Konsumsi Dlam Perspektif Islam



KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(QS. AL-BAQARAH AYAT 168 DAN QS. AN-NAHL AYAT 114)
Solihah Sari Rahayu, MH, M.Ag
Dosen Fak. Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya


A.    Pendahuluan
Islam sebagai agama universal memberikan tuntunan kepada manusia bukan dalam hal ibadah saja, namun juga dalam beberapa segi kehidupan, termasuk berkaitan dengan makanan. Allah menyeru manusia supaya menikmati makanan-makanan yang  baik dalam kehidupan mereka dan menjauhi makanan-makanan yang yang tidak baik, karena dunia diciptakan untuk seluruh manusia. Karunia Allah bagi setiap manusia adalah sama, baik yang beriman maupun tidak beriman. 
Bagi seorang Muslim makanan yang boleh di konsumsi hanyalah makanan yang baik dan halal, ada makanan yang baik belum tentu halal sementara makanan yang halal pasti baik.   Kategori kehalalannya dapat dilihat dari segi dhahiriyahnya maupun dari sumber untuk mendapatkan makanan tersebut yakni melalui cara-cara yang halal. Mengkonsumsi makanan yang halal dan baik sebagai bukti ketaqwaan kepada Tuhannya, karena pola konsumsi yang halal dan baik merupakan salah satu bentuk ibadah.
Konsumsi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari produksi dan distribusi. Dari ketiga kegiatan tersebut pertanyaan yang pertama muncul berkaitan dengan masalah konsumsi adalah untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan? Jawabannya sudah pasti erat kaitannya dengan konsumsen. Konsumen selaku usser dari produsen melalui distributor sebagai pengguna terakhir yang akan memanfaatkan barang dan jasa terlepas dari apakah produk-produk tersebut dalam kategori halal dan baik atau tidak, itu semua kembali kepada para konsumen . Intinya bahwa pola konsumsi erat kaitannya dengan perilaku seseorang, sehingga akhlak yang baik dapat mempengaruhi terhadap pola konsumsi seseorang.

Saat ini kebanyakan masyarakat kurang memperhatikan apakah barang dan jasa yang dikonsumsi itu halal atau tidak? Turunnya nilai-nilai yang ada di masyarakat berkaitan dengan pola konsumsi menyebabkan seseorang menghalakan berbagai cara, asalkan kebutuhan terpenuhi, gaya hidup masa kini sudah mencapai pada tingkat yang menghawatirkan. Berbagai produk diciptakan untuk manusia namun dengan tidak memperhatikan aspek kehalalan dan kesehatannya yang penting menguntungkan untuk dirinya sendiri.
Yang dimaksud dengan konsumsi dalam kontek ini adalah semua hal ihwal yang dimakan dan digunakan oleh Muslim dalam kesehariannya yang berkaitan dengan tiga kebutuhan ( dhaririyah, hajiyah dan tahsiniyah), mulai dari proses mendapatkannya hingga penggunaannya. Oleh karena itu marilah kita lihat pola konsumsi seperti apa yang Allah berikan pertunjuknya dalam al-Qur’an.
Secara mendasar tujuan konsumen seorang muslim ada perbedaan dengan tujuan konsumen non muslim mengacu pada pola konsumsi konvensional dan pola konsumsi Islam. Perbedaan yang jelas akan nampak dalam fiqih ekonomi Umar bin al-Khattab membaginya ke dalam tiga pokok kajian, yaitu : (1) urgensi konsumsi dan tujuannya, (2) kaidah-kaidah konsumsi, dan (3) panduan dalam konsumsi
            Konsumsi memiliki urgensi yang sangat penting dalam perekonomian, karenanya tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Sehingga Sayyidina Umar memberikan perhatian khusus dalam penanganannya melalui beberapa kebijakan dimasanya karena berdasar pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, antara lain : (1) Memerintahkan untuk ditetapkan kadar makanan yang mencukupi yang diberikan kepada setiap orang di antara mereka setiap bulannya, (2) Memerangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan yang mendasar bagi umat, (3)  Menganulir hukum had pada kasus pencurian erhadap orang kaya dikarenakan faktor kelaparan dalam keluarganya dengan menggantinya berupa melipatgandakan harga unta sebagai bentuk denda nya, (4) melakukan terapi terhadap penyelewengan konsumsi yang benar, (5) serta tidak memperknankan keenggana mengkonsumsi hal-hal yang mubah sampai ke tingkat yang membahayakan  meskipun tujuannya untuk beribadah kepada Allahh swt.
Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, sehingga muncul sebuah teori “Konsumen adalah raja” .
Teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan. Di mana al-Quran menggambarkan hakekat tersebut dalam firman-Nya[1] yang berbunyi :

...( tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. tbqãè­FyJtFtƒ tbqè=ä.ù'tƒur $yJx. ã@ä.ù's? ãN»yè÷RF{$# â$¨Y9$#ur Yq÷WtB öNçl°; ÇÊËÈ
  
Artinya :” ...dan orang-orang kafir beersenan-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan jahannam adalah tempat tinggal mereka”.
Sedangkan dalam ekonomi Islam mewajibkan manusia mengkonsumsi  apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan dirinya dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah Ta’ala kepadanya. Sehingga Sayyidina Umar mengisyaratkan tujuan konsumsi seorang muslim yaitu sebagai sarana penolong dalam beribadah kepada Allah Ta’ala melalui pola hidup sederhana, tidak boros serta mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk menambah stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah. Untuk dapat mencapai tujuan konsumsi seperti yang diwajibkan dalam Islam maka perlu diperhatikan kaidah-kaidah dalam berkonsumsi seperti terlihat dalam skema berikut :
Kaidah
Syari’ah
                                                                                  [2]


Kaidah
Kuantitas
                                                                                   [3]


Memperhatikan Prioritas Konsumsi
                                                                                   [4]
Kaidah-kaidah Konsumsi
 


Kaidah
Sosial

           [5]


Kaidah
Lingkungan
            [6]
Larangan Mengikuti
& Meniru
 


                                                                                    [7]

Kaidah diatas satu sama lain saling menopang dan saling melengkapi untuk menggambarkan kepada seorang muslim garis kebenaran dalam cara pengkonsumsiannya. Karenanya tak dibenarkan  jika hanya melihat satu dari kaidah lainnya secara mandiri dan terpisah. Kaidah diatas diperkuat dasarnya oleh beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti yang akan dibahas berikut ini.
B.     QS. Al-Baqarah ayat 168
Ayat dibawah ini  memberikan petunjuk bagaimana cara manusia dalam mengkonsumsi suatu barang dan jasa.
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  
Artinya :”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”

C.    Kosa Kata
#qè=ä.
Makanlah
ÇÚöF{$#Îû $£JÏB
Dari apa yang ada di bumi
x»n=ym
Halal
$Y7ÍhsÛ
Baik
Ÿ (#qãèÎ6®Ks?
Mengikuti
ÏNºuqäÜäz
 Ç`»sÜø¤±9$# 4
Langkah-langkah


Syaitan
¼çm¯RÎ)
 öNä3s9
 Arßtã
 îûüÎ7B  
Allah


Bagi kamu

Musuh


Nyata


D.    Asbab Nuzul/Munasabah
            Ayat diatas memiliki sebab-sebab turunya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari bani Tsaqif, Bani Amir bin Sa’sa’ah, Khuza’ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut keduannya sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya di dalam al-Qur’an[8]
           

E.     Tafsir Ayat   
Istilah makanan yang halal dan baik dalam ayat diatas disebut dengan halalan thayyiba. Kata halalan berasal dari kata halla  yang berarti  lepas dan  tidak terikat. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena terlepas dari ketentuan-ketentuan yang melarangnya atau dapat diartikan dengan segala sesuatu yang terbebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan kata thayyib berarti  lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama. Dalam kontek makanan dan minuman thayyb berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kedaluwarsa), atau bercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan dan minuman yang mengundang selera bagi yang mengkonsumsinya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya. Jika disimpulkan dari arti kata tersebut, istilah halalan memiliki makna yang lebih dalam (maknanya) dibanding kata thayyib dan kata thayyib hanya ditinjau dari aspek fisik (zatnya).
Sayid Sabiq menyebutkan bahwa makanan yang baik itu seperti yang di ungkap dalam Qs. Al-A’raf ayat 157 :

t@Ïtäur... ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ...
Artinya :”dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.[9]
Bahwa yang dimaksud makanan yang baik disini adalah apa yang dianggap dan dirasakan baik oleh jiwa.
Pada ayat diatas pula manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi sesuatu yang halal dan baik, makna halal dan baik menurut Abdul Mannan[10] bukan berdasarkan hasil, namun lebih ke proses atau cara mendapatkan rezeki tersebut harus dengan cara yang halal  dan tidak melanggar hukum. Misalnya seseorang mengkonsumsi barang hasil curian berupa makanan dari toko kue, apabila ditinjau dari segi jenis barangnya termasuk pada kategori makanan yang baik namun tidak halal karena cara mendapatkannya tidak sah menurut syariat dan melanggar hukum. Jadi sesuatu yang baik untuk kesehatan namun tidak halal karena cara mendapatkannya melalui mencuri.
Sebaliknya mengkonsumsi makanan yang halal secara berlebihan, maka akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan. Artinya makanan dapat memadharatkan tubuh walaupun termasuk makanan yang halal. Selain diperintahkan mengkonsumsi yang baik dan halal, juga dilarang untuk mengikuti langkah-langkah setan, karena setan adalah musuh yang nyata bagi manusia, misalnya mengkosumsi dengan cara merampas hak milik orang lain . Selain karena setan sebagai musuh, jalan dan sepak terjangnya yang digunakan untuk menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan apa yang telah Allah halalkan serta menghalalkan apa yang Allah haramkan.
Menurut al-Qurtuby[11] yang dimaksud halal dalam ayat tersebut karena dapat menghilangkan madharat atau terbebasnya dari bahaya sedangkan menurut Sahal yang dimaksud halal adalah ada kaitannya dengan keselamatan manusia. Menurutnya keselamatan itu terdapat pada tiga hal:
1.      Memakan makanan yang halal
2.      Melaksanakan yang fardlu
3.      Mengikuti sunnah Rasulullah[12]
Memakan makanan yang halal menempati urutan paling atas, hal itu menandakan betapa pentingnya mengkonsumsi barang yang halal.
Ibnu Abbas menceritakan sebuah hadits yang menyatakan keunggulan mengkonsumsi makanan yang halal dapat memudahkan terkabulnya doa, hadits tersebut berbunyi yang artinya  :” Aku membacakan ayat ini dihadapan Nabi saw. “ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (al-Baqarah 168). Maka berdirilah Sa’ad Ibn Abu Waqas, lalu berkata , “Wahai Rasulullah, sudilah kiranya engkau doakan kepada Allah semoga Dia menjadikan diriku orang yang diperkenankan doanya.” Maka Rasulullah saw. Menjawab, “Hai Sa’d, makanlah yang halal, niscaya doamu diperkenankan, Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini berada di dalam genggaman kekuasaaNya, sesungguhnya seorang lelaki yang memasukan sesuap makanan haram ke dalam perutnya benar-benar tidak diperkenankan doa darinya selama empat puluh hari . dan barang siapa di antara hamba Allah dagingnya tumbuh dari makanan yang haram dan hasil riba, maka neraka adalah lebih layak baginya”.[13]
Hadits diatas menyatakan bahwa orang yang mengkonsumsi makanan yang halal akan maqbul terhadap apa yang dipohonkan terhadap Allah swt. dan  orang yang maqbul berarti orang tersebut tidak terhijab oleh makanan yang haram yang dapat menghalangi tembusnya doa kita kepada Allah.


F.     QS. An-Nahl , ayat 114
Ayat lain yang berkaitan dengan makanan yang halal seperti dalam surat an-Nahl ayat 114 yang berbunyi :
(#qè=ä3sù $£JÏB ãNà6s%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ (#rãà6ô©$#ur |MyJ÷èÏR «!$# bÎ) óOçFZä. çn$­ƒÎ) tbrßç7÷ès? ÇÊÊÍÈ  
Artinya :”Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
G.    Kosa Kata
#qè=ä3sù
Maka Makanlah
$£JÏB 
Dari apa saja
Nà6s%yu
Diberikan rejki kepadamu
x»n=ym
Halal
$Y7ÍhsÛ
Baik
(#rãà6ô©$#ur
Dan beryukurlah
MyJ÷èÏR
Nikmat
ó OçFZä. çbÎ)
Jika kamu sekalian
n$­ƒÎ)

Kepadanya
brßç7÷ès?
Beribadah

H.    Tafsir Ayat
Ayat diatas erat  kaitannya dengan QS. Al-baqarah yang membahas tentang makanan yang halal lagi baik dikarenakan kebiasaan orang-orang musyrik yang telah menghalalkan dan mengharamkan menurut nama- nama dan istilah yang mereka ada-adakan menurut pendapat mereka sendiri. Misalnya mereka mengharamkan bahirah, sabiah, wasilah dan ham  serta lainnya yang diberlakukan dikalangan mereka sendiri oleh buatan mereka sendiri di masa Jahiliyah. Sehingga ayat tersebut diperkuat lagi dengan turunnya ayat 114 surat An-Nahl dengan memerintahkan kepada hamba-hambaNya agar memakan rezeki yang halal lagi baik dan bersyukur kepada-Nya atas karunia tersebut. Karena hanya Allah lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, makanya Dialah yang berhak untuk disembah.
Lalu Allah mengharamkan dengan jelas dan tegas dalam ayat 115 tersebut bahwa makanan yang diharamkan seperti bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan tidak menyebut asma Allah. Namun atas dasar keMaha Rohman Rohim-Nya, Allah masih tetap memberikan keringanan (rukhsah) bagi yang dalam keadaan terpaksa (dharurat) asalkan tidak melampaui batas.
Kata halalan thayyiban  di ikuti dengan kata wasykuru menurut Quraisy Sihab mengingatkan agar berhati-hatilah untuk tetap mensyukuri nikmatNya, jangan berlaku seperti orang-orang musyrik yang mengingkari nikmatNya dan mengganti nikmat itu dengan keburukan. Pilihlah jalan kesyukuran dan makanlah sebagian dari apa yang direzekikan ( dianugerahkan). Quraisy Sihab  menyebutkan makanlah itu dalam keadaan halal lagi baik, lezat dan bergizi serta berdampak positif bagi kesehatan dan syukurilah nikmat Allah agar tidak ditimpa apa yang menimpa negeri-negeri terdahulu.[14]
Menurut Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa makanan dan minuman menjadi haram karena salah satu dari lima sebab berikut;
1. Membawa mudharat pada badan dan akal.
2. Memabukkan. Merusak akal, dan menghilangkan kesadaran (seperti khamr dan narkoba),
3. Najis atau mengandung najis,
4. Menjijikkan menurut pandangan orang kebanyakkan yang masih lurus fitrahnya.
5. Tidak diberi izin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik orang lain. Artinya haram mengkonsumsinya tanpa seidzin pemiliknya.[15]
Menurut Sayid Sabiq Allah telah memerincikan[16] dan menyebutkan beberapa ayat yang berkaitan dengan makanan dan dikelompokan ke dalam tiga kategori   seperti berikut ini :
1.      Dinyatakan dibolehkan (mubah)[17]
2.      Dinyatakan diharamkan[18]
3.      Tidak dikomentari oleh syara’
4.      Dibolehkan memakan yang haram karena terpaksa (dharurat)
Adapun yang termasuk kedalam kategori dharurat adalah sebagai berikut :
1.      Kondisi lapar yang tak tertahankan namun tidak menginginkannya
2.      Tidak mencari-cari alasan untuk bisa memakannya
3.      Tidak melampaui batas
Sebuah kondisi dapat dikatakan  keadaan terpaksa  apabila keadaan tersebut sudah sangat menghawatirkan dan menemui jalan buntu bahkan dapat mengakibatkan pada kematian seseorang apabila tidak mengkonsumsinya dan telah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena mengkonsumsi sesuatu yang dilarang menjadi dibolehkan itu karena dapat menghilangkan kesulitan dan kematian, seperti dalam kaidah di sebutkan :

الضرر يزال
Artinya :” Bahaya dapat dihilangkan”
            Sementara Ash-Shobuni mengatakan bahwa yang dimaksud “ rizki yang baik-baik” (at-thayyibaat) yaitu “rizki yang halal”, maka setiap yang dihalalkan Allah adalah rizki yang baik dan setiap yang diharamkan Allah adalah rizki yang buruk (khabaits). Menurut Umar bin Abdul ‘Aziz berkata : Yang dimaksud dalam ayat diatas adalah “usaha yang halal, bukan makanan yang halal” penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Tirmidzi.
            Mengenai firman Allah            واشكراالله                (dan bersyukurlah kepada Allah). Di sini ada perpindahan dari kata ganti orang pertama jama’ ke isim dhahir, karena   kalau   mengikuti konteks sebelumnya maka seharusnya dikatakan          واشكروا لله   Sedang kegunaan perpindahan ini ialah untuk menumbuhkan rasa gentar dan takut dalam hati (orang-orang mukmin)[19].
            Al-Qurtubi memaknai kata “wasykuruu lillah”  dengan mengakui akan nikmat yang telah Allah berikan serta mengagungkanNya. Dalam hal ini terdapat dua aspek :
1.      Adanya pengakuan terhadap nikmat dari Allah dengan memuji kepada pemberi nikmat tersebut.
2.      Penggunaan terhadap nikmat pada yang diridloiNya, seperti menggunakan pendengaran (telinga), penglihatan (mata) dan panca indra lainnya pada akhlak yang terpuji.
I.       Kandungan Hukum
            Dalam Islam ketentuan mengenai makanan yang dikonsumsi dikendalikan oleh lima prinsip :
1.      Prinsip keadilan
2.      Prinsip kebersihan
3.      Prinsip kesederhanaan
4.      Prinsip kemurahan hati
5.      Prinsip moralitas[20]
Yang dimaksud prinsip keadilan dalam mengkonsumsi suatu barang, maka bagi manusia dianjurkan untuk dapat berbuat adil terhadap diri sendiri juga adil terhadap orang lain. Adil terhadap diri sendiri berarti memberikan asupan makanan yang menyehatkan bagi tubuh bukan yang merusak tubuh. Karena berbahaya bagi tubuh berbahaya pula bagi jiwa.
Prinsip kebersihan disini sesuai dengan istilah dalam al-Qur’an “thayyiban” yang berarti harus baik, bersih, menyehatkan, tidak menjijikan dan kotor. Karena makanan yang kotor dan menjijikan itu akan mengurangi selera. Selain  Rasulullah mengajarkan banyak hal seperti  cuci tangan sebelum makan, anjuran menutupi makanan dan minuman sebelum tidur, dan sebagainya, hal itu menandakan pentingnya kebersihan dalam hal makanan.
Adapun prinsip yang ketiga yakni kesederhanaan, mengandung arti bahwa apabila mengkonsumsi sesuatu hendaklah jangan berlebih-lebihan, dan melampaui batas, karena termasuk perbuatan syaitan dan Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas[21]. Sejatinya bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut penuh sesak diisi secara berlebihan.
Kemurahan hati menjadi prinsip yang tak kalah penting, mengingat pada hakikatnya apapun yang kita konsumsi, selama makanan dan minumannya halal itu karena kemurahan Tuhan yang disediakan untuk manusia. Sebaliknya mengko  nsumsi makanan yang dilarang dalam keadaan terpaksa, diperbolehkan selama memenuhi persyaratnya juga merupakan pemberian atas kemurahan Tuhan.
Prinsip moralitas pun tak kalah pentingnya bagi seseorang dalam mengkonsumsi sesuatu. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah swt sebelum makan dan menyatakan terima kasih jika sesudah sesudah makan. Dengan demikian akan merasa kehadiranNya pada waktu keinginan-keinginan terpenuhi. Karena dikhawatirkan apabila tidak menyebut asma Allah, akan diikuti oleh syaitan, karena Syetan sudah berjanji kepada Allah yang akan membuat manusia lengah kepadanya.
Pola hidup manusia dalam hal makanan (konsumsi) termasuk dalam kategori perilaku ekonomi. Pada hakekatnya konsumsi adalah suatu pengertian yang positif. Larangan-larangan dan perintah-perintah  mengenai makanan dan minuman harus dilihat sebagai bagian usaha  untuk meningkatkan sifat perilaku konsumsi. Dengan mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku mengutamakan kepentingan orang lain yaitu pihak konsumen. Sikap moderat dalam perilaku konsumen ini kemudian  menjadi logik dari gaya konsumsi Islam, yang sifatnya nisbi dan dinamik.
            Konsumsi berlaku bukan hanya dari aspek makanan dan minuman saja melainkan dalam semua aspek seperti yang diungkapkan oleh Ibawa, banyak hal yang harus di perhatikan dalam konsumsi yaitu kewajiban makan yang halal, larangan makan yang haram, larangan hidup pemborosan, larangan hidup mewah, larangan kikir dan hidup hemat, dan harus sederhana. Kehidupan dengan gaya hidup yang berlebih-lebihan akan membahayakan kesehatan mental spiritual, menimbulkan berbagai sikap yang negatif seperti kikir, sombong, iri, dengki, tidak peduli kepada sesama, sehingga menjadikan seseorang lupa kepada Sang Penciptanya.
            Berkaitan dengan pola konsumsi pada manusia meliputi berbagai kebutuhan hidup baik yang termasuk ke dalam kebutuhan (needs) maupun keinginan (wants) seperti dalam gambar berikut ini :



Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yang bersifat hajat ini dapat pula dibagi dalam 3 (tiga) sifat (Mustafa Edwin dkk. 2006) yaitu:
1)      Kebutuhan (hajat) yang bersifat dhoruriyat yaitu kebutuhan dasar dimana apabila tidak dipenuhi maka kehidupan termasuk dalam kelompok fakir seperti sandang, pangan, papan, nikah, kendaraan dan lain lain.
2)      Kebutuhan (hajat) yang bersifat hajiyaat yaitu pemenuhan kebutuhan (konsumsi) hanya untuk mempermudah atau menambah kenikmatan seperti makan dengan sendok. Kebutuhan ini bukan merupakan kebutuhan primer.
3)      Kebutuhan (hajat) yang bersifat tahsiniyat yaitu kebutuhan di atas hajiyat dan di bawah tabzir atau kemewahan
Selain hal-hal di atas yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam aktivitas konsumsi, ada hal-hal lain yang juga perlu menjadi perhatian. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam konsumsi yaitu;
1) Memenuhi kebutuhan diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat baru orang yang memerlukan bantuan.
2)   Penuhi dulu dhoruriyat, hajiyat kemudian baru tahsi-niyat.
3) Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga dan mereka yang memerlukan bantuan sebatas kemampuan finansialnya.
4)  Tidak boleh mengkonsumsi yang haram.
5) Melakukan konsumsi yang ideal yaitu antara bathil dan mengumbar (berlebih-lebihan).





















KESIMPULAN

Berdasarkan kedua ayat diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada hamba-Nya, untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu , makanlah dari sebagian rezeki yang telah Allah berikan dengan cara halal dan baik. Halal berarti sesuai dengan yang telah disyariatkan baik dari segi zatnya maupun proses perolehannya, baik berarti tidak memberikan madharat atau bahaya bagi kesehatan tubuh.
            Mengkonsumsi makanan yang halal memberikan pengaruh yang baik bagi kesehatan ruhani, karenanya dapat mempermudah maqbulnya sebuah doa yang dipanjatkan dari orang yang suci hati dan jiwanya. Orang yang mengkonsumsi makanan yang halal tidak subhat apalagi haram, berarti harta yang dikonsumsinya mengadnung unsur keberkahan.
Ketentuan mengkonsumsi makanan dapat dikelompokan kedalam 3 bagian :
1.      Mengkonsumsi makanan dan minuman yang dihalalkan sebagaimana yang terdapat dalam nash.
2.      Larangan mengkonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan yang terdapat dalam nash
3.      Mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak termasuk ke dalam kelompok tersebut karena ada beberapa penyebab yang menjadikan makanan tersebut dikategorikan dilarang, diantara penyebabnya adalah sebagai berikut :
a.       Membawa mudharat pada badan dan akal.
b.      Memabukkan. Merusak akal, dan menghilangkan kesadaran (seperti khamr dan narkoba),
c.       Najis atau mengandung najis,
d.      Menjijikkan menurut pandangan orang kebanyakkan yang masih lurus fitrahnya.
e.       Tidak diberi idzin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik orang lain. Artinya haram mengkonsumsinya tanpa seidzin pemiliknya




























DAFTAR PUSTAKA

            Ali As-shibuni, terjemah Rowa’iul bayan fi Tafsiri Ayat al-Ahkam, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1983
            AL-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama
Asmuni Solihah Zamakhsari, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab, terjemahan kitab al-Fiqh al-Iqtishodi li Amiril Mukminin Umar bin al-Khattab karya Jaribah bin Ahmad al-Haritsi Penerjemah, Khalifa, 2006.
Burhanuddin, Hukum Bisnis Syari’ah, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2011
dar – al-fikr.
            Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006
Jalaluddin al-Mahally dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalaen,
Juhaya S. Praja, Ekonomi Syari’ah, Pustaka Setia, Bandung, 2012
A.                Kadir, Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an, Amzah,  Jakarta, 2010.
            Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (dasar-dasar ekonomi Islam), Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1997
            Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubhi, dar-al-Fikri.
            Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurtuby, Jami’ al-Ahkam al-Qur’an fi Tafsir al-Qurtuby,  Juz 1, al-Maktabah al-Taufiqiyah, Mesir
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2002.
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2001.
            Quraisy Sihab, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati, Volume 7, Jakarta
            Saleh, Dahlan dan M. Dahlan, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Diponegoro, Bandung, 1986
            Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, Dar’al-fikr, Beirut, Tt.
            Muhammad, Prinsip-prinsip aekonomi Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007


[1] QS. Muhammad; (47) : 120
[2] Kaidah Syari’ah mencakup tiga kelompok, yakni kaidah akidah, kaidah ilmiah dan kaidah amaliah, yang dimaksud kaidah akidah adalah mengetahui hakekat konsumsi bahwa konsumsi sebagai sarana yang dipergunakan seorang muslim dalam menaati-Nya. Kaidah ilmiah adalah bahwa seorang muslim harus mengatahui hukum-hukum syari’ah berkaitan dengan apa yang dikonsumsinya. Kaidah amaliah adalah sebagai bentuk aplikasi dari kedua kaidah sebelumnya.
[3] Tidak cukup barang yang dikonsumsi halal, namun dari sisi kuanitasnya dalam batas-batas syari’ah dengan memerhatikan faktr ekonomis seperti sederhana, kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan serta penyimpanan dan pengembangannya (investasi)
[4] Memperhatikan prioritas konsumsi mulai dari kebutuhan primer, sekunder hinggar tersier
[5] Kaidah sosial maksudnya adalah mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam kualitas dan kuantitas konsumsi misalnya umat, keteladan, tidak membahayakan orang lain
[6] Kaidah lingkungan maksudnya adalah bumi, dan apa-apa yang terdapat padanya. Lingkungan ini memiliki pengaruh yang besar terutama saat terjadi perubahan pola konsumsi.
[7] Adanya larangan mengikuti mengikuti dan meniru pola konsumsi yang buruk baik bagi kaum muslimin maupun orang-orang non muslim.
[8] Saleh, Dahlan dan M. Dahlan, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Diponegoro, Bandung, 1986, hal. 51
[9] AL-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama
[10] Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
[11] Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurtuby, Jami’ al-Ahkam al-Qur’an fi Tafsir al-Qurtuby,  Juz 1, al-Maktabah al-Taufiqiyah, Mesir, hal 184.
[12] Ibid
[13] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006,  Hal.91
[14] Quraisy Sihab, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati, Volume 7, Jakarta, hal. 371
[15] Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, Dar’al-fikr, Beirut,  hal. 246
[16] QS. Al-AN’am: 119
[17] QS. AL-Maidah 96 dan Qs. An-Nahl ;5 dan al-Maidah; 1
[18] QS. Al-Maidah ; 3 dan al-AN’am ; 145
[19] Ali As-shibuni, terjemah Rowa’iul bayan fi Tafsiri Ayat al-Ahkam, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1983,  Hal. 110
[20] Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (dasar-dasar ekonomi Islam), Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1997, hal.45
[21] QS. Al-A’raf; 7:31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya

MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA

Kaidah Fiqhiyah Kebahasaan