Kaidah Fiqhiyah Kebahasaan
QOWA’ID
AL-FIQHIYAH
ذكر
بعض ما لا يتجزا كذكر كله
( Penyebutan Sebagian Atas Sesuatu
Yang Tidak Dapat Dipisahkan Seperti Menyebutkan Keseluruhannya)
Solihah Sari Rahayu, MH
Dosen Fak. Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
A.
Pendahuluan
Perubahan
sosial yang dihadapi umat Isam dari generasi ke generasi hingga saat ini telah mengundang
berbagai persoalan atau masalah baru yang memerlukan ketetapan hukum Islam.
Penetapan hukum Islam ini merupakan suatu keniscayaan sesuai dengan asas
syariat Islam yang selal relevan dengan perubahan dan perkembangan zaman,
meskipun demikian, dalam menjawab berbagai persoalan atau masalah baru
dimasyarakat yang sangat memerlukan ketetapan hukumnya, al-Qur’an dan as-Sunnah
seakan tidak mampu menghadapinya, sehubungan dengan telah terhentinya wahyu dan
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yang berperan sebagai mediator antara wahyu dengan
realitas yang hidup pada masa itu.
Menurut
A. Athaillah, yang dimaksud al-Qur’an
menjelaskan segala sesuatu tidaklah menjelaskan segala sesuatu dengan
detail, menyelesaikan semua kasus dengan rinci dan memecahkan semua problem
yang muncul dengan memusingkan. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah menjelaskan
segala sesuatu bersifat al-qawanin al-ammah (prinsip yang unversal) yang dapat
diaplikasikan untuk semua kasus dan problem yang muncul dalam kehidupan
manusia, baik untuk mereka yang hidup di masa lalu dan masa kini maupun untuk mereka yang hidup pada
masa yang akan datang[1].
Untuk
menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan tentang hukumnya di
dalam al-Quran dan al-Hadits, maka para pakar hukum Islam (fuqoha) berupaya
memecahkan dan mencari hukum-hukumnya
dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-qur’an dan al-Hadits. Dikatakan demikian,
karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan : (1) meng-qiyaskannya kepada yang
sudah ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, (2) menggalinya dari
aturan-aturan umum (al-qawanin al-ammah) dan prinsip-prinsip yang
universal (al- mabadi al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits,
(3) menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al- maqosid syar’ah)
yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Ijtihad
yang diperlukan untuk menjawab berbagai persoalan baru yang muncul saat ini
tentunya memerlukan sebuah metodologi istimbath al-ahkam [2].
Salah satu metodologi istimbath hukum selain ushul fikih yang sekiranya sangat
signifikan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan al-qowaid
al-fiqhiyah yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi
fikih dan kemudian digunakan untuk menetapkan hukum dari kasus-kasus baru yang
timbul yang tidak jelas hukumnya dalam nas.
Senada
dengan yang disebutkan A. Athaillah diatas, A.Yazid mengatakan acuan moral bagi
penerapan fiqih muamalah adalah kaidah-kaidah yang bersifat umum dan universal,
seperti bagaimana menegakkan sendi-sendi
keadilan di tengah masyarakat, asas persamaan di depan hukum, menjauhi
kezaliman, pemaksaan, spekulasi dan lain-lain. Dalam aplikasinya, acuan umum
tersebut harus dielaborasi dalam wujud pemetaan implementasi riil demi
mewujudkan tatanan masyarakat madani paripurna dan berkeadilan. Oleh karena
itu, dalam terminologi fiqh, kita mengenal idiom kaidah-kaidah kulliyah seperti
:
1.
الامور بمقاصدها
2.
الضرر
يزال
3.
العادة محكمة
4.
درأ المفاسد مقدم علي جلب المصالع
5.
اليقين لا يزال با لشك
Kelima
kaidah pokok ini termasuk ke dalam kaidah kulliyah yang tidak lain adalah
pinsip-prinsip umum yang menampung kebanyakan dari bagan-bagan (juz’iyah) yang
terperinci.
Menurut
Al-Qadli Abu Said mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah memulangkan seluruh ajaran
Imam al-Syafi’i kepada 4 kaidah , Yakni
6.
اليقين لا يزال با لشك
(Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan)
المشقه
تجلب التيسير
(Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan)
الضرر يزال
( Kemadharatan
harus dihilangkan)
العادة
محكمة
(Adat Kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum)
Sebagian
ahli ilmu golongan muta’akhirin menambahkan satu kaidah lagi dari empat kaidah
diatas, yaitu :
الامور
بمقاصدها
(Segala urusan tergantung kepada tujuannya).
Al-Qarafi[3]
dan ulama lainnya menawarkan permasalahan hukum Islam dengan pendekatan Fikih
Legal Maxim atau kaidah fiqhiyyah, karena efisiensi yang ditawarkan dan
urgensitasnya dalam mencari solusi hukum Islam sebagai berikut :
Pertama; kaidah fiqhiyyah mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah Islam
karena kepakaran fakih sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah,
Kedua;
dapat menjadi landasan
berfatwa.
Ketiga;
menjadikan ilmu fikih lebih teratur sehingga mempermudah seseorang
untuk mengidentifikasi fikih yang jumlahnya sangat banyak,
Keempat;
mengikat perkara yang
bertebaran lagi banyak (fikih), dalam kaidah-kaidah yang menyatukan kaidah
fiqhiyyah adalah lebih memudahkan untuk dihafal dan dipelihara,
Kelima;
urgensi kaidah fiqhiyyah menggambarkan secara jelas mengenai prinsip-prinsip
fikih yag bersifat umum, membuka cakrawala, serta jalan-jalan pemikiran tentang
fikih, dan
Keenam;
kaidah fiqhiyyah mengikat
berbagai hukum cabang yang bersifat praktis dengan berbagai dhawabith
menjelaskan bahwa setiap hukum cabang tersebut mempunyai suatu manat
(‘illat/ rasio legis) dan segi keterkaitan, meskipun obyek dan temanya
berbeda-beda.
Mengingat sangat urgennya kaidah fiqhiyyah
dalam menangani pemecahan masalah hukum, oleh karena itu sangat tepat para
Mujtahid mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyah juga sebagai kaidah
(dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh
nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya.
B.
Pembahasan
Salah
satu kaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan kebahasaan, menjadi sangat penting
dalam menjelaskan bahasa yang akan disampaikan oleh seorang mujtahid, untuk
menghindari kesalahan dalam menafsirkan dari penafsiran yang berbeda-beda.
Seorang mujtahid harus menguasai betul dalam memahami kaidah kebahasaan ini
agar menghasilkan keputusan hukum yang tepat.
Dalam
hal ini akan dibahas salah satu kaidah yang berbunyi :
ذكر
بعض ما لا يتجزا كذكر كله
“ Penyebutan Sebagian Atas Sesuatu Yang Tidak Dapat Dipisahkan
Seperti Menyebutkan Keseluruhannya”
Salah satu kaidah yang termasuk ke dalam kaidah
kebahasaan (qawa’id lughawiyah), yaitu aturan, rumusan atau asas-asas yang
berkaitan dengan unsur-unsur kebahasaan. Secara epistimologi qawa’id
lughawiyah adalah aturan mendasar yang menjadi standar untuk dipakai dalam
pemahaman ayat-ayat al-qur’an yang ditinjau dari sudut pandang kebahasaan.
Kaidah tersebut dipakai berdasarkan makna, susunan gaya bahasa, dan tujuan
ungkapan-ungkapan yang telah diterapkan oleh para ahli bahasa arab.
Seringkali
kaidah ini disebut kaidah ushuliyah atau kaidah istimbathiyah. Disebut sebagai
kaidah ushuliyah karena kaidah ini
digunakan sebagai standar dalam memahami dan menetapkan hukum syara’ yang
ditinjau dari segi kebahasaan. Kemudian disebut sebagai kaidah istimbathiyah,
karena kaidah ini dipergunakan dalam menggali dan memperoleh hukum-hukum syara’
dari dalil-dalil yang terperinci. Kaidah ini tidak berdiri sendiri namun banyak
keterkaitan dengan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya dalam memaknai kandungan
hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
Kaidah
kebahasaan ini memiliki beberapa macamnya seperti :
Pemahaman
terhadap kaidah kebahasaan yang dimaksud
dituntut adanya penguasaan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya seperti dalam
uraian diatas.
1.
Penjelasan Kaidah
Salah
satu dari kaidah yang berkaitan dengan
kebahasaan adalah kaidah yang berbunyi :
ذكر بعض
ما لا يتجزا كذكر كله
Artinya :” Penyebutan Sebagian Atas Sesuatu Yang Tidak
Dapat Dipisahkan Seperti Penyebutan Keseluruhannya”.[10]
Kaidah ini
merupakan cabang dari kaidah yang berbunyi :
إعمال
الكلام أولى من إهماله
Artinya :” Memberlakukan perkataan lebih utama daripada
mengabaikannya”.[11]
Maksudnya tidak boleh mengabaikan
perkataan dan membiarkannya tanpa makna, selama masih memungkinkan untuk
diarahkan kepada makna yang sebenarnya (makna hakiki) atau makna majazi. Karena
asal dalam perkataan adalah hakikatnya, maka selama berhalangan untuk diarahkan
kepada makna hakiki, ia tidak boleh diarahkan kepada makna majazi.
Karena
apabila sesuatu merupakan obyek perkataan yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
maka ia dibawa kepada keseluruhannya, untuk menjaga perkataan orang yang
mengatakannya agar tidak sia-sia dan terabaikan. Karena asal dari perkataan
orang yang berakal adalah bahwa dia menginginkan perkataannya dapat memberikan
manfaat makna kepada orang yang mendengarnya. Karena itu penyebutan satu bagian
atas sesuatu yang tidak dapat dipisahkan diarahkan kepada pemahaman bahwa
sesuatu itu diinginkan keseluruhannya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa di
salah satu gaya bahasa Arab adalah penyebutan sebagian, akan tetapi yang
dimaksudkan adalah keseluruhannya, sebagaimana dalam permasalahan kafarat
zihar, “memerdekakan seorang hamba sahaya, dan dalam kafarat pembunuhan
tersalah adalah “memerdekakan seorang hamba sahaya beriman.”adapun yang
dimaksud dengan hamba sahaya adalah budak , baik laki-laki maupun perempuan.
Jadi disini penyebutannya, yaitu hamba sahaya.[12]
Contoh lain,
Kedua kaidah
tersebut diatas adalah
sebagai cabang dari kaidah berikut ini :
الأصل في الكلام
الحقيقة
Artinya :” Asal dalam perkataan adalah hakikatnya, makna
sebenarnya dan bukan makna mazaji”.
Dengan demikian
pemakaian lafadz dalam makna yang dikatakan sebagian pada hal yang tidak bisa
di bagi-bagi , maka itu menunjukan seluruhnya.
Contoh :
Apabila ada orang yang mengatakan,
“Saya wakafkan rumah saya kepada orang-orang yang hafal al Qur’an di Negara
saya” maka orang yang hafal al Qur’an tetapi sudah lupa, ia tidak termasuk
golongan yang dimaksud. Karena mereka tidak disebut sebagai orang yang hafal al
Qur’an –pada saat itu-, kecuali secara majaz berdasarkan pengalamannya yang
telah lalu.
2.
Landasan al-Qur’an
Semua
kaidah fiqhiyyah harus kembali kepada sumber hukum utama yakni al-Qur’an dan
al-Hadits, berikut ini ayat yang menjadi dasar pengembalian dari kaidh diatas :
1.
Qs.
Hud ayat 45; 46
3“yŠ$tRur ÓyqçR ¼çm/§‘ tA$s)sù Å_Uu‘ ¨bÎ) ÓÍ_ö/$# ô`ÏB ’Í?÷dr& ¨bÎ)ur x8y‰ôãur ‘,ysø9$# |MRr&ur ãNs3ômr& tûüÏJÅ3»ptø:$# ÇÍÎÈ tA$s% ßyqãZ»tƒ ¼çm¯RÎ) }§øŠs9 ô`ÏB šÎ=÷dr& ( ¼çm¯RÎ) î@uHxå çŽöxî 8xÎ=»|¹ ( Ÿxsù Ç`ù=t«ó¡n@ $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íNù=Ïæ ( þ’ÎoTÎ) y7ÝàÏãr& br& tbqä3s? z`ÏB tûüÎ=Îg»yfø9$# ÇÍÏÈ
Artinya
:”45. dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah
yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya. "46. Allah
berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yang
dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya[722] perbuatan yang
tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak
mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu
jangan Termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."[13]
Dalam ayat ini Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu
Allah menjawab dengan suatu perkataan
yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarganya. Seandainya
penyandaran kata keluarga kepada Nuh tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban
Allah itu tidak benar.
2.
Qs.
AL-Baqarah : 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ...
ditakhsis
oleh At-thalaq: 4:
4... àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ...
Qs. Al-baqarah
ayat 275 yang ditakhsis oleh beberapa hadits tentang jual beli fasid.
...3 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4...
Dan
beberapa ayat yang ditakhsis oleh ijma dan qiyas.
3.
Turunan
dari Kaidah ذكر بعض ما لا يتجزا كذكر كله
Berikut ini beberapa turunan dari kaidah diatas antara lain :
1.
ما لا يتجزأ فوجود بعضه كوجود كله
Artinya :” sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka keberadaan
sebagiannya sama seperti keberdaan keseluruhannya”
2.
ما لا يقبل التبعبض بكون اختيار بعضه كاختيار كله , واسقاط بعضه
كاسقاط كله
Artiya :” Sesuatu yang tidak diterima sebagiannya maka memilih
sebagian itu sama seperti memilih keseluruhannya, begitu juga sebaliknya, gugur
sebahagiannya merupakan gugur keseluruhannya”.
3.
ما لا يقبل التيعيض فاختياربعضه كاختيار كله
Artinya :” sesuatu yang tidak dterima sebahagiannya, maka memilih
sebahagiannya sama seperti memilih kesemuannya”.
Pengecualian
Kaidah (Hukum Menyebutkan Sebagian atas Sesuatu yang Dapat Dipisahkan )
Kaidah diatas memiliki kekecualiannya, artinya tidak
berlaku pada benda atau akad yang dapat
dibagi-bagi. Karenanya tidak semua benda tidak dapat dibagi namun ada juga yang
sebaliknya. Seperti yang dikatakan mujtahid bahwa menyebutkan sebagian atas
sesuatu yang dapat dipisahkan, maka tidak sama dengan menyebutkan secara
keseluruhannya, sehingga hukumnya tetap pada sebagian yang disebutkan dan bukan
pada keseluruhannya. Pengecualian ini identik dengan kaidah kebahasaan ‘Am
dan khas, yang memberikan makna pada lafadz yang diciptakan untuk
memberi pengertian satu-satuan yang
tertentu, baik menunjuk pribadi seseorang atau menunjuk macam sesuatu.
Lafadz khas itu kadang-kadang datang
secara muthlaq , tanpa diikuti oleh suatu syarat apapun, kadang-kadang muqayyad,
akni dibatasi oleh suatu syarat, kadang-kadang dengan sighat (bentuk)
amr yakni tuntutan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kdang dengan
sighat nahi, yakni melarang
mengerjakan suatu perbuatan. Dengan demikian pembahasan tentang khash ini
mencakup : lafadz muthlaq, muqoyyad,
amr dan nahi.
Salah
satu penerapan bentuk pengecualian dari kaidah ini pada bidang muamalah (kebendaan) adalah apabila seseorang membantu orang yang
berutang separuh dari utangnya kepada
orang yang memberinya utang, maka bantuan pada separuh utangnya ini dinyatakan
sah, dan dia tidak dianggap membantu kseeluruhannya, karena jumlah utang dapat
dibagi-bagi atau dipisah-pisahkan, dan hukum tetap berlaku pada bagian yang disebutkannya saja.
4.
Hubungan kaidah dengan Maqosidu Syari’ah
Dalam
penerapannya setiap kaidah fiqhiyah akan selalu berkaitan dengan maqosidu
al-syari’ah yang memiliki makna tujuan diciptakannya syari’ah. Maqosid
syari’ah yang dimaksud dalam pengertian bahasa terdiri dari dua kata,
yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk
jamak dari maqsid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah
secara bahasa berarti Al-Mawadhi’u takhdir ila al-Ma’i artinya jalan
menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan jalan ke
arah sumber pokok kehidupan.
Dalam istilah para ulama, Maqashid Asy-Syari’ah adalah
tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan
dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk
individu, keluarga, jamaah dan umat.
Hujjatul Islam Abul Hamid Al-Ghazali telah membuat satu perbahasan khusus
yang menjelaskan tentang maslahat sebagai asal yang tidak jelas (ash mauhum)
dan membahaginya kepada tiga (3) tingkatan yang kemudiannya dirinci oleh
Imam Asy-Syathibi dll yaitu:
1. Dharûriyât (primer)
Dharuriyah (primer) artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika
tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Dharûriyât
dijelaskan dengan lebih rinci mencakup lima tujuan (al-kulliyyat al-khamsah),
iaitu :
a. menjaga agama (hifzh
ad-din)
b. menjaga jiwa (hifzh
an-nafs)
c. menjaga akal (hifzh
al-‘aql)
d. menjaga keturunan
(hifzh an-nasl)
e. menjaga harta (hifzh
al-mal)
2.
Hâjiyât (sekunder)
Hajiyat (sekunder) maksudnya sesuatu yang
diperlukan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak
berpuasa bagi orang sakit.
3.
Tahsiniat (tertier)
Tahsiniyah (tersier) artinya
sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan,
semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat.[14]
Urutan diatas bersifat hirarkis artinya aspek dharuriyat lebih utama
dibandingkan aspek hajiyat, dan hajiyat lebih penting dibanding tahsiniyat.
Seeorang tidak boleh berusaha menggapai hajiyat atau tahsiniyat dengan
mengabaikan dharuriyat. Apabila aspek kewajiban hirarkis ini diaplikasikan
pada kaidah fikih, maka urutannya[15]
menjadi :
الضرر يزال
Kemadharatan harus dihilangkan
يدفع الضرر العام بتحميل الضرر الخاص
Menolak kemadharatan umum dengan melakukan kemadharatan khusus.
يدفع اشد الضرر ين بتحميل اخفهما
Menolak dua kemadhratan
yang lebih besar dengan mengambil kemadharatan yang efeknya lebih ringan.
درأ المفاسد اولي من جلب المصالع
Menolak mafsadah lebih
didahulukan ketimbang menghasilkan kemanfaatan
الضررات تبيح المحظورات
Situasi darurat bisa
menyebabkan halalnya perkara yang dalam keadaan normal diharamkan.
الضررات تقدر بقدرها
Situasi madharat dimanfaatkan sesuai kebutuhnnya
المشقة تجلب التيسير
Kesukaran dapat mendatangkan kemudharatan
الحرج مرفوع
Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan
لا يجوز ارتكاب ما يشق
علي النفس
Tidak boleh menyusahkan diri sendiri
Adapaun kaitan yang erat antara kaidah dengan maqosidu al-syariah
antara lain pada hal-hal yang sifatnya dharuriyah seperti seseorang termasuk ke
dalam menjaga jiwa saat orang yang dibunuh
menggugurkan separuh hak qishash atas pelaku pembunuhan, maka qishash
itu gugur secara keseluruhan, karena qishash tidak dapat dipisah-pisahkan.
Demikian juga apabila salah satu dari wali orang yang dibunuh memaafkan orang
yang membunuh, hak qishashnya menjadi gugur, dan berubahlah hak wali lainnya menjadi diyat.
Kaitan kaidah dengan
menjaga harta pada maqosidu syari’ah berlaku pada kasus harta syuf’ah, harta
milik bersama . saat seseorang apabila
menuntut sebagian rumahnya dengan dipisah, dan membiarkan sisanya maka batallah
nama kepemilikan bersama secara keseluruhan, karena hak milik bersaa tidak
dapat dipisah-pisahkan. Orang yang memiliki harta milik bersama sebagaimana kepemilikan orang yang membeli,
ia tidak berhak memiliki sebagian dari barang yang dibelinya. Dengan demikian
penyebutan sebagian diberlakukan sama dengan penyebutan keseluruhan.
Contoh lain kaitannya dengan maqosidu syari’ah dalam menjaga
keturunan (hifdzu al-masl), seperti pada kasus Nabi nuh yang terdapat dalam
surat Hud ayat 45-46 yang mengandung makna bahwa dalam ayat ini Allah
membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu Allah menjawab dengan suatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu
tidak termasuk keluarganya. Seandainya penyandaran kata keluarga kepada Nuh
tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah itu tidak benar.
4.
Hubungan dengan Kaidah Pokok
Berdasarkan
kaidah pokok yang lima bahwa kaidah kebahasaan seperti
ذكر
بعض ما لا يتجزا كذكر كله Adalah termasuk kedalam kelompok الامور بمقاصدها karena
pada hakekatnya setiap akan mengatakan sesuatu bersumber dari niat yang ada
dalam hatinya baik dari segi ucapannya maupun maknanya. Seseorang yang
mengatakan sesuatu dengan maksud secara keseluruhannya tentu karena sesuatu itu
tidak dapat dibagi-bagi atau dipisahkan, demikian sebaliknya, seseorang
mengatakan sesuatu pada yang dapat dipisah-pisahkan tentunya tujuannya pada
setiap satuannya.
Kaidah
ذكر بعض ما لا يتجزا كذكر كله yang kembali kepada
kaidah pokok berikut الامور بمقاصدها dalam contoh
tentang pengharaman daging babi, tentunya maksud dari ayat tersebut bukan
hanya dagingnya saja , akan tetapi secara keseluruhan baik air liyurnya,
kulitnya, tulangnya, minyaknya dan sebagainya bersumber dari ayat al-Qur’an dan al-Hadits berikut ini :
... إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan
binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah” (QS. Al-Baqarah;
173)
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللّهِ بِهِ
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah.” (QS. Al Maa’idah: 3)
....إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخَنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An Nahl: 115)
5.
Aplikasi Kaidah dalam Muamalah dan
Hukum lainnya
Untuk
membantu umat Islam dalam membahas tema hukum ekonomi Islam maka dalam
pengaplikasiannya kaidah fiqhiyyah ini dapat berlaku, agar tercipta
kesinergisan antara hukum ekonomi klasik
dengan kontemporer yang akan terus berkembang seiring perkembangan
zaman. Sehingga tidak kehilangan pondasinya dari sumber yang asli. Melalui
kaidah kebahasaan ini pula dengan ungkapan yang padat dan ringkas namun maksud
dari mukhotob ( pembicara) dapat dicerna.
Keterkaitan
kaidah kebahasaan ini dalam berbagai bidang , antara lain :
a.
Muamalah,
seperti dalam ‘
‘aqad (transaksi) ,Mal (harta kekayaan), Perbankan, Arbitrase (
penyelesaian sengketa). Salah satu contoh yang dinyatakan dalam materi (1041)
dari majallah Al- Ahkam Al-Adliyyah, “Harta milik bersama tidak dapat
dipisah-pisahkan, maka orang yang memiliki harta bersama tidak boleh mengambil
sebagian rumah yang menjadi milik bersama, dan membiarkan sisanya. Ini berarti
bahwa orang yang memiliki harta milik bersama apabila menuntut sebagian
rumahnya dengan dipisah, dan membiarkan sisanya maka batallah nama kepemilikan
bersama secara keseluruhan, karena hak milik bersama tidak dapat dipisah-pisahkan.
Orang yang memiliki harta milik bersama
sebagaimana kepemilikan orang yang membeli, ia tidak berhak memiliki
sebagian dari barang yang dibelinya. Dengan demikian penyebutan sebagian
diberlakukan sama dengan penyebutan keseluruhan.
b.
Jinayah,
seperti dalam
masalah qishash (hukum balas), diyat (denda) dalam kasus berikut
: Apabila wali orang yang dibunuh
menggugurkan separuh hak qishash atas pelaku pembunuhan, maka qishash
itu gugur secara keseluruhan, karena qishash tidak dapat dipisah-pisahkan.
Demikian juga apabila salah satu dari wali orang yang dibunuh memaafkan orang
yang membunuh, hak qishashnya menjadi gugur, dan berubahlah hak wali lainnya menjadi diyat.
c.
Waris,
seperti harta
peninggalan berupa tanah, sawah atau bangunan milik pewaris yang belum dapat dibagi-bagi
kepada ahli waris sebagaimana dalam furudl al-muqoddarah , maka masih menjadi
milik bersama diantara ahli waris. Karena masih menjadi milik bersama jika
salah satu ahli waris tidak bisa mengambil hak milik sebagianya itu.
d.
Munakahat,
Seperti dalam
perkataan seorang suami yang mengucapkan kata talak pada sebagian tubuhnya, hal
tersebut mengandung arti suami tersebut mentalak istrinya secara keseluruhan
anggota tubuhnya.
6.
Fungsi dan Kegunaan kaidah Fiqhiyah
Berdasar
pada uraian diatas dan mengingat kaidah fiqh adalah suatu perkata yang kulli
yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak dari padanya diketahui hukum-hukum
juziyah itu, atau dengan kata lain adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam
pensyari’atannya.[16]
Arti
penting yang dimiliki oleh kaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut, pertama,
dari sudut sumber. Dari sudut ini
kaidah merupakan media untuk memahami dan menguasai maqashidu syari’ah ,
karena dengan mendalami beberapa nash dapat ditemukan persoalan esensial dalam
satu persoalan. Kedua, dari segi istimbath al- hukm, kaidah fiqih
mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi.[17]
Oleh
karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam
menyelesaikan persoalan yang telah terjadi dan mungkin belum terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya. Fungsi atau kegunaan dari kaidah fiqh yang dapat digunakan
oleh orang-orang yang mempelajari hukum Islam diantaranya adalah :
1.
Mempermudah
dalam menguasai materi hukum, karena kaidah telah dijadikan patokan yang
mencakup banyak persoalan.
2.
Kaidak
membatu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan,
karena kaidah dapat mengelompokan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang
dikandungnya.
3.
Mendidik
orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
(takhrij) untuk mengetahui hukum permasalahan baru.
4.
Mempermudah
orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang
erbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5.
Meringkas
persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukan bahwa hukum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih
besar.
6.
Pengetahuan
tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memhami furu’
yang bermacam-macam.
C.
Kesimpulan
1.
Pada
dasarnya dalam sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi ( Tajyiz), maka
dalam penyebutannya tidak bisa secara sebagian-sebagian namun seperti
menyebutkan secara keseluruhan.
2.
Karena
itu penyebutan satu bagian atas sesuatu yang tidak dapat dipisahkan diarahkan
kepada pemahaman bahwa sesuatu itu diinginkan keseluruhannya.
3.
Kaidah
ini berlaku pada sesuatu yang tidak dapat di bagi seperti : pengucapan akad
nikah , “ saya menikahi kamu setengahnya dari diri kami” maka ini sama dengan
menikahi secara keseluruhan dari wanita tersebut. Demikian juga dalam kasus ”dzihar”,
menyamakan sebagian anggota tubuh istri dengan ibunya, maka sama dengan
menyamakan secara keseluruhan terhadap ibunya.
4.
Kaidah
ini berlaku pada harta syuf’ah ( harta milik bersama ), dan maka jika sebagain
dari pemilik bersama tersebut ingin mengambil miliknya, maka hal itu tidak bisa
dilakukan karena mengambil sebagian berarti mengambil seluruhnya. Solusinya si
Syafi’ harus meminta ijin kepada teman sepemilikannya, apakah akan menjualnya
kepada teman sepemilikan atau bahkan memberikan miliknya.
DAFTAR PUSTAKA
-----(2002) Kaidah Fiqh:
Sejarah dan Kaidah-kaidah asasi.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abdul Karim Zaidan, AL-Wajiz 100 Kaidah Fikih
dalam Kehidupan Sehari-hari, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2008
Ahmad, Muhammad
Jamaluddin bin (1412H) Al ‘Inyah Fi al Qawid al Fiqhiyah. Jombang: Al
Muhibbin.
Al-Qur’an
al-Karim & Terjemahannya, Departemen Agama,
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Amir, Dja’far (1970) , Qaidah-qaidah
Fikih. Semarang: Toha Putra.
Basic Djalil, Ilmu
Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010
Dewan Syariah Nasional (DSN)-Majelis Ulama Indonesia (MUI),
A.
Djazuli,
Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, Kencana, Jakarta, 2006
Hidayatullah,
Syarif, Qawaid Fiqhiyah dan
Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, Jakarta:
Gramata, 2012
Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI, Ciputat: Gaung
Persada, 2006
http://www.fikihkontemporer.com/2012/07/hukum-keharaman-babi-berdasar-al.html
https://media.neliti.com/media/publications/57544-ID-urgensi-kaidah-fiqhiyyah-dalam-pengemban.pdf
Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh; Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 25
Mudjib, Abdul (1994) ,Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqh. Jakarta: Kalam, Mulia, 1994
Muhammad
Mustasyfa al-Zuhaily, Al- Qowaid al- Fiqhiyah wa Tatbiqatiha fi al-Madzahib
al-Arba’ah, Juz Awal, Dar al-Fikr,
Beirut, 2013 M/ 1434 H.
Mujib, M. Abdul,
Kamus Istilah Fikih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 98
Mukhtar
Yahya , Fatchurrahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqih Islam, AL-Ma’arif, Bandung, 1986.
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka
Setia 1998
Sabiq, Sayid, Fiqh
Sunnah, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1999.
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
I Nurol Aen dan
A. Djazuli, Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam, Raja Grapindo Persada, Jakarta,
2000
[1]A. Athaillah,
“Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah (Legal Maxim)”, Makalah Program Pascasarjana
IAIN Antasari banjarmasin, 2007, hal.2. Lihat pula H.A. Athaillah, “Sejarah
Al-Qur’an Verfikai tentang Otntitas AL-Qur’an, Banjarmasin Antasari Press
Bnajarmasin”, 2006, Hal 21
[2]
Menurut A. Dzazuly, baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih,
bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-kaidah suhul
sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, sedangkan kaidah-kaidah fikih digunakan di
dalam tathbiq al-ahkam.
[4] Makna lafadz ‘Am adalah
lafadz yang mencakup segala sesuatu yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa dalam bahasa terdapat bentuk-bentuk
lafadz tertentu yang secara hakiki dipergunakan untuk menunjukkan makna ‘Am dan
dipergunakan secara majas pada yang selainnya itu berdasarkan beberapa argumen
dari dalil-dalil tekstual (nash), ijma’, dan kontekstual (maknawiyah).
[5] Makna khas adalah lawan
kata ‘am, karena ia tidak menghabiskan semu yang pantas baginya tanpa
adapembatasan. Sedangkan takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup
lafadz ‘am. Dan mukhasis (yang mengkhususkan) terkadang muttasil (antara
‘am dengan mukhasis tidak dipisah oleh sesuatu ha)l, dan juga ada kalanya munfasil.
[6] Muthlaq adalah lafadz
yang menunjukkan satu hakikat tanpa suatu qayyid (pembatas). Jadi ia hanya
menunjuk kepada satu dzat tanpa ditentukan yang mana dan seperti apa. Lafadz
muthlaq biasanya berbentuk nakirah.
Seperti lafadz raqabah dalam ayat فتحرير
رقبة yang mencakup
memerdekakan budak yang dimiliki, apapun jenisnya baik muslim maupun kafir.
[7] Adapun muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu
hakikat dengan qayyid (batasan), seperti lafadz raqabah yang dibatasi dengan
iman dalam An-nisa ayat 92
[8] Manthuq adalah sesuatu
yang ditunjukkan oleh lafadz pada saat diucapkan; yakni penunjukkan makna
berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Manthuq berupa nash, zhahir,
muawwal, iqtidla’, dan isyarat.
[9] Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz,
tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Terbagi menjadi dua: mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah.
[10]
Qowa’idul Fiqhiyah
[11] https://ibnuabdilbari.wordpress.com/2011/06/28/kaidah-fiqhiyyah/
[12] Abdul
Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fiqih dalam Kehidupan Sehari-hari,
Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2008, hal.34
[13]
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1990.
[14] Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993), hlm. 83-96.
[15] Aang
Asy’ari. Maqosidu Asy-Syari’ah dan Penerapannya dalam Pembangunan Ekonomi
Syari’ah,Multi Kreasindo, Bandung ,2017.
[16] Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 98
[17] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh;
Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 25
Komentar
Posting Komentar