama dengan nasabnya yang lengkap adalah ‘Abd al-Wahab bin ‘Ali bin Abd al-Kafi bin ‘Ali bin Tamam bin Yusuf bin Musa bin Tamam bin Hamid bin Yahya bin ‘Umar bin ‘Usman bin ‘Ali bin Miswar bin Sawwar bin Sulaym al-Subki al-Khaaraji al-Anshari. Nama kecilnya ‘Abd Wahab, kunyah-nya Abu Nashar, laqab-nya Taj al-Din dan dinisbahkan ke Desa asal keluarganya, Subk, di utara Mesir, bagian dari provinsi al-Miufiyah[1]. Kelahirannya tidak diketahui dengan pasti tanggal dan bulannya, hanya saja beliau lahir bertepatan dengan  tahun meninggalnya Ibn Taymiyah sekitar 727 H atau 728 H di usia yang ke 43 tahun. Disaat Mesir dikuasai oleh dinasti Mamluk (Mamalik) Bahriyah (648-792 H /1250-1389 M).
Ayahnya, Taqi al-Din ‘Ali bin Abd al-Kafi, adalah penulis pemuka ulama Syafiiyah dimasanya. Ayahnya lahir di desa yang sama yakni    Subk, bulan Shafar 673 H, dan meninggal di Kairo Senin Jumadil Akhir 756 H. Dia menguasai fiqih, Usuhl, Hadits, hafizh, tafsir dan nahwu., keilmuannya yang luas menjadikan Beliau banyak dikagumi orang-orang, hal itu dibuktikan oleh para ulama terkemuka saat itu seperti Al-Dzahabi[2], AL- Shafadi[3] keunggulanya dalam berbagai ilmu mendekati para ahli di bidangnya masing-masing seperti  Ibnu ‘Athiyah dan al-Razi ( bidang tafsir), al-Dhani dan al-Sakhawi (bidang qira’at), al-Rafi;i (bidang mantik), serta bidang lainnya.  
Pendidikan Taj al-Din Subki tumbuh dalam keluarga yang cinta ilmu. Pepatah mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonya”, itulah yang pas untuk menggambarkan kondsi keilmuan Taj al-Din Subki.  Sejak kecil telah disiapkan ayahnya menjadi ulama mumpuni. Ayahnya adalah guru pertama dan utama yang memberikan bekal untuk menjadi fiqih, ushul, tafsir, hadits dan lainnya. guru-gurunya ia catat nama dan biografi mereka dalam Mu’jam al-Syuyukh[4]. Jumlah gurunya berdasar penomoran, 190 orang dan 20 orang darinya perempuan. Catatan penting dari deretan gurunya; Pertama , ia memeiliki guru lintas manzhab, bukan hanya Syafi’i yang ia dan keluarganya ikuti, namun juga mazhab yang lain yakni mazhab Hanafi dan Maliki. Kedua, keuntungannya sebagai anak yang lahir dalam keluarga ulama, ia menmbangun karir ilmiah sejak kecil. Ketiga; para perempuan menempati posisi terkemuka sebagai ahli hadits.   
Belum usia 20 tahun, ia diizinkan gurunya, Ibn al-Naqib untuk berfatwa. Ia di percaya menjadi mufti di lembaga Dar al-‘Adl meski belum memenuhi syarat mujtahid. Pengangkatannya meningkatkan rasa percaya dirinya, walau demikian tidak berlebihan dan ia tetap sadar bahwa ia belum mencapai tingat derajat mujtahid mutlak, karena ia yakin bahwa ayahnya jauh lebih baik darinya.
Disamping itu juga ia dipercaya menjadi pengganti (na’ib) qadli, ayahnya yang sakit, dan jadi hakim mandiri sejak bulan Jumadil Ula 756 H serta dipercay menjadi pimpinan Dar al-Hadits al-Asyrafiyah dan pimpinan Tawqi al-Dast tahun 754 H, mejadi khatib Jami’ al-Umawi. Beriringan dengan itu ia juga menjadi Qadli al-Qudhah  di Syam. Ia juga dikenal sebagai seorang yang sangat kritis termasuk gurunya sendiri di kritisi, karena sikap kritisnya ia pun dikritisi oleh al-Sakhlawi (salah seorang pendukug al-Dahabi) dengan dikatakan sebagai orang yang ta’asshub.
Sebelum meninggal, ia masih memberikan khutbah pada hari Jum’at dan hari Sabtu malam iajatuh sakit parah dan meninggal malam Selasa 7 Dzulhijjah tahun 771 H (2 Juli 1370 M) pada usia yang tergolong masih muda yaitu 43 tahun, jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarganya di Qasiyun. 
Taj al-Din meninggalkan berbagai tulisan, ada yang menyebut sampai 150 buah[5] karena beliau menguasai beragai bidang ilmu., ada yang sudah di –tahqiq dan dicetak ulang.  Salah satunya yang menjadi perhatian beliau adalah ilmu ushul fiqh  yang mendorong terlahirnya kitab  Jam’ Jawami’ (The Compilation of the Comprehensive) . Tidak ada informasi jelas kapan Taj al-Din mulai menulisnya, tapi ia menyebutkan bahwa kitab itu tuntas pada akhir malam 11 Dzulhijjah tahun 760 H di rumahnya, di perkampungan al-Muzzah dekat kota Damaskus. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa tulisan ini adalah karya keempat yang ditulis Taj al-Din dan jadi rujukan atau sandaran pendapatnya. Diantara karya unggulan Taj al-Din di bidang ushul al-fiqh antara lain :
a.       Jam’u al-Jawami’ fi Ushul al-fiqh
b.      Al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj
c.       Al-Ta’liqah fi ushul al-fiqh, syarh
d.      Al-Syarh al-Kabir
e.       Raf’ al-Hajib ‘an Mukhtashar Ibn al-Hajib
f.       Man’ al-mawani’an Jam’ al-Jawami’
g.      Ham’ al-Hawaami fi Man’ al-Mawani’
Dan banyak lagi karya beliau dalam berbagai bidang seperti  bidang Fiqih, Ushulu al-Din, Hadits dan ilmunya, Sejarah dan Thabaqat .         Dari karyanya yang mencakup di berbagai bidang tersebut menggambarkan keluasan ilmu beliau. Dan walaupun menguasai berbagai bidang, Taj al-Din memiliki perhatian khusus terhadap ushul fiqih dan mendorongnya lahirnya berbagai karya di bidang lain.  Khususnya melalui karya unggulannya kitab Jam’u al-Jawami’ yang mendapatkan apreasiasi yang luar biasa, ada yang memberikan penjelasan (syarh; commentary), menjelaskan penjelasan ( khasiyah; notes on commentary), menyusunnya dalam format sya’ir (al-nazhzham ; versification), memberikan pengukuhan (taqrir; justification), membuat catatan pinggir (ta’liq; annatition), meringkas (i ikhtisar; summarization) dan banyak lagi karya-karya inspirasi Jam’u al-Jawami’ tersebut.

2.      Defnisi dan Legitimasi Ijtihad
Makna kebahasaan ijtihad (al-Ijtihad) dapat ditemukan dalam berbagai literatur kamus bahasa Arab. Kata ijtihad memilki akar kata jahada, masdar-nya ada dua dengan arti yang berbeda. Pertama, al-juhd dengan arti kesanggupan atau kemampuan yag di dalamnya terandung makna sulit dan susah. Kedua, al-jahd dengan arti kesungguhan, sepenuh hati atau serius. Kata ijtihad semakna dengan kata tahajud, yaitu proses pengerahan seluruh kemampuan (badz al-wus’)dan obyek jahd itu sendiri (al-mahjud)[6]. Intinya ijtihad hanya digunakan utnuk upaya ang menguas tenaga atau pikiran dan, kalau perlu mengeluarkan biaya. Karenaya, ia tidak digunakan untuk pekerjaan yang ringan.
Secara terminologis, maksud ijtihad dalam bab ijtihad kitab jam’ al-jawami’ seperti berikut ini :

Ijtihad adalah optimalisasi kemampuan faqih (dalam memahami dalil) untuk menghasilkan fiqih[7]
Maksudnya adalah pengerahan kemampuan maksimal dalam menganalisa (al-nadhr) berbagai dalil, oleh karena itu tidak disebut ijtihad kalau secara dharuri satu atau beberapa dalil teah memberikan informasi pasti. Misalnya secara dharuri diketahui bahwa Allah itu Esa dari srat al-ikhlas (112), ayat 1, kalau dihubungkan dengan berbagai ayat lainnya. Dalam hal ini menurut pendapat penulis karena  ijtihad hanya pada ranah yang zhanni saja, sehingga jika telah ada dalil qhat’i walaupun satu ayat maka itu bukan ranah ijtihad.
            Orang yang melakukan ijtihad adalah mujtahid yakni orang yang menjalani dan mengikuti proses berfikir maksimal untuk menyelesaikan persoalann furu’. Taj al-Din menyebutnya dengan Faqih, dikarenakan seorang faqih itu sebagai salah satu syarat seorang rawi dan syarat seorang mujtahid. Sehingga untuk menjadi seorang mujtahid juga dia harus seorang faqih yang memahami agama (faqih), memiliki karakter pemikir serius, konsisten dan sistematis bukan berfikirnya pada saat dihadapkan pada masalah furu’  saja. lebih jelasnya seperti terlihat pada bagan berikut ini :

Syarat Fundamental :
Menguasai al-Qur’an, Sunnah, Bahasa, Ushul Fiqih, dan Ijma’
Syarat Pelengkap :
Mengetahui baroatul asliyah, , maqosidu syari’ah, qawa’id al-kuliyah, topik-topik khilaf, furu’ setempat, mantik, ‘adalah, mujtahid, wara’, hidup dengan cara yang baik dan benar, menjaga kehormatan,  dan berbagai syarat spesifik lainnya.

Mujtahid

Syarat Keahlian

Syarat Umum Taklif
Islam
Baligh
berakal
 





















Berdasar pemenuhan syarat (kapabilitas) ijthad, mujtahid terbagi menjadi tiga tingkatan : Pertama, mujtahid yang memenuhi (hampir) semua syarat diatas, lazim disebut mujtahid muthlaq[8]. Kedua, mujtahid al-madzhab (mujtahid muqayyad) adalah seseorang yang mampu menganalisa berbagai kemungkinan (takhrijal-wujuh)[9], dari pendapat imamnya. Ketiga, mujtahid fatwa (alfitya), mujtahid yang mendalami pendapat imamnya dan men-tarjih antara satu dengan pendapat lainnya. maksudnya ia hanya mampu membandingkan dan memilih pendapat terkuat imamnya atau pengikut imamnya. Klasifikasi diatas menggambarkan betapa ketatnya syarat untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi, berkonsekuensi kuantitatif, mujtahid yang lebih tinggi lebih sedikit dibanding mujtahid yang rendah. Namun pada setiap tingkatan selalu ada mujtahid yang relative menguasai banyak persoalan dan yang hanya menguasai persoalan spesifik karenanya tuntutan untuk melakukan ijtihad dapat dipenuhi
            Proses berijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid tidak dapat dipisahkan dari sumber hukumnya sebagai metode pendekatannya, seperti yang dilakukan oleh Taj al-Din, ia juga menyebut istidlal sebagai metode penemuan hukumnya. Adapun output ijtihad adalah fiqih atau hukum syara’ karena bersumber dari syara’, tumbuh dari syari’, Allah dan Rasul-Nya. Artinya fiqih merupakan ilmu yang bentuk penerapannya diperoleh semata dari syara’, bukan dari hukum itu sendiri. Sebab sesuatu yang qadim mustahil muncul dari yang baru.
            Dasar penggalian fiqih adalah dalil-dalil zhanni, baik berupa nash, ijma’ atau qiyas. Qiyas diyakini seluruhnya zhanni. Ijma walau mayoritas ulama menyebutnya sebagai qath’i, tapi periwayatannya tetap mnempatkannya sebagai zhanni.  Adapun kebenaran hasil ijtihad adalah kebeneran rasional dan kebenaran rasional adalah tunggal. Menurut al-Jahizh dan al-Anbari dengan hasil ijtihad-nya seorang mujtahid tidak berdosa, dan kalau ia muslim mendapat pahala. Pada masalah yang tidak ada dalil pasti menurut Abu Hasan al-‘Ash’ari , al-Qadli Abu Bakr al-Baqillani, Abu Yusuf, semua mujtahd berpahala. Menurut al-“Ash’ari dan al-Baqillani, “ hukum Allah mengikuti prasangka mujtahid, karena itu mujtahid berpahala karena ijtihadnya; bukan karena hukum yang ia tetapkan, berpahala pada prosesnya; bukan pada hasil akhirnya, kecuali kalau kesalahannya itu karena kemalasannya, disepakati ia berdosa.

3.      Definisi Muamalah
Kata muamalah  (al-muamalah) secara etimologi adalah masdar dari fi’il madhi ‘amala, mengikuti wazan faa’ala yufaa’ilu mufaa’alatan, (tsulasi mazid bab ke satu), yakni ‘aamala yu’aamilu mu’aamalatan mempunyi makna saling, berserikat dua atau banyak pihak (musyarakah) hingga berarti “interaksi dengan orang lain”. Adapun secara terminologi kata muamalah yang  mendekati dengan makna kebahasaan adalah segala aturan yang mengatur berkaitan dengan ibadah dan aktifitas lainnya, kemudian mengerucut pada ta’amul antara manusia. Dalam definisi ini tercakup makna yang luas semua aturan interaksi antar manusia, seperti aturan sosial, pidana, perdata, etika, dan estetika.
Dalam al-Qur’an kata amila dan turunannya terulang 359 kali[10], hampir semuanya bermakna bekerja, beramal, berbuat, dan yang semakna dengan itu sedangkan yang mengandung makna hubungan transaksional sesama manusia terdapat dalam lafadz tijarah (perniagaan). Dalam sunnah Rasulullah, kata amila dipraktekan oleh beliau dalam perjanjian kerjasama penggarapan tanah khaybar, oleh sebagian besar perawi hadits disebut muamalah, seperti dinukil al-Bukhari berikut :
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : عامل النبي صلي الله عليه وسلم خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر اوزرع ( رواه اليخاري)                                                                                          

“Dari Ibn Umar ra, katanya :” Nabi SAW melakukan kerja sama lahan Khaibar dengan cara bagi hasil, baik berupa buah-buahan atau tanaman (sayuran)”. (HR. Al-Bukhari).
            Istilah lain yang lebih menjurus kepada muamalah bermakna penghasilan dan pendapatan adalah al-makasib, istilah ini identik dengan ungkapan yang digunakan syara’ ( al-musammah)[11] baik spesifik atau tidak. Al-makasib mengindikasikan makna perbuatan sadar manusia di luar ibadah yang dapat berbuah pahala dan dosa.
Berikut ini Ali Fikri[12] memberikan definisi secara khusus lagi dalam kitabnya, bahwa :
علم ينتظم تبادل الاموال والمنافع بين الناس بواسطة العقود والالتزامات                               
Ilmu tentang tata cara pertukaran hara dan jasa antara sesama manusia dengan perantara transaksi atau janji.
Pada definisi diatas adanya penekanan terhadap pertukaran harta sebagai unsur utama muamalah, terlepas dari adanya akad  maupun janji. Dalam pertukaran harta tersebut lebih berorientasi pada kemaslahatan hidup di dunia, meraih manfaat dan kebahagiaan, serta terhindar dari mudharat dan kesusahan, jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam hal ini Taj al-Din mendefinisikan muamalah identik dengan al-makasib, yaitu (aturan) dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia , mencari dan mengumpulkan harta , khususnya dengan cara yang halal. Karena menurutnya dibanding muamalah , konsep al-makasib, justru memiliki akar historis yang lebih mapan sebagai klasifikasi fiqh  yang berkaitan dengan harta, juga pemenuhan maqasid al-syariah lebih jelas  dan spesifik. Pendapat Taj al-Din  sejalan pula dengan Ibn Abidin dan kalangan ulama kontemporer, walaupun dalam hal ini Taj membuat spesifikasi muamalah dengan istilah al-makasib.



4.      Teori Ijtihad dalam Muamalah menurut Tad al-Din dan Relevansinya dalam Perundang-undangan di Indonesia 
Teori hukum alam yang di bawa oleh Thomas Aquinas[13] mengilhami para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan segenap keyakinannya terhadap Tuhan yang Maha Esa, baik yang muslim maupun non Muslim. Masing –masing memberikan masukan terhadap keaneka ragaman pemikiran dalam mewujudkan sebuah bangsa yang berketuhanan dan bermasyarakat yang harmonis.
Doktrin hukum alam memiliki gagasan bahwa prinsip-prinsip hukum dan moral universal dapat disimpulkan dari alam- khususnya manusia. Baik di Barat terinspirasi dengan agama nasraninya, di Timur terinspirasi dengan agama Islamnya dan di Indonesia sebagian terinspirasi dari kepercayaan dan budayanya. Sehingga hukum yang terlaku akan selalu terpengaruh oleh ide-ide rumusan hukum alamnya.
Di BaratHukum Barat, hukum Islam, serta hukum Barat, merupakan system hukum yang berlaku, karena memang memenuhi syarat keberlakuan hukum, yaitu berlaku secara empiris[14], normative[15], dan evaluative.[16] Disamping tiga sistem hukum itu, dalam sistem hukum Indonesia berlaku hukum hasil legislative Indonesia (hukum positif). Gambaran hubungan empat sistem hukum terhadap sistem hukum nasional  (SHN) Indonesia seperti gambar berikut :




Hukum Islam
 






Hukum Adat

Hukum Barat

S H N

Hukum Positif
 










Kesemua sistem hukum yang terdapat dalam gambar diatas   membentuk sebuah sistem hukum nasional yang satu sama lain berlaku saling berdampingan dan saling mengisi dengan tetap terjaga esensialitas dan substansialitasnya nilai-nilai sebagai wujud  idiologi suatu bangsa.
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sepantasnya sistem hukum Islam mendominasi hukum positif terutama dalam hal muamalah (ekonomi Islam) terlebih fikih muamalah tidak terikat pada aspek akidah. Sehingga memudahkan  penerapan aturan fikih muamalah, karena secara substansial aturan yang dikandungnya  dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam membuat perundang-undangannya dapat mengadaptasi sumber hukum Islam melalui al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Ijtihad (Qiyas ) serta metode lainnya sebagai pengembangan dari pola ijtihad dengan hierarki hukum di Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah serta Peraturan Daerah (aturan Otonom). Karena menurut Hans Kelsen[17] bahwa norma hukum itu berjenjang, berlapis dalam suatu hierarkis; norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada norma tertinggi yang bersifat hipothesis dan fiktif yaitu norma dasar ( basic norm).  Demikian norma dan nilai yang terdapat dalam muamalah, dari mulai kebutuhan yang tertinggi hingga kebutuhan yang sangat mendasar terdapat nilai-nilai sebagai benang merah yang dapat dijadikan aturan sehingga dapat melindungi semua pihak tanpa memihak golongan tertentu.
Kebanyakan muamalah sangat terkait dengan hak hamba dan kemaslahatan dunia, ia dapat ditetapkan dengan akal; akal dapat menentukan baik (sesuai dengan tabiat atau indah) dan buruk ( tidak sesuai dengan tabiat atau jelek). Karenanya muamalah banyak bersifat ma’qul ma’na yakni hukum-hukum yang maknanya dapat dirasionalisasi untuk meraih kemaslahatan atau menolak kemadharatan. Dengan demikian wilayah kajian muamalah adalah seluruh bidang muamalah, berbeda dengan bidang lainnya yang hanya sebagian saja.
Muamalah termasuk kedalam persoalan dunia (al-umuru al-dunyawiyah), dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas  sebagai hujjahnya. Urusan dunia yang dimaksud Taj al-Din adalah hal-hal yang tidak terkait dengan i’tikad dan kenabian.sebab keduanya merupakan landasan agama; kesalahan pada keduanya berdampak kafir dan sesat.  Untuk itu, pada dua hal ini dalilnya harus qhat’i. Bahkan tidak bisa dengann khabar wahid, karena zhann yang dihasilkan khabar wahid sama sekali tidak bisa mengubah sesuatu yang tidak maslahat menjadi maslahat. Sementara untuk fatwa dan urusan duniawi, khabar  wahid dapat diterima, berdasarkan ijma’.
Karena dalil i’tikad harus qhat’i, maka larangan qiyas hanya masalah i’tikad saja. qiyas jadi dalil semua hukum hukum syara’ secara mutlak. Dalam masalah hudud, para sahabat menetapkan hadd minuman khamar 80 kali dera berdasar qiyas. Taj al-Din menegaskan bahwa qiyas dapat dilakukan antara satu ibadah dengan ibadah lain dan antara fardu dengan yang sunat atau sebaliknya. Sebab tidak disyaratkan antara ashl dan far harus sama dalam segala hal; tidak ada dua hal yang persis sama. Syaratnya hanyalah ada persamaan ilat hukum, dan tidak masalah kalau berbeda dalam masalah lainnya. hanya saja , persoalan ibadah mahdlah dominan diatur dalil qhat’i maka penggunaan qiyas jadi sangat terbatas, sebaliknya karena muamalah maliyah minim dalil dan dalil yang ada bersifat zhanni, maka metode dominan uyang digunakan adalah qiyas.
Selain menggunakan qiyas, Taj al-Din juga menggunakan maslahah al-mursalah, istihsan, ‘urf sebagai hujjah, walaupun dengan persyaratan yang ketat. Pada pelaksanaannya, prosedur ijtihad merujuk pada dialog antara Nabi Saw dengan Mu’adz dengan mengemukakan riwayat lain yang dalam pandangannya sanadnya lebih kuat. Khusus dalam penemuan hukum, ada dua tahapan utama yang harus dilakukan yakni, pahami masalahnya dan tetapkan hukumnya. Dalam ilmu mantik pemahaman permasalahan dan penentuan hukum dikenal dengan tashawur (konseptualisasi)[18] dan tashdiq ( konfirmasi)[19]. Adapun proses pengkoseptualisasian dilakukan dengan cara as-sabru wa taqsim[20]sedangkan proses tashdiq dilakukan dengan  cara penentuan hukum yakni menemukan hukum serta validitas hubungan hukum  antara dalil dan faktanya  atau sebaliknya secara  runut, jika terdapat  dalil yang kontradiktif maka dilakukan tahapan berikut ; al-jam’u[21], nasakh[22], tarjih[23], takhsish[24], takhyir[25] dan tasaquth.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metode ijtihad muamalah pada dasarnya dilakukan melalui dua tahapan besar. Pertama, “menemukan “  pengetauan komprehensif (mani’  dan jami’) tentang objek dimaksud melalui upaya eksplorasi, penyaringan, dan eliminasi karkteristiknya, yag dilanjutkan dengan merumuskan sebuah definisi (hadd) tentangnya. Sebagai langkah lanjutan , yang jadi awal penting bagi tahapan berikutny, objek tersebut perlu ditempatkan pada klasifikasi fikih  yang telah ada.
Kedua, setelah diketahui substansi dan posisinya dalam “bangunan” fikih, dilakukan upaya penemuan hubungannya (konfirmasi) dengan dalil syara’. Mengikuti urutan dalil (tartib al-adilah),otoritatif, proses itu lebih dulu ditujukan kepada dalil-dalil qhat’i (al-Qur’an , sunnah mutawatir  dan ijma  yang qath’i ). Kalau tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam dalil qath’i, maka dilakukan perujukan kepada pendapat mujtahid terdahulu terkait  dengan objek tersebut.kalau masih tidak ditemukan, dilakukan upata istidlal menggunakan metode al-istiqra juz’i  terhadap kulli, istishab ma qila, istihsan, dan  qawl al-sahabat. Kalau masih belum ditemukan jawabannya, upaya berikutnya (bisa juga sebagai arguent penguat) adalah memakai kaidah-kaidah fikih sebagai ” dalil “.
Adapun hubungannya dengan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana telah dibahas diatas bahwa Indonesia sebuah negara yang memiliki beragam agama, budaya, etnis serta memiliki kekayaan yang berlimpah. Selain itu Indonesia juga termasuk negara yang sudah mengalami asam garamnya penjajahan. Datangnya penjajah baik Portugis, Belanda maupun Jepang membawa pengaruh yang kuat terhadap keragaman pola hidup dan pola pikir masyarakat Indonesia. Sistem hukum dan ekonomi yang mereka bawa  adalah sistem hukum Barat Erofa Kontinental, sementara di Indonesia berlaku sistem hukum Adat dan hukum Islam dimana sebuah sistem yang mengadung nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kesusilaan, tradisi dan budaya yang tinggi
Masyarakat Indonesia di saat kolonial datang sudah memiliki sistem hukum tersendiri, sesuai dengan adat istiadat, agama dan budayanya masing-masing. Walau secara perlahan kolonial mengisi ruang-ruang kemasyarakatan melalui jalur perdagangan, pernikahan hingga mendominasi dan memecah belah kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Mengingat pengaruh kolonial sangat kuat maka bahasan muamalah dalam arti sempit disinggung dalam masalah perdata seperti yang terdapat dalam KUHP ( kitab Undang-Undang Hukum Perdata) atau dalam istilah hukum Belanda  dikenal dengan Borgerlijk Wetbok atau diartikan sebagai hukum sipil sebagai lawan kriminal atau pidana. Sementara hukum perdata mengatur hak, harta benda, dan hubungan antara orang dan orang  dalam satu negara yang dalam KUHP terdiri dari empat buku.  Hukum perdata dalam pengertian ini juga disebut hukum privat (privat law) dan hukum sipil (civil law).
Perbedaan muamalah dalam arti yang luas dengan hukum perdata dalam arti yang luas, muamalah dalam arti yang luas mencakup semua hukum didunia (habl min an-nas) hubungan sesama manusia dalam semua urusan, sedangkan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materil, yaitu semua hukum yang terdapat dalam KUHP (Kitan Undang-Undang Hukum Perdata) atau Burgerlijk Wetbok dan KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) atau Burgerlijk Van Kophandel, . sedangkan hukum perdata dalam arti sempit bermakna hukum perseorangan “selain” hukum dagang, seperti yang termuat dalam pasal 102 UUDS[26]. Namun dalam kecenderungan umum saat ini, tidak ada lagi pemisahan makna luas dan sempit ini pada hukum perdata.
Dari sisi hukum formil  (al-murafa’at), lazimnya tidak ada pemisahan dalam fikih ; seperti dalam bahasan jual beli ; selalu diiringi dengan khiyar, konsekuensi dan cara penyelesaiannya. Sementara makna hukum perdata dalam arti yangluas tidak mencakup makna muamalah paling luas ( hanya mengenyampingkan ibadah). Tetapi hukum perdata dalam makna luas bisa dikatakan sepadan dengan makna definitive muamalah yang luas dan tentu saja lebih luas dari makna muamalah dalam arti yang sempit (aturan tentang persoalan harta dalam rangka menjaga kelangsungan hidup), yang oleh Taj al-Din disebut al-makasib, persinggungan ini dapat digambarkan , berikut :


Disamping BW, hukum perdata juga diatur secara terpisah . Dari 14 peraturan keperdataan yang bersinggungan dengan muamalah hampir semuanya menyangkut lembaga keuangan . kalau diklasifikasi , 11 peraturan tentang lembaga keuangan (perbankan, koperasi, surat berharga dan pasar berjangka), 1 buah bentuk badan usaha (PT), 1 buah KHES berupa aturan untuk semua lembaga keuangan  dan 1 perundangan penegasan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Walaupun Indonesia sebagai  negara yang dominan dipengaruhi sistem civil law, warisan Belanda, sstem hukum di Indonesia pada dasarnya tidak mendukung perkembangan lembaga keuangan dengan karateristik “unik”, seperti jual beli ( murabahah) dan penyertan modal (musyarakah dan  mudharabah). Dalam sistem civil law, dan regulasi perbankan umumnya, bank komersial justru dilarang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. hal itulah yang membuat pembentukan dan pengembangan lembaga keuangan, termasuk LKS, sangat dipengaruhi oleh peranan regulasi. Karena itu juga, pesat atau lambannya perkembangan LKS selalu dapat di telusuri dari dukungan regulasi yang diperolehnya.
Menjadi sebuah tantangan bagi terealisasinya fiqih muamalah dalam tataran perundang-undangan selain menjadi sebuah peluang. Hal tersebut terbukti dengan bergulirnya beberapa regulasi perundang-undangan hukum materil Islam yang sudah menjadi hukum positif . salah satu dari empat belas peraturan tersebut bisa dikatakan secara langsung mengadopsi substansi fikih muamalah. Hal itu jadi bukti bahwa muamalah telah menjadi bagian dari sistem hukum di Indonesia. Muamalah tidak lagi berada pada level budaya hukum, tapi sudah menjadi bagian dari struktur dan substansi hukum[27]. Sebagai budaya hukum muamalah sudah jadi sikap dan kesadaran hukum masyarakat  (kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide, dan harapan), sebagai struktur hukum muamalah sudah memiliki lembaga negara dan organisasi penegaknya, sedang secara substantive, ia telah menjadi prinsip, norma dan acuan masyarakat  dan pemerintah, telah ditungkan dalam perundangan resmi. Tiga hal ini bersifat komplementer dan berhubungan secara fungsional untuk terwujudnya hukum nasional.

C.     Kritik Analisis
Kebanyakan penelitian hukum Islam yang sekarang bukan dari hasil ijtihad namun baru pada tahap pemahaman. Dalam rangka menggerakan kembali tradisi ijtihad, pada pertengahan abad XIX sebenarnya telah dilakukan upaya reformasi hukum Islam. Akan tetapi, reformasi itu ternyata lebih menekankan pada aspek bagaimana menerapkan hukum Islam yang sudah ada (hasil rumusan para fuqaha terdahulu) ke dalam struktur masyrakat modern, bukan pada aspek bagaimana menelurkan hukum Islam modern. Dengan kata lain masih dalam tataran pemahaman secara ontologi belum pada aspek epistimologi dan aksiologi. Terlihat dari  follow up reformasi yang terjadi itu lebih menyentuh pada level cabang atau ranting hukum Islam (baca: fiqh), bukan pada level pokok sehingga menyentuh level yang lebih fundamental, yakni dasar-dasar teoritis hukum Islam (Ushul al- fiqh). Ushul al-fiqh pada masa klasik sangat terfokus perhatiannya pada upaya penafsiran literal al-Qur’an dan Sunnah. Bahasa kedua sumber hukum ini diberikan interpretasi sedemikian rupa agar memiliki efek literal dan langsung berhubungan dengan kasus-kasus hukum. Alasan hukum (kausa efektif/ratio legis/’illah) dalam teks hanya diketahui berdasarkan pernyataan eksplisit teks itu sendiri.
Pemikiran manusia dipandang tidak akan mampu menentukan ratio legis yang ada dibalik firman Tuhan. Al-Syatibi, walaupun popular sebagai tokoh yang menyuarakan pemahanam induktif – bukan pemahaman literal deduktif – ternyata juga belum bisa dikatakan lepas dari karakteristik pemikiran literal,[28] begitu pula halnya dengan Najmuddin al-Tufi.[29] Dengan demikian, paradigma ushul al-fiqh yang betul-betul baru belum pernah muncul sepanjang sejarah ushul al-fiqh tradisional.
Akibatnya, hukum Islam tetap saja merupakan produk lama yang dimodifikasi, bukan produk yang benar-benar baru. Ibarat sebuah mobil, kita tidak pernah mendapatkan mobil baru yang memang dirancang secara baru untuk kebutuhan medan yang baru. Kita hanya mendapatkan mobil-mobil hasil modifikasi saja.[30]  
Walaupun demikian umat Islam di Indonesia terus melakukan upaya menuju adanya perubahan, upaya mengimplementasikan nilai-nilai substansial agama Islam terutama regulasi  mengenai lembaga keuangan seiring dengan tuntutan perubahan zaman. Berbagai perundang-undangan digulirkan demi untuk mencpai kemaslhatan umat mulai dari Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974, Undang-Undang tentang Peradilan Agama No 7 tahun 1989 yang di rubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2006, Undang-Undang tentang Wakaf Tunai Nomor 41 tahun 2004, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah tahun 2008, Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat tahun 2011.
Dari sekian regulasi yang digulirkan pemerintah terlihat cenderung dominan ke arah pengembangan perekonomian Islam (muamalah), yakni adanya adaptasi dan harmonisasi fiqih muamalah yang merupakan hasil ijtihad masa kini, hal itu berarti proses ijtihad dikalangan ulama Indonesia berjalan walaupun dengan metode dan cara yang sederhana.
Proses ijtihad yang diawali dengan banyaknya fatwa dari para ulama melalui fatwa DSN-MUI  (Dewan Syariah Nasional) mengenai berbagai macam kasus ekonomi yang ditinjau dari aspek hukum Islam. Pengakuan dan penempatan fatwa DSN-MUI sebagai norma hukum mengikat, keudian diperkuat oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi.  
            Dengan demikian tulisan ini yang mendasarkan pada teori hukum alam (Thomas Aquinas) kemudian diperkuat dengan midle theori dan aplikasi theori ( qiyas ; analogical reasoning) serta hierarkis perundang-perundangan di Indonesia  maka nampak beriringannya pemikiran seorang tokoh besar ushul fiqh al-Qadli abd al-Jabbar yang mengedepankan potensi akal manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi akal dalam melakukan ijtihad.
Menurut Abd Jabbar manusia adalah makhluk yang berakal dan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan karena hikmah dan keadilan Allahlah mengharuskan mereka mengemukakan dalil yang tepat agar kewajiban  yang dibebankan kepadanya menjadi sah. Ditegaskan bahwa kewajiban ‘aqliy  atau pencarian dalil i’aqliy sebagai suatu tanggung jawab langsung manusia yang  bersifat individual. Itu sebabnya maka Abd Jabbar menegaskan batalnya semua pemikiran yang bertujuan menghapuskan atau meremehkan tanggung jawab tersebut. dengan demikian , harus ad kegiatan berfikir untuk menemukan dalil tentang adanya Tuhan yang merupakan kewajiban ‘aqliyat pertama bagi manusia.
Itu sebabnya, maka ‘Abd Jabbar menegaskan bahwa berfikir itu wajib hukumnya. Bahkan, ia merupakan kewajiban yang pertama karena kewajiban akal mendahului kewajiban al-sam’iy, seseorang memang harus terlebih dahulu  mengetahui Tuhan (ma’rifat Allah) baru sesudah itu mengetahui  dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh-Nya berupa hukum-hukum syara’. Kalaupun kemudian nash menetapkan kewajiban-kewajiban itu, maka hal itu hanya merupakan penegasan atau konfirmasi.[31]
D.    Kesimpulan dan Temuan
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan  diatas dapat disimpulkan antara lain :
1.      Ijtihad Taj al-Din lebih menekankan penguasaan kandungan hukum umum yang ada dalam nash dan kemudian menerapkannya dalam beberapa kasus khusus, adaptasi dari konsep iyas Imam Syafi’i . namun Taj al-Din memperluas dan mengukuhkan validitas ilat mustanbathah, tidak membatasai hanya pada ilat manshushah. Karena itu selain, nash sharih, dan nash zhahir, Taj al-Di menawarkan delapan masalik illah utama lainnya, diantaranya ; istishlah, istihsan, maqasidu al-syari’ah, istidlal (dalil nafi’, penafian hukum karena ketiadaan dalil, istiqra’, syar’u man qoblana dan lain-lain.
2.      Taj al-Din dalam merekomendasikan ijtihad muamalah ada dua tahapan; pertama, merumuskan pengetahuan komprehensif tentang objek dimaksud (tashawwur)  melalui upaya ekplorasi, penyaringan dan eliminasi krakteristik, perumusan definisinya, dan penentuan posisinya sesuai klasifikasi fikih, secara deduktif dan terutama secara induktif. Kedua, menemukan hubungannya (konfirmasi; tasdiq) dengan dalil syara’ sesuai tartib al- adallah, yaitu : 1) perujukan kepada dalil-dalil qath’i. 2) kalau tidak ditemukan, dirujuk ke pendapat mujtahid terdahulu tentangnya. 3) kalau belum ditemukan , dilakukam Isitidlal . 4) kalau masih belum ditemukan, upaya berikutnya (bisa juga sebagai argumen penguat) adalah memakai kaidah-kaidah fikih sebagai dalil.
3.      Ijtihad muamalah Taj al-Din diduga kuat memiliki relevansi-kontributif terhadap peraturan perundang-undangan ekonomi syariah Indonesia, dengan alur relevansi; Pertama, hampir semua perundangan ekonomi syariah, yang mensyaratkan penyertaan prinsip syariah, ersumber dari fatwa DSN-MUI. Kedua, secara substantive metode istimbath pada perumusan fatwa MUI dan DSN bisa dikatakan duplikasi dengan modifikas sederhana dari ijtihad Taj al-Din. Ketiga, dari sisi sokongan terhadap peratuan perundang-undangan Indonesia, secara tidak tidak langsung Taj al-Din telah memberikan kontribusi teori terhadap dan bagi MUI dan DSN dalam pilihan metodologis penetapan fatwa. Keempat, dari sisi konsistensi justru ijtihad muamalah Taj al-Din lebih meyakinkan  jadi kerangka metodologis penguatan dan pelaksanaan prinsip syariah serta pewujudan maqasidu sl-syari’ah.
2.      Temuan
Dalam penelitian desertasi ini ditemukan beberapa hal, namun sebagai reviewer akan menguraikan dalam bentuk narasi seperti berikut ini.
Taj-al-Din memiliki keluarga besar  yang cukup berpengaruh karena keluasan dan kedalaman ilmunya, terutama bagi kalangan intelektual Kairo dan Damaskus selama enam generasi atau lebih. Salah satu karya terbesarnyanya adalah kitab Jam’u al-Jawami’ sebuah ringkasan Ushul al- Fiqih namun sangat komprehensif dan luas yang memiliki turunan dari kitab tersebut sebanyak 102 buah. Metode yang digunakan oleh Taj-al-Din dalam penulisannya menggunakan  metode  gabungan (konvergensi atau al-jam’u dan didominasi oleh muakalillimin.
Menurut Taj al-Din syarat seorang untuk menjadi seorang mujtahid adalah haruslah seorang faqih,  yang bisa berfikir mendalam, selain itu seorang mujtahid adalah yang gigih dan kontinyu dalam menerapkan kaidah berfikir dan metode yang jelas pada semua masalah  dengan kapasitas kerumitan yang beragam. Menurutnya saat ini telah berlalu masa mujtahid mutsaqil (mutlak)  beralih kepada (mujtahid mazhab; muqayyad ) hingga ke level ketiga (mujtahid fatwa; mujtahid al-fitya), atas dasar ketiganya maka Taj al-Din merekomendasikan denagn “menemukan “ pendapat mujtahidterdahulu tentang masalah yang hendak ditetapkan hukumnya. Jika tidak ditemukan pendapat mujtahid tersebut si mufty dapat  menggali hukumnya secara langsung dari dalil-dalil zhanni dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun yang digunakan Taj al-Din untuk menggambarkan aktifitas muamalah berupa usaha mencari  dan mengumpulkan harta adalah al-makasib, karena al makasib sendiri memiliki akar historis yang lebih mapan untukjadi klasifikasi fikih di bidang “aktifitas yang berkaitan dengan harta “, dibanding muamalah. Dalam persoalan muamalah, khususnya ekonomi syariah, meski tdak termasuk produk hukum yang diakui secara hierarkis (hukum tidak tertulis) fatwa DSN bisa dikatakan “mendikte” hukum tertulis Indonesia. Hal itu terlihat pada dan secara keseluruhan berawal dari, peraturan BI terkait perbankan dan prinsip syariah yang hanya merujuk pada fatwa DSN-MUI yang difositifisasi lewat Peraturan bank Indonesia.  Secara tidak langsung atau tidak pemerintah menerima  semua ketentuan hukum Islam  yang difatwakan DSN-MUI. Walaupun fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI pun tak pelak mengandung bias kepentingan pelaku ekonomi dan terksan cenderung memihak hanya kepada pemilik modal  dibanding kepada pelaku bisnis yang lemah secara ekonomi.


















DAFTAR PUSTAKA

Husni, etodologi Ijtihad Muamalah dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Indonesia ( Studi Naskah Jam’u al-Jawami’ fi ushul al-Fiqh, Taj al-Din as-Subki, 728-771 H ), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2016.
Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),     
Muhyar Fanani, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Lkis, cet. I, 2010
J.J. H. Bruggink ;  Refleksi Tentang Hukum, Judul Asli; Wat Zegt Schollen Over Recht, Terj. Arief Sidarta, (Bandung; PT. Cita Adotya Bakti, 1999)
Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah Mu‘asirah...,
Muhammad bin Mukrom Ibn Mandzhur al-Afriqy al-Mishri, (w. 711 H) Lisan al-Arab, Beirut : Dar al-Shadr, t.th, Juz 3, h. 133. Muhammad al-Hudlori Bek , Ushul al-Fiqh, (t.tp : al-Makabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969)
Taj-al-Din ‘Abd al-Wahab bin ‘Ali al-Subki, Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh ,  Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003)





[1] Husni, dalam Desertasinya Metodologi Ijtihad Muamalah yang diambil dari kitab “Ushul Fiqh: Tarikhuh wa Rijaluh”, karya Sya’ban Muhammad Ismail, (Riyadh; Dar al-Marikh li al-Nasyr), 1981, h. 363.
[2] Adalah al-Imam al-Hafizh, ahli sejarah Islam, Syamsuddin, Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi asy-Syafi’i ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan Adz-Dzahabi, dilahirkan pada Rabiul Akhir 673 H/1274 M di sebuah desa bernama Kafarbatna di dataran padang hijau Damaskus, di tengah sebuah keluarga yang berasal dari Turkmenistan, yang ikut secara kewalian kepada kabilah Bani Tamim, dan mereka menetap di kota Mayyafarqin dari daerah Bani Bakar yang paling terkenal
[3] Adalah Khalil bin Aybak bin Abdillah al-Shafadi al-Syafi;i (696-764 H/ 1296-1363 M). seorang imam, penyanyi sekaligus sastrawan kesamaannya di masanya. Ia menimba ilmu fiqh, sastra dan hadis semenjak kecil. Diantara gurunya adalah ibn sayyid Al-Ndj imam tajuddin al-subki mengatakan”al- shafadi telah menulis sekitar 600 buku.  Saya sendiri bersahabat baik dengannya sejak kecil
[4] Kitab ini ditakhrij oleh ulama yang lebih senior darinya, Syams al-Din al-Hafizh Abi Abdillah Ibn Sa’ad al-Shalih al-Maqdisi al-Hambali (703-795 H)
[5][5] Yusuf bin Ilyan bin Musa Sirkis (w. 1351 H), Mu;jam al-Mathbu’ut al-‘Arabiah wa al-Mu’rabiyah, (Mesir ; Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, t, th) Juz I, h. 1004
[6] Muhammad bin Mukrom Ibn Mandzhur al-Afriqy al-Mishri, (w. 711 H) Lisan al-Arab, Beirut : Dar al-Shadr, t.th, Juz 3, h. 133. Muhammad al-Hudlori Bek , Ushul al-Fiqh, (t.tp : al-Makabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969), Cet. Ke-9, 367.
[7] Taj-al-Din ‘Abd al-Wahab bin ‘Ali al-Subki, Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh ,  Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 118.
[8] Mereka adalah mujtahid yang dapat berijtihad dan berfatwa secara mandiri (hampir) di semua bidag hukum syara’ dan tidak ada yang membantah bahwa orang yang demikian sudah todak ada lagi.
[9] Melakukan istimbath al hukm baik dengan meng-qiyas-kan yang di diamkan imamnya dengan yang telah ditetapkan hukumnya, karena adanya persamaan substansinya, atau menetapkan bahwa yang didiamkan termasuk ke dalam cakupan  keumuman pendapat, atau keumuman kaidah  imamnya.
[10] Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu’zam al-Mufahros li Alfadzh al-Qur’an al-Karim, (Kairo; Mathba’ah Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1364 H), h. 483-488.
[11] Akad musammah yaitu akad yang disebutkan syara’ namanya, termasuk hukum terkait dengannya, seperti bay’, ijarah, syirkah, hibah, wakalah dan sebagainya.
[12] ‘Ali Fikri, Muhammad ‘stman Syaibir al-muamalah al-maliyah al-mu’asirah di al fiqh al—islamy,  Dar al-Nafais, 2007, Cet ke 6 hal. 12.
[13] Dia adalah Thomas Aquinas (1225-7  March 1274), Thomas of Aquino , Doctor Angelicus atau Doctor Communis, pendeta dan Filosof Italia masa Scholastic. Dia merupakan pemikir natural theology klasik berpengaruh dan pendiri paha Thomis. Ia memakai berbagai ide Aristotl dan mensintesakannya dengan berbagai prinsip Kristen. Karya populernya adalah Summa Theologica  dan Summa Contra Gentiles. Lihat ; Placid Conway, Saint Thomas Aquinas of The Order Of Preachers (1225-1274), London ; Green and Longmans, CO. 1991), h, 1-20
[14] Hukum disebut berlaku secara empiris, faktual, efektif, atau keberlakuan sosiologis, jika masyarakat mematuhinya
[15] Hukum tersebut berlaku secara normative, atau keberlakuan yuridis, jika ia merupakan bagian dari system kaedah tertentu dan saling berkaitan dengan yang lain
[16].Keberlakuan evaluatif atau keberlakuan evaluatif kefilsafatan, jika kaedah hukum itu berdasakan  isinya dipandang bernilai.J.J. H. Bruggink ;  Refleksi Tentang Hukum, Judul Asli; Wat Zegt Schollen Over Recht, Terj. Arief Sidarta, (Bandung; PT. Cita Adotya Bakti, 1999), h. 147-156.
[17] Hans Kelsen adalah seorang pengacara publik  yang kemudian menjadi akademisi pada tahun 1918 jadi Assosiate professor hukum pada University of Vienna dan pada tahun 1919 menjadi professor penuh  hukum publik dan hukum internasional.
[18] Ilmu Tashawwur (Conception ; idea) adalah pengetahuan hakekat objek secara mandiri; tanpa menghubungkannya dengan objek lainnya.
[19] Tashdiq ( assertion, verification, proposition) adalah pengetahuan tentang benar tidaknya huungan beberapa tashawwur. Artinya ia berkaitan dengan hasilnya, ilmu tentang wujud atau tidaknya objek dimaksud.
[20] Suatu cara pengelompokan data mulai dari mengeksplorasi, penyaringan, eliminasi, pendefinisian hingga  klasifikasi.
[21] Mengamalkan dua dalil yang bertentangan, karena bertentangan diperlukan adanya kombinasi  dengan menghilangkan unsur yang bertentangan tersebut.
[22] Penghapusan salah satu dalil yang bertentangan jika diketahui salah satunya datang belakangan, maka dihapus yang belakangan.
[23] Menguatkan satu dari dua dalil.
[24] Pengkhusussan salah satu dari dua dalil
[25] Pemilihan salah satu dari dua dalil
[26] Yang menitahkan adanya penbukuan (kodifikasi)  hukum perdata dan hukum dagang.
[27][27]
[28]Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 207.
[29]Muhyar Fanani, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Lkis, cet. I, 2010), hlm. 86.
[30]Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah Mu‘asirah..., hlm. 34.
[31] I Nurol Aen, Relevansi Konsep Al-Mushawwabat dengan Dasa Teologi Mu’tazilah (tudi atas Pemikiran Al-Qadli ‘Abd al-Jabbar)SGD, UIN, Bandung, 1998, hal. 79-80

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya

MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA

Kaidah Fiqhiyah Kebahasaan