Analogical Reasoning (Qiyas sebagai SUmber Hukum Islam)



QIYAS
(Analogical Reasoning)
Solihah Sari Rahayu, MH
Dosen Fak. Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya 


A.    Pendahuluan
Seribu Empat Ratus tahun tiga puluh sembilan (1439)  tahun yang lalu al-Qur’an diturunkan, masa kenabian telah berlalu begitu lama,  walaupun begitu kenabian Muhammad memenuhi kebutuhan lintas waktu dan tempat. Nabi Muhammad hadir membawa al-Qur’an sebagai pesan Allah hingga akhir zaman. Di zaman sekarang ini permasalahan hidup semakin komplek, kebutuhan akan berijtihad adalah sebuah keharusan.  Berijtihad melalui qiyas menjadi sangat penting karena menunjukan keuniversalan Islam dan kefleksibelan hukum Islam  dalam memberikan kesempatan untuk menemukan jawaban atas setiap permasalahan hidup.
Banyak kasus sosial yang tidak ada nash hukumnya membuat masyarakat semakin tidak karuan, karena itu qiyas sebagai satu-satunya cara / metode untuk menjawab semua permasalahan masa kini. Hanya dengan qiyas semua permasalahan akan selesai, qiyas sebagai satu-satunya metode solusi yang sangat cocok dan kekinian sehingga Islam (al-Qur’an) akan selalu relevan dengan situasi dan kondisi apapun hingga akhir zaman.
            Imam al-Syafi’i sebagai tokoh utama yang menggunakan qiyas mengatakan dalam ar-Risalahnya bahwa :
قلت كل ما نزل بمسلم ففيه حكم لازم أو على سبيل
الحق فيه دلالة موجودة وعليه إذا كان فيه حكم اتباعه وإذا لم يكن فيه بعينه طلب الدلالة على سبيل الحق فيه بالاجتهاد والاجتهاد القياس
" Semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya ada ketentuan umum yang menunjuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas (analogi).[1] 
            Pernyataan diatas sangat jelas bahwa qiyas adalah sama dengan ijtihad karena merupakan metode penggalian hukum saat ini yang membuat umat Islam tetap menjadi kelompok yang maju. Rasulullah SAW. Mengajarkan ijtihad kepada para sahabat agar mereka dapat menemukan solusi atas berbagai masalah baru.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab ada dua makna (mashdar dari fi’l qas – yaqis),yaitu mengukur (taqdir) dan seimbang ( musawah; taswiyah).[2]. namun dalam wacana Ushuliyyin, ada tiga  makna lain qiyas, yaitu menggambarkn
(i’tibar),  penemuan (ishabah),  dan mirip ( mumatsalah). Makna terminologisnya adalah memulangkan (hukum) far kepada (hukum) ashl karena persamaan ilat keduanya .
 Sedangkan pengertian qiyas menurut al-Syafi’i selaku penggagas qiyas adalah berikut ini :

والقيس ما طلب بالدلاءل علي موافقة الخبر المتقد م, من الكتب والسنة                                 
Qiyas adalah pencarian berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan nash yang datang lebih awal, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.[3]
Menurut Imam as-Syafi’i yang dapat dijadikan pijakan penjelasan substansinya adalah sebagai berikut:

القياس من وجهين : احدهما ان يكون الشيئ في معن الاصل  , فلا يختلف القياس فيه . وان يكون  الشيئ له في الاصول اشباه , فذالك يلحق بأولاها به واكثرها شبها فيه                                 . وقد يختلف القا يسون في هاذا                                                                       
Qiyas dapat terjadi dari dua sisi : Pertama, sesuatu (far’u)sesuai dengan makna )[4]
Ashl, pada kasus seperti ini tidak diperdebatkan  penerapan qiyas. Kedua, sesuatu yang memiliki kemiripan dengan ashl. Di sini kasus tersebut dihubungkan kepada ashl yang lebih awal dan yang terbanyak kemiripannya. Namun terdapat berbagai perbedaan ahli qiyas pada kasus seperti ini.
            Pada bagian lain dalam ar-Risalahnya menyebutkan sebagai berikut ;

كل حكم لله او لرسوله وجدت عليه دلاله فيه او في غيره  من احكام الله او رسوله بانه حكم به لمعني من المعاني, فنزلت نازلة ليس فيها نص حكم : حكم فيها حكم النازله المحكوم فيها , اذا كانت في معناها         

Semua ketetapan Allah dan Rasul-Nya mengandung dalalah, baik pada ketetapan ini maupun pada hukum-hukum yang lain, bahwa ketetapan itu didasarkan pada satu dari berbagai makna. Kemudian kalau ada persitiwa yang tidak terkait dengn nash hukum yang ada far’ , maka hukumnya ditetapkan sesuai peristiwa yang telah ada hukumnya (ashl), kalau far’ itu semakna dengan ashl.
            Dalam pengertian diatas al-Syafi’i memiliki konsep tersendiri yaitu semua metode yang untuk penemuan hukum syara’ yang tidak terdapat dalam nash. Sebagaimana dikatakan olehnya bahwa setiap peristiwa yang dihadapi muslim terdapat hukum yang pasti atau dengan metode yang benar didalamnya terdapat petunjuk. Jika secara implisit didalamnya terdapat aturan tinggal mengikutinya, maka jika secara implisit tidak ditemukan , maka dicari dalil ( indikasi ) yang terdapat dalam aturan yang diturunkan itu dengan metode yang benar yaitu dengan jalan ijtihad.
Adapun qiyas secara terminologi para ahli ushul mendefinisikan bahwa qiyas adalah
الحاق واقعة لا نص علي حكمها بواقعة ورد نص بحكمها , في الحكم الذي ورد به النص , لتساوي الواقعتين في علة هاذا الحكم                                                                                 
Mempersamakan hukum suatu peristwa yang tidak ada nashnya dengan suatu hukum yang ada nashnya, karena ada kesamaan illat hukum dari kedua peristiwa tersebut[5].
Pendapat diatas sependapat dengan al-Syafi’i yang mengatakan bahwa dibolehkan istimbath al-hukm  melalui qiyas terutama pada peristiwa yang tidak ada nashnya hanya saja  diharuskan adanya ‘illat al-hukm yang mempersamakan kedua peristiwa tersebut, karena pada dasarnya setiap peristwa yang terjadi selalu ada dalalah al-hukm yang dapat dijadikan petunjuk melalui metode yang benar.
Dari definisi diatas dapat difahami dengan bahasa yang sederhana bahwa qiyas adalah menggiring peristiwa yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Haditsnya dengan bersandar kepada peristiwa yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.  Atau dengan kata lain menetapkan hukum suatu peristiwa yang belum ada dasar hukumnya dengan cara membandingkan pada suatu peristiwa yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat[6] (alasan) antara kedua peristiwa tersebut.
Proses menyamakan , membandingkan kedua peristiwa itu dilakukan melalui sebuah metode ushul fiqh yang kita sebut qiyas. Produk yang dihasilkan dari penyamaan dan perbandingan hukum tersebut adalah fiqh. Menurut para ahli hukum, bahwa hukum fiqih yang dihasilkan dari proses qiyas memiliki kekuatan hukum yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada hakekatnya qiyas termasuk kedalam proses berfikir alamiah, karena itu Imam As- Syafi’i menyamakan qiyas dengan ijtihad. Jika dilihat dari aspek sejarahnya bahwa qiyas berawal dari logika para filosof yang berkembang di Yunani kemudian di tranformasi menjadi  khazanah kebudayaan Islam di masa khalifah Al-Makmun.
Seiring perkembangan pola pikir manusia, dalam klasifikasinya  al-Syafi’i menempatkan orang yang cakap melakukan qiyas sebagai peringkat tertinggi umat secara keilmuam. Ia membagi manusia jadi tiga tingkatan: Pertama awam, yaitu mereka yang mengetahui segala kewajiban yang dikandung al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, khusus (khashash),yaitu mereka mengetahui hukum secara lebih rinci  dan mendalam. Mereka dapat meng-istimbath hukum dari al-qur’an dan al-Sunnah, mengetahui khabar ahad, dengan syarat-syarat penerimaannya serta mendalami hal-hal yang bertentangan dengan khabar itu. Ketiga, sangat khusus (khashash lil ak-khashash) yaitu, mereka yang memiliki kemampuan berijtihad , yaitu memahami illat hukum dan cakap melakukan qiyas.
Juga seiring berkembangnya peradaban manusia , maka permasalahan yang terjadi semakin kompleks, sehingga sebagai sumber hukum yang utama (al-Quran dan al-Sunnah)   masih diperlukan pemahaman secara mendalam untuk memecahkan permasalahan dan solusi dari permasalahan yang terjadi melalui tahapan ijtihad (ijma dan qiyas).
2.      Rukun dan Syarat Qiyas
Yang termasuk kedalam rukun qiyas seperti yang diungkapkan oleh Hudlori Bek berikut ini :
1.      Al-Asl (pokok)
2.      Al-Hukmu al-Asl ( hukum asal)
3.      Al-far’u (Cabang)
4.      Wasfun Jami’un au al-‘Illat [7]
Yang dimaksud dengan  al-asal  (pokok),  yaitu tempat hukum yang jadi rujukan (al-maqis alaih, al-mahmul alaih, al-musabbah bih);  ada pendapat dalilnya dan pendapat lain hukumnya. Hukum asal ( al-hukm al-ashl) adalah hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash dan untuk menetapkan sebuah peristiwa hukum.  Far  adalah suatu peristiwa yang tidak  ada nashnya , yang akan diserupakan kepada asal, disebut pula dengan maqis  atau  musabbah. Atau sebagai wadah yang diserupakan kepada ashl. Sifat jaami’un (illat) adalah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang asal. Yang karena adanya sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pada cabang , maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang asal.
Menurut ahl a-haqq  (ahli Sunnah) ia bermakna sesuatu yang jadi pengenal (al-mu’arif)  hukum. Di sini hukum ashal jadi ada  dengan adanya ilat. Berbeda dengan ulama Hanafiyah, (menyebut berdasar nash). Makna lain , illat adalah penentu hukum secara mandiri (al-mu’atstsir bi dzatih)[8]. Menurut al-Ghazali, ia menentukan hukum dengan izin Allah. Menurut al-Amidi, illat adalah pemicu hukum. Kadang ia berfungsi menolak[9] hukum atau mencabutnya[10] atau melakukan dua fungsi sekaligus[11].
Dalam pemahamannya dapat dilihat dalam skema berikut ini :
افعال المكلف     
منصوص         
غير منصوص     
الا صل        
الفرع         
العلة                                       / Sifat Homonim
القياس                                             
 











Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber
Berikut ini beberapa contoh penetapan hukum melalui qiyas , antara lain :
1.      Haramnya obat-obatan terlarang, perasan anggur, sabu, oplosan dan sebagainya diqiyaskan dengan meminum khamr sebagai hukum asal karena ada illat yang sama yakni memabukkan.
2.      Haramnya bertransaksi pada saat adzan Jum’at baik itu gadai, sewa menyewa, atau berbagai macam transaksi dalam muamalah, diqiyaskan dengan larangan jual beli pada saat adzan Jum’at  sebagai hukum asal karena adanya ‘illat melalaikan terhadap pelaksanaan sholat.
3.      Tidak dijatuhi hukuman had atas pencurian yang terjadi pada suami istri, diqiyaskan kepada pencurian anak terhadap ayahnya dengan illat adanya percampuran kepemilikan diantara keduanya.
Sesuai contoh diatas pada kasus haramnya obat-obatan terlarang, perasan anggur, miras oplosan dan sebagainya, maka dapat diuraikan rukun qiyas tersebut sebagai berikut :
1.      Asal (pokok) pada kasus tersebut adalah khamar, 
2.      Hukum asal adalah haram,
3.      Al-far’u (cabang) adalah obat-obatan terlarang, miras oplosan dsb.
4.      ‘Illat nya (alasannya) adalah memabukkan.
Yang menjadi asal  pada kasus diatas adalah khamar, dan khamr  tersebut telah  ditetapkan keharamnya  sebagaimana firman Allah SWT  dalam Surat Al-Maidah ayat: 90.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Haramnya  narkotika di qiyaskan pada keharaman khamar sebagai hukum asal,  dan narkotika dikategorikan sebagai cabang (al-far’u)  yang diqiyaskan dengan Khamr karena mempunyai persamaan illat yaitu dampak yang memabukkan.  Sehingga memabukkan,  menghilangkan akal sehat, merusak organ-organ di dalam tubuh, dan membuat ketergantungan termasuk illat atau alasan diharamkannya narkotika.
Demikian juga pada kasus bertransaksi pada saat adzan jum’at. Yang menjadi asal adalah jual beli saat adzan jum’at dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Asal pada kasus bertransaksi saat adzan Jumat adalah jual beli
2.      Hukum asal adalah haram, yang menjadi
3.      Al-far’u adalah gadai, sewa menyewa, dan transaksi lain,
4.      ‘Illatnya melalaikan sholat fardu jum’at.
Demikian pula pada kasus-kasus yang lain jika akan melakukan istimbath hukum melalui qiyas maka harus memenuhi dari ke empat rukun tersebut. Pada masing-masing rukun tersebut terdapat beberapa persyaratan yakni persyaratan pada asal, furu dan ‘illat.
Adapun syarat-syarat Asal, Furu’ dan Illat sebagai berikut :
a.       Syarat-syarat Asal (الا صل   )
Tidak disyaratkan adanya indikasi kebolehan qiyas atas bagian atau fard-nya. Juga tidak disyaratkan adanya kesepakatan adanya ilat padanya, tapi ada yang tidak sependapat.
b.      Syarat-syarat Hukum Asal (الحكم الا صل   )
1). Hukum asal harus selalu yang terbit, artinya hukumnya belum di mansukh, karena bila telah di mansukh tidak mungkin meng-qiyas kan hukumnya kepada far’u.
2). Hendaklah hukum yang dietapkan pada asal itu adalah atas penetapan syara’ bukannya penetapan bahasa, akal, dan lain-lain karena yang akan di qiyas adalah hukum syara’
3). Hukum asal tidaklah satu hukum pengecualian . sebagaimana dalam Islam. Dikecualikan bagi orang yang terlupa  (makan dan minum) dalam bulan puasa (tidak membatalkan puasanya), pengecualian yang demikian tidak dapat di-qiyas-kan terhadap yang lain. Seperti pada orang yang dipaksa pada bulan puasa , dalam hal ini batallah puasanya.
4). Hukum asal tidak bersifat ta’abudi berdasar dalil qath’i
5). Adanya hukum asal bukan berdasarkan qiyas dan juga bukan berdasar  ijma’
6). Hukum asal bukan far kalau tidak nyata mandaat peng-qiyas-annya.
7). Dalil hukum asal tidak mencakup hukum far.
8) keberadaan hukum asal itu disepakati, menurut sebagian di antara ummat.

b. Syarat-syarat furu’  (الفرع )
1).  Hukum asal lebih dulu datangnya daripada hukum furu’
2).  ‘illat yang terdapat pada furu’ harus sama dengan ‘illat yang terdapat pada asal
3).  Hukum yang ditetapkan pada far’u harus sama dengan hukum yang ditetapkan pada asal.

c.Syarat-syarat ‘illat (العلة )
1).  ‘illat harus bersifat mengikuti tetapnya hukum. Yakni selama ada ‘illat tersebut. Selama itu pula ada hukum padanya.
2).   illat  harus mengikuti tiadanya hukum, bila ;illatnya hilang, maka hilang pula hukum yang ditetapkan atau hukum yang tetap atas dasar ‘illat tersebut.
3).  illat tidak boleh menyalahi nash, bila satu ‘illat menyalahi nash maka tidak sah dilakukan qiyas padanya.
4). ‘illat  yang lebih dari satu maka dilakukan as-sabru wa al-taqsim ( pengelompokan ‘illat dan penentuan salah satunya).

3.      Kehujjahan Qiyas
Berpijak dari pengertian qiyas diatas, yang berimplikasi terhadap kehujjahan qiyas, para ulama terbagi kepada  kelompok yang membolehkan qiyas dan yang tidak membolehkan untuk dijadikan sumber hukum setelah ijma’. Diantara ulama yang membolehkan qiyas adalah jumhur ulama yang dinamai oleh ahli ushul dengan golongan mutsbitul qiyas ( golongan yang menetapkan kehujjahan qiyas).
Adapun ulama yang membolehkan qiyas adalah Jumhur Ulama diantaranya Imam al-Syafi’i beralasan dengan berdasar pada al-Qur’an, As-Sunnah, Qaol Para Sahabat dan Logika. Ayat al-Quran tersebut berbunyi berikut ini :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[12]
Dalam surat An-Nisa ayat 59  nampak jelas bahwa jika dihadapkan dengan permasalahan hukum, Allah telah memerintahkan untuk mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Lafadz  çnrŠãsù (mengembalikan kepada Allah dan RosulNya) dalam ayat tersebut berarti menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya kepada peristiwa yang sudah ada nashnya, lantaran ada persamaan ‘illat hukumnya. Sebagaimana dalam kaidah fiqh yang mengatakan :
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما                                                                      
“Hukum tergntung kepada ada atau tidak adanya illat”[13]
Dalam ayat yang lain dikatakan :
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/̍øƒä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷ƒr'Î/ Ï÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  
Artinya :” Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.[14]
Demikian dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi dimasa itu dan Allah memerintahkan  #rçŽÉ9tFôã$$sù ( mengambil ibarat) maksudnya mengambil perumpamaan  dengan menganalogikan  (qiyas) keadaan yang terdapat pada diri kita dengan keadaan yang terjadi pada peristiwa tersebut.
Selain ayat al-Qur’an, alasanya kebolehan qiyas terdapat dalam as-Sunnah berikut ini :

حديث معاذ بن جبل أن رسول الله لما أراد أن يبعثه إلى اليمن، قال له: "كيف تقضي إذا عرض لك قضاء ؟" قال: أقضي بكتاب الله ، فإن لم أجد فبسنة رسول الله، فإن لم أجد اجتهد رأيي ولا آلو، فضرب رسول الله على صدره وقال: "الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله"[15]


Artinya :” Hadits Muadz bin Jabal ketika Rasulullah SAW. Akan mengutus Muadz ke Yaman, berkata kepada Muadz : “Bagaimana kamu akan memutusi apabila kamu dihadapkan suatu perkara ? Muadz menjawab : Saya akan menghukum dengan Kitabullah, apabila tidak ditemukan dalam Kitabullah maka saya akan menghukum dengan Sunnah Rasullullah, apabila tidak ditemukan dalam Sunnah Rasulullah maka saya akan berijtihad dengan segenap pikiranku”. Maka kemudian Rasulullah menepuk dada saya dan bersabda :” Segala puji milik Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah karena telah membuat keridloan Allah dan RasulNya”.
Hadits diatas menyatakan bahwa Rasulullah membolehkan berijtihad melalui qiyas, yakni mengerahkan seluruh pikiran dalam mencari ketetapan hukum baik dengan cara menganalogikan suatu peristiwa yang belum ada ketetapan hukum kepada yang sudah ada ketetapan hukumnya ataupun mengambil suatu ibrah (perumpamaan) dalam kasus hukum yang sama ‘illat hukumnya.
Menurut Imam al-Syafi’i dalam ar-Risalah menyamakan antara ijtihad dengan qiyas, menurutnya bahwa semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya ada ketentuan umum yang merujuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad itu tidak lain adalah qiyas (analogi)[16].
Alasan yang ketiga  ulama yang membolehkan qiyas adalah perbuatan dan perkataan para sahabat. Para sahabat seringkali berijtihad pada peristiwa yang tidak ada nashnya dan mengqiyaskan kepada peristiwa yang ada nashnya. Seperti contoh mengqiyaskan kekhilafahan dengan imam sholat, pada saat pembaiatan Sayyidina Abu Bakar ra. untuk menjadi khalifah diqiyaskan kepada peristiwa Nabi Muhammad  saw. Menyuruh imam sholat kepada Sayyidina Abu Bakar disaat beliau sakit. Para sahabat berkata : “ Rasulullah saw. Telah meridloi Sayyidina Abu Bakar menyerahkan urusan akhirat, kenapa tidak, kita meridloi pula urusan dunia kepada Sayyidina Abu Bakar ra.[17]
Logika sebagai salah satu alasan para ulama untuk melakukan qiyas Jika suatu peristiwa hukum tidak terdapat dalam nash, analisa-analisa logis yang digunakan untuk menetapkan kehujjahan  qiyas  adalah sebagai berikut :
1.      Allah swt menurunkan nash al-Qur’an sebagai perundang-undangan. Suatu perundang-undangan tentu memiliki tujuan, yakni kemaslahatan. Kemaslahatan yang menjadi tujuan akhir, karena apabila ada kasus yang tidak ada nashnya namun ada illat yang sama pada kasus yang sudah ada nashnya, maka sangat adil kalau qiyas jalan yang paling tepat untuk mencapai kemaslahatan.
2.      Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah itu adalah terbatas, sedangkan peristiwa yang terjadi pada manusia tidak terbatas, oleh karena itu tidak mungkin nash yang terbatas menjadi sumber untuk suatu peristiwa hukum yang tidak terbatas. Dengan demikian qiyas menjadi sumber hukum untuk peristiwa yang tidak terbatas.
3.      Qiyas adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. Karenanya jika dilarang minum suatu minuman karena memabukan maka logikanya kalau setiap minuman yang memabukan itu diqiyaskan kepada minuman tersebut. Demikian jika diharamkan menjalankan suatu transaksi karena mengandung kemadharatan dan kemadharatan itu diqiyaskan kepadanya.[18]
Dalam hal ini Taj al-Din mengatakan bahwa qiyas menjadi hujjah, kecuali di bidang kebiasaan dan fitrah bawaan  (dalam kasus lamanya waktu haid dan nifas ditentukan oleh kebiasaan,  sedangkan fitrah bawaan adalah darah yang keluar dari rahim ). Qiyas tidak berlaku pada seluruh hukum, juga tidak pada ashl yang telah di nasakh. Nash  tentang ‘illat suatu hukum, walau dari sisi meninggalkan pekerjaan, bukanlah perintah untuk meakukan qiyas.[19]  
Dalam startifikasinya, Taj al-Din menyebut bahwa qiyas terendah dari istiqra yang dapat diterima sebagai hujjah adalah qiyas tamtsili, yaitu penetapan hukum yang sama pada satu bagian (juz’i) karena hukum yang sama juga berlaku pada bagian (juz’i) yang lain. Sementara ( qiyas ) istiqra bermakna menetapkan suatu hukum terhadap keseluruhan bagian karena hukum itu berlaku pada kebanyakan bagiannya. Karena itulah istiqra lebih utama dari qiyas tamtsili. Penguhubungan hukum pada qiyas tamtsili didasarkan pada persamaan ‘illat, sedang pada istiqra sebuah hukum ditetapkan secara umum karena ia ada pada kebanyakan bagiannya.[20]
Adapun golongan yang menolak qiyas dinamai dengan  ( nufatul qiyas), mereka menolak qiyas dengan alasan yang terdapat dalam  al-Qur’an, as-Sunnah. Diantara alasan tersebut adalah :
1.      Agama telah sempurna, sudah tentu tidak ada kekurangan padanya. Maka qiyas tidak diperlukan, kalaupun kita mengqiyas berarti kita tidak mengakui kesempurnaannya[21].
2.      Kalau kita berselisih faham dalam suatu hal, maka untuk keputusannya, hendaklah kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada qiyas[22].
3.      Orang yang menggunakan qiyas tidak merasa cukup dengan al-Qur’an dan as-Sunnah[23].
4.      Mengambil hukum dengan qiyas berarti membelakangkan Allah dan Rasul-Nya.
5.      Nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah keyakinan dan kebenaran, sedang qiyas hanya sangkaan. Maka sangkaan  itu tentulah tidak dapat disamakan dengan keyakinan[24]
6.      Orang yang tidak menghukum dengan hukum Allah  itu zhalim dam kafir[25].
7.      Pimpinan yang menghindarkan kita dari kesesatan itu ialah wahyu Ilahi, bukahlah qiyas.
8.      Allah perintah Nabi Muhammad saw. Berkata, bahwa aku tidak menurut melainkan wahyu dari Allah, bukan qiyas[26].
9.      Rasulullah tidak tinggalkan untuk kita qiyas melainkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Terlepas dari pertentangan kelompok mutsbit al-qiyas  dengan kelompok nufat al-qiyas dan perkembangan peradaban Islam maka makna qiyas pun mengalami evolusi makna, yang awalnya bermakna tunggal yakni adanya kesamaan dengan ijtihad namun pada perkembangan berikutnya sudah mulai ada perbedaan bahwa qiyas merupakan bagian dari ijtihad melalui kritikan terhaap pernyataan al-Syafi’i.
Salah satu ijtihad itu dikemukakan al-Ghazali bahwa penyamaan ijtihad dengan qiyas oleh al-Syafi’i diindikasikan sebagai upaya meminimalisir rasio untuk jadi dalil hukum, karena ia juga  menulis satu bab tentang penolakan istihsan yang tidak sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sementara ulama setelah al-Syafi’i  memberikan ruang yang lebih luas  dalam penggunaan rasio. Al-Ghazali menyatakan bahwa penalaran yang terbaik adalah “mengawinkan” akal dengan dalil sam’i dan mensinergikan rasio dengan syara’, bukan semata mengandalkan akal dan juga tidak bersikap manut  (taqlid) kepada dalil tanpa pembuktian rasional. [27]
Atas dasar diatas, al-Ghazali menerima al-istishlah, sebagai sandaran qiyas pada persoalan yang tidak ada nashnya. Dan maslahah tersebut mesti berkaitan dengan salah satu dari al-dharuriyat al-khams  (agama, jiwa, akal, harta, dan nasab), dan mashlahat yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Bahkan Imam al- Izz al-Dinn ‘Abd as-Salam tidak membatasi penemuan hukum hanya pada qiyas ushuli saja, menurutya ia dilakukan dalam rangka meraih maslahat dan menolak madarat. Artinya ia menjadikan maslahat sebagai sandaran penetapan hukum pada hal-hal yang tidak ada nash, ijma’ dan qiyas khusus. Bahkan lebih awal dari al-Ghazali, gurunya Imam al-Juwaini menafsirkan metode ushuli dalam penetapan hukum yang dimaksud al-Syafi’i dengan pemahaman yang berbeda, bukan bermaksud qiyas ushuli saja, tetapi qiyas dalam makna yang lebih luas lagi.
Dengan demikian sangat jelas, bahwa ulama belakangan memaknai qiyas jauh melampaui qiyas yang dimaksud al-Syafi’i. Hingga kemudian dikesankan bahwa qiyas yang dimaksud al-Syafi’i jadi bagian ijtihad; bukan sinonimnya, dimana ijtihad mewadahi  semua istimbath nash. Jadi pada dasarnya semua methode istimbath  yang dikemukakan dengan istilah yang berbeda, seperti istishlah, urf, dan sebagainya dapat tercakup oleh konsep qiyas, setidaknya disandarkan pada makna umum yang terdapat pada makna ashl, seperti yang dikemukakan oleh sekelompok ulama.
4.      Macam-macam qiyas
Di bawah ini qiyas terdapat berbagai macam pembagiannya , tergantung dari berbagai aspek tinjauannya, secara umum pembagian qiyas terlihat dalam skema berikut ini :




        Qiyas
         Salafi
        Khalafi
Tamsili
Syumuli
Manthiqi
Istiqra’i
 








Dari skema diatas masih dapat diperinci lagi sebagaimana ditinjau dari berbagai aspeknya. Penjelasan pembagian tersebut antara lain :
1.      Qiyas dilihat dari segi kekuatan íllat  yang terdapat pada pokok dan  illat  yang terdapat pada cabang, adalah sebagai berikut :
a.       Qiyas Aulawi
Yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakukan hukum  pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’. Misalnya meng-qiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucara “uff” (berkata kasar) terhadap orang tua  dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah SWT dalam surat al-Isra (17) :
* ... Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? ...
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”...
Keharaman memukul orang tua lebih kuat  dari keharaman mengicapkan “uff” karena sifat menyakiti  pada memukul lebih kuat dari pada yang terdapat pada ucapan “uf”.
b.      Qiyas Musawi
Yaitu qiyas yang kekuatan hukum pada furu’ sama dengan kekuatan hukum  pada ashal  dikarenakan kekuatan ‘illatnya sama .
 Misalkan meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim dengan memakannya dengan tidak sepatutnya dalam hal sama-sama keharamnnya. QS. An-Nsa (4); 2 yang berbunyi :

(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( Ÿwur (#qä9£t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ  
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
c.       Qiyas Adna
Yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan berlakunya hukum pada ashal walaupun memnuhi persyaratan qiyas, seperti mengqiyaskan apel pada gandum dalam menetapkan hukum riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang sejenis.
2.      Qiyas  dilihat  dari  segi cara penarikan konklusi, adalah sebagai berikut :
a.       Qiyas Sumul (Deduktif)
Yaitu metode berfikir deduktif (qiyas syumul) adalah metode berfikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus .
b.      Qiyas Tamsil ( Induktif)
Yaitu metode yang digunakan dalam berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Pada Penalaran Induktif terdapat beberapa bentuk, yaitu generalisasi, silogisme dan analogi. Menurut Gorys Keraf dalam buku Argumentasi dan Narasi, Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi[28]
3.      Qiyas dilihat dari segi kejelasan illat sebagai landasan hukum , adalah sebagai berikut :
a.       Qiyas Jaly
Yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dipastikan tidak ada pengaruhnya. Misalnya meng-qiyas-kan perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan meng-qashar shalat di perjalanan, meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin meskipun perbedaan tersebut dapat dikesampingkan.
b.      Qiyas khofy
Yaitu qiyas  yang ‘illat –nya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya adalah dengan di-istimbathkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illatnya bersifat zhanni . Misalnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda atau senjata tajam dalam penetapan hukum qishash dengan ‘illat pmbunuhan disengaja dalam bentuk permusuhan. Kedudukan ‘illat ini dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’.
4.      Qiyas dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:
a.      Qiyas ma’na,  atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ tersebut seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakannya dengan tidak patut dengan ‘illat merusak harta anak yatim itu, dengan adanya kesamaan itu furu’ seolah-olah ashal itu sendiri.
b.      Qiyas ‘illat, yaitu qiyas yang ‘illatnya dijelskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Seperti mengqiyaskan nabidz kepada  khamr dengan ‘illat  rangsangannya yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan  furu’.
c.       Qiyas dilalah,  adalah qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan aanya ‘illat. Misalkan meng-qiyaskan nabidz kepada khamr dengan menggunakan alasan bau yang menyengat, yang merupkan akibat yang lazim dari rangsangan  kuat dalam sifat memabukkan.
5.      Kedudukan Qiyas dalam Hukum Syara’
1.      Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang dikemukakan oleh para ulama , maka dapat diambil benang merahnya, qiyas adalah penarikan kesimpulan atau inferensi dari suatu masalah hukum  yang telah ditentukan hukumnya oleh nas al-Qur’an da as. Sunnah untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya  oleh nash karena di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat.
Menurut Abu Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far (cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat dilaksanakan apabila di dalam ashal dan far’ itu terdapat keserupaan ‘illat hukum bagi seorang mujtahid, yang akan mengistimbath hukum.
Sementara qiyas dalam pandangan ‘Abd al-Jabbar, adalah membawakan sesuatu kepada sesuatu yang lain dalam sebagian hukum-hukumnya karena ada keserupaan. Qiyas dalam pengertian tersebut merupakan salah satu metode hukum Islam. Kesimpulan hukum yang diperoleh  dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran Islam.
‘Abd al-Jabbar mendasarkan pendangan qiyas-nya, antara lain pada surat al-Nisa (4) ayat 59 :

( ...bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur ...
Artinya :...kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), ...
Juga ayat yang lain , ayat 83 :
...öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqß§9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 ...
Artinya :”...dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)...
Mengembalikan kepada Rasul dan uliy ‘Amry berarti menetapkan
hukum dengan qiyas sekalipun penetapannya berbeda-beda. Dengan demikian Qiyas berdasarkan pengertian para ulama diatas  merupakan salah satu metode hukum Islam. Kesimpulan hukum yang diperoleh berdasarkan qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas[29] sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.




2.      Qiyas Sebagai Metode Penggalian Hukum (ijtihad)
Menurut Imam Syafi’iy, qiyas sama dengan ijtihad. Qiyas dan ijtihad adalah dua lafazh yang mempunyai makna yang sama.[30] Berdasarkan pandangan seperti inilah kiranya al-Syafi’iy menyatakan bahwa sumber hukum Islam hanya empat, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas .adapun ulama dan pakar hukum Islam lainnya ada yang memperluas ijtihad dalam bentuk sitihsan, al-maslahah al-mursalah, dan lain-lain.
Dalam hal berkaitan dengan masalah syari’ah, yang tidak dapat diketahui dengan akal, seperti bagaimana mengetahui analogi dari rincian cara berterima kasih kepada Tuhan, ijtihad diperlukan dalam rangka mencari hal-hal yang mengandung kemaslahatan (al-Shalah) bagi manusia, atas dasar dugaan yang kuat  (ghalib al-zhan) dari pemahaman seorang mujtahid atas dalil al-Sam’i. Yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah semua hal yang  akan membawa manusia kepada ketaatan dan akan menjauhkan manusia dari maksiat.
Berdasarkan hal tersebut , ijtihad dalam pandangan Abd al-Jabbar merupakan kelanjutan dari pemikiran analogi (al-Qiyas) yang tidak mungkin ditutup atau dihentikan  karena masyarakat selalu berkembang dan berubah. Pemikiran Abd al-Jabbar yang demikian sejalan dengan Imam al-Syafi’i yang berpendapat bahwa ijtihad itu adalah al-qiyas. Dalam berbagai persoalan syari’ah, al-qiyas inilah yang banyak digunakan oleh Imam al-Syafi’i maupun oleh Abd al-Jabbar, sebagai metode ijtihad untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan baru yang muncul di masanya yang secara tegas tidak dinyatakan baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah .
Ijtihad dengan metode al-qiyas dapat menghasilkan berbagai perintah atau taklif baru, baik itu diperintah untuk melakukan ataupun perintah untuk meninggalkan sesuatu, yang sama hukumnya seperti terkandung dalam al-Qur’an atau as-Sunnah.[31]

C.     Kesimpulan
Qiyas sebagai metode istimbah al-hukm, pada hakekatnya, adalah pencarian dan penetapan ‘illat. Dengan demikian, pembahasan ‘illat menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan ada atau tidaknya hukum  (al- hukm yaduru ma’a ‘illatihi  wujudan wa ‘adaman), maka qiyas identik dengan ijtihad.
Qiyas pada dasarnya penerapan hukum yang terdapat dalam ashal  kepada  far (cabang) , yang belum terdapat didalamnya suatu hukum, qiyas dapat dilaksanakan apabila di dalam ashal  dan  far itu terdapat keserupaaan ‘illat hukum bagi seorang mujtahid, yang akan meng-istimbath hukum.
Seiring perkembangan peradaban keilmuan makna qiyas mengalami evolusi yang semula makna qiyas hanya yang dimaksud al-Syafi’i saja namun saat ini makna qiyas lebih luas. maka makna qiyas dapat mengakomodir  dan mewadahi  semua metode istimbath nash walaupun dengan makna yang berbeda. Namun setidaknya disandarkan pada makna umum yang terdapat pada ashal.
Hukum yang diperoleh dengan metode qiyas  menjadi sumber hukum dan ajaran Islam. Dan ini telah dicontohkan Rasulullah SAW, dan para Sahabat. Oleh karena itu kedudukan qiyas dalam sumber hukum Islam sebagai sumber hukum yang ke empat setelah al-Qur’an , as-Sunnah dan al-Ijma’. Karenanya melakukan qiyas adalah fardlu kifayah bagi mujtahid, ketika ada dalil lain, qiyas menjadi hujjah.





Daftar Pustaka

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
As-Syafi’i, Muhammad bin Idris,  Ar-Risalah, Darul Fikri, 1309 H.
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqh,  Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Desertasi,  Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998
Hassan, Ijma’ Qiyas Madzhab Taqlid, Laznah Penerbitan Pesantren PERSIS, Bangil, 1984.
Hudhari Baik,  Muhammad,  Kitab Ushul Fiqih , Darl Fikr.1988 M,1409 H.
Husni,  Desertasi Metodologi Ijtihad Muamalah dan Relevansinya dengan Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Jakarta, 2000.
A.    Jazuli, Aen, Nurol, Ushul Fiqih Metodoogi Hukum Islam, RajaGrafindo,
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Darl Kuwaitiyah, 1986.
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih Untuk STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Yahya,  Mukhtar, Fatchurrahman,  Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, AL-Ma’arif, Bandung, 1986.
Zuhaily, Wahbah, Kitab Ushul Fiqih Islamy, Darul Fikri.





[1] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Ar-Risalah, Dar al-Fikr, Tt, hal 377, No 1326.
[2] Dikutif dari Desertasi  Husni (2016),lihat: Muhammad bin Muaram Ibn Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar Shadir, tt), Juz 6, hal 187.
[3] Husni, Desertasi Metodologi Ijtihadiyah Muamalah dan Relevansinya dengan Perudang-undangan Indonesia, Studi Naskah “Jam’u al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh, UIN, Bandung, 2016, hal.60
[4]  As-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Ar- Risalah,  Darul Fikr, 1309 H, hal. 479
[5] Abdul Wahab Kholaf, IlmuUshul al-Fiqh, Darul Kutiyah,  1968, Hal. 62
[6] Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada asal (pokok) yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum  pada asal dan untuk mengetahui hukum pada cabang yang hendak dicari hukumnya.
[7] Khudlari Bek, Muhammad, Kitab Ushul Fiqih, Dar al-Fikr, Tahun 1988 M/ 1409 H, hal. 293
[8][8][8] Kenyatannya illat mengikuti  mashlahat atau mafsadat, ini adalah pendapat golongan Mu’tazilah. Lihat: Disertasi Husni, h. 183, lihat : Abu Husyn al-Bashri, al-mu’tamad..., Juz 2, h. 1073 dan 1042
[9] Illat sebagai penolak, menghalangi hukum yang akan terjadi, tapi tidak mencabut hukum itu seandainya illat tersebut terdapat pada satu hukum tengah berlaku. Contohnya iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi  terjadinya perkawinan dengan laki-laki lain, tapi iddah tidak mencabaut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan (watha’ subhat). Idah dalam hal ini adalah iddah syubhat. Lihat:  al-Zarkasyi, Tasynif...,juz 3, h. 121
[10] Illat sebagai mencabut hukum adalah yang hanya mencabut kelangsungan hukum, tapi ia tidak menolak  munculnya hukum baru setelah hukum pertama berjalan. Contohnya, talak mencaut hak bergaul  suami istri , tetapi tidak menghalangi hak itu jika mereka rujuk, karena memang mereka boleh menikah atau rujuk lagi  sesudah adanya talak itu. Ibid.
[11] Illat sebagai pencabut dan penolak yaitu yang dapat mencegah suatu hukum dan sekaligus mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.  Contoh sifat radha’  (hubungan sepersusuan), mencegah terjadinya perkawinan antara orang yang sepersusuan  dan sekaligus mencaut atau membatalkan  hubungan[erkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susuan itu terjadi.  (diketahui) setelah perkawinan berlangsung. Ibid.
[12] QS. An-Nisa (4); 59.
[13] Acep Dzazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqih  Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 125
[14] QS. AL-Hasyr (59); 2.
[15] Maktabah Syamilah, Ushul Fiqh
[16] Imam al-Syafi’i,  Ar-Risalah, diterjemahkan oleh Ahmad Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 227.
[17] Mukhtar Yahya & Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh  Islam, Al-Maarif, bandung, hal. 74.
[18] Ibid hal. 74
[19] Lihat Disertasi Husni, Metodologi Ijtihad Muamalah..., UIN SGB , Bandung, 2016
[20] Ibid
[21] QS. Al-Maidah; 5
[22] QS. An-Nisa; 59
[23] QS. AL-Ankabut; 51
[24] QS. Yunus; 36
[25] QS. Al-Maidah; 47
[26] QS. Al-An’am , 50
[27] Husni, Metodoligi Ijtihad Muamalah hal. 66
[28] Gorys Keraf, 1994 : 43 Keraf, Gorys. 1994. Argumentasi dan Narasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Tama
[29] Muhammad Mas’ud mengutip dari Disertasi Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998
[30] Muhammad Idsris a;-Syafi’iy, ar-Risalat, Makabah Dar al-Turas, Kairo, 1979, hlm, 476-477, dikutip dari Desertasi  Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998

[31] Desertasi  Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya

MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA

Kaidah Fiqhiyah Kebahasaan