Analogical Reasoning (Qiyas sebagai SUmber Hukum Islam)
QIYAS
(Analogical
Reasoning)
Solihah Sari Rahayu, MH
Dosen Fak. Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
A.
Pendahuluan
Seribu
Empat Ratus tahun tiga puluh sembilan (1439)
tahun yang lalu al-Qur’an diturunkan, masa kenabian telah berlalu begitu
lama, walaupun begitu kenabian Muhammad
memenuhi kebutuhan lintas waktu dan tempat. Nabi Muhammad hadir membawa
al-Qur’an sebagai pesan Allah hingga akhir zaman. Di zaman sekarang ini permasalahan
hidup semakin komplek, kebutuhan akan berijtihad adalah sebuah keharusan. Berijtihad melalui qiyas menjadi sangat
penting karena menunjukan keuniversalan Islam dan kefleksibelan hukum Islam dalam memberikan kesempatan untuk menemukan
jawaban atas setiap permasalahan hidup.
Banyak
kasus sosial yang tidak ada nash hukumnya membuat masyarakat semakin tidak
karuan, karena itu qiyas sebagai satu-satunya cara / metode untuk menjawab
semua permasalahan masa kini. Hanya dengan qiyas semua permasalahan akan
selesai, qiyas sebagai satu-satunya metode solusi yang sangat cocok dan
kekinian sehingga Islam (al-Qur’an) akan selalu relevan dengan situasi dan
kondisi apapun hingga akhir zaman.
Imam al-Syafi’i sebagai tokoh utama
yang menggunakan qiyas mengatakan dalam ar-Risalahnya bahwa :
قلت كل ما نزل بمسلم ففيه
حكم لازم أو على سبيل
الحق فيه دلالة
موجودة وعليه إذا كان فيه حكم اتباعه وإذا لم يكن فيه بعينه طلب الدلالة على سبيل
الحق فيه بالاجتهاد والاجتهاد القياس
" Semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan
seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya
ada ketentuan umum yang menunjuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum
itu harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas (analogi).[1]
Pernyataan diatas sangat jelas bahwa
qiyas adalah sama dengan ijtihad karena merupakan metode penggalian hukum saat
ini yang membuat umat Islam tetap menjadi kelompok yang maju. Rasulullah SAW.
Mengajarkan ijtihad kepada para sahabat agar mereka dapat menemukan solusi atas
berbagai masalah baru.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Qiyas
Qiyas
menurut bahasa Arab ada dua makna (mashdar dari fi’l qas – yaqis),yaitu
mengukur (taqdir) dan seimbang ( musawah; taswiyah).[2].
namun dalam wacana Ushuliyyin, ada tiga makna
lain qiyas, yaitu menggambarkn
(i’tibar),
penemuan (ishabah), dan mirip ( mumatsalah). Makna
terminologisnya adalah memulangkan (hukum) far kepada (hukum) ashl
karena persamaan ilat keduanya .
Sedangkan pengertian qiyas menurut al-Syafi’i
selaku penggagas qiyas adalah berikut ini :
والقيس ما طلب
بالدلاءل علي موافقة الخبر المتقد م, من الكتب والسنة
Qiyas adalah
pencarian berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan nash yang datang lebih
awal, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.[3]
Menurut
Imam as-Syafi’i yang dapat dijadikan pijakan penjelasan substansinya adalah
sebagai berikut:
القياس
من وجهين : احدهما ان يكون الشيئ في معن الاصل
, فلا يختلف القياس فيه . وان يكون
الشيئ له في الاصول اشباه , فذالك يلحق بأولاها به واكثرها شبها فيه . وقد يختلف
القا يسون في هاذا
Qiyas dapat terjadi dari dua sisi : Pertama, sesuatu (far’u)sesuai
dengan makna )[4]
Ashl, pada kasus seperti ini tidak diperdebatkan penerapan qiyas. Kedua, sesuatu yang memiliki
kemiripan dengan ashl. Di sini kasus tersebut dihubungkan kepada ashl
yang lebih awal dan yang terbanyak kemiripannya. Namun terdapat berbagai
perbedaan ahli qiyas pada kasus seperti ini.
Pada bagian lain dalam ar-Risalahnya
menyebutkan sebagai berikut ;
كل حكم لله او
لرسوله وجدت عليه دلاله فيه او في غيره من
احكام الله او رسوله بانه حكم به لمعني من المعاني, فنزلت نازلة ليس فيها نص حكم :
حكم فيها حكم النازله المحكوم فيها , اذا كانت في معناها
Semua ketetapan
Allah dan Rasul-Nya mengandung dalalah, baik pada ketetapan ini maupun pada
hukum-hukum yang lain, bahwa ketetapan itu didasarkan pada satu dari berbagai
makna. Kemudian kalau ada persitiwa yang tidak terkait dengn nash hukum yang
ada far’ , maka hukumnya ditetapkan sesuai peristiwa yang telah ada
hukumnya (ashl), kalau far’ itu semakna dengan ashl.
Dalam pengertian diatas al-Syafi’i
memiliki konsep tersendiri yaitu semua metode yang untuk penemuan hukum syara’
yang tidak terdapat dalam nash. Sebagaimana dikatakan olehnya bahwa
setiap peristiwa yang dihadapi muslim terdapat hukum yang pasti atau dengan
metode yang benar didalamnya terdapat petunjuk. Jika secara implisit didalamnya
terdapat aturan tinggal mengikutinya, maka jika secara implisit tidak ditemukan
, maka dicari dalil ( indikasi ) yang terdapat dalam aturan yang diturunkan itu
dengan metode yang benar yaitu dengan jalan ijtihad.
Adapun
qiyas secara terminologi para ahli ushul mendefinisikan bahwa qiyas adalah
الحاق واقعة
لا نص علي حكمها بواقعة ورد نص بحكمها , في الحكم الذي ورد به النص , لتساوي
الواقعتين في علة هاذا الحكم
Mempersamakan
hukum suatu peristwa yang tidak ada nashnya dengan suatu hukum yang ada
nashnya, karena ada kesamaan illat hukum dari kedua peristiwa tersebut[5].
Pendapat
diatas sependapat dengan al-Syafi’i yang mengatakan bahwa dibolehkan istimbath
al-hukm melalui qiyas terutama pada
peristiwa yang tidak ada nashnya hanya saja diharuskan adanya ‘illat al-hukm yang
mempersamakan kedua peristiwa tersebut, karena pada dasarnya setiap peristwa
yang terjadi selalu ada dalalah al-hukm yang dapat dijadikan petunjuk
melalui metode yang benar.
Dari
definisi diatas dapat difahami dengan bahasa yang sederhana bahwa qiyas adalah
menggiring peristiwa yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Haditsnya dengan
bersandar kepada peristiwa yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Atau dengan kata lain menetapkan hukum
suatu peristiwa yang belum ada dasar hukumnya dengan cara membandingkan pada
suatu peristiwa yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan ‘illat[6]
(alasan) antara kedua peristiwa tersebut.
Proses
menyamakan , membandingkan kedua peristiwa itu dilakukan melalui sebuah metode
ushul fiqh yang kita sebut qiyas. Produk yang dihasilkan dari penyamaan dan
perbandingan hukum tersebut adalah fiqh. Menurut para ahli hukum, bahwa hukum
fiqih yang dihasilkan dari proses qiyas memiliki kekuatan hukum yang valid dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Pada
hakekatnya qiyas termasuk kedalam proses berfikir alamiah, karena itu Imam As-
Syafi’i menyamakan qiyas dengan ijtihad. Jika dilihat dari aspek sejarahnya
bahwa qiyas berawal dari logika para filosof yang berkembang di Yunani kemudian
di tranformasi menjadi khazanah
kebudayaan Islam di masa khalifah Al-Makmun.
Seiring
perkembangan pola pikir manusia, dalam klasifikasinya al-Syafi’i menempatkan orang yang cakap
melakukan qiyas sebagai peringkat tertinggi umat secara keilmuam. Ia membagi
manusia jadi tiga tingkatan: Pertama awam, yaitu mereka yang mengetahui
segala kewajiban yang dikandung al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, khusus (khashash),yaitu
mereka mengetahui hukum secara lebih rinci
dan mendalam. Mereka dapat meng-istimbath hukum dari al-qur’an dan
al-Sunnah, mengetahui khabar ahad, dengan syarat-syarat penerimaannya serta
mendalami hal-hal yang bertentangan dengan khabar itu. Ketiga, sangat
khusus (khashash lil ak-khashash) yaitu, mereka yang memiliki kemampuan
berijtihad , yaitu memahami illat hukum dan cakap melakukan qiyas.
Juga
seiring berkembangnya peradaban manusia , maka permasalahan yang terjadi
semakin kompleks, sehingga sebagai sumber hukum yang utama (al-Quran dan
al-Sunnah) masih diperlukan pemahaman secara mendalam
untuk memecahkan permasalahan dan solusi dari permasalahan yang terjadi melalui
tahapan ijtihad (ijma dan qiyas).
2.
Rukun
dan Syarat Qiyas
Yang
termasuk kedalam rukun qiyas seperti yang diungkapkan oleh Hudlori Bek berikut
ini :
1.
Al-Asl
(pokok)
2.
Al-Hukmu
al-Asl ( hukum asal)
3.
Al-far’u
(Cabang)
4.
Wasfun
Jami’un au al-‘Illat [7]
Yang
dimaksud dengan al-asal (pokok), yaitu tempat hukum yang jadi rujukan (al-maqis
alaih, al-mahmul alaih, al-musabbah bih); ada pendapat dalilnya dan pendapat lain
hukumnya. Hukum asal ( al-hukm al-ashl) adalah hukum syara’ yang
ditetapkan oleh nash dan untuk menetapkan sebuah peristiwa hukum. Far adalah suatu peristiwa yang tidak ada nashnya , yang akan diserupakan kepada
asal, disebut pula dengan maqis atau musabbah. Atau sebagai wadah yang
diserupakan kepada ashl. Sifat jaami’un (illat) adalah suatu
sifat yang terdapat pada peristiwa yang asal. Yang karena adanya sifat itu,
maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu
terdapat pada cabang , maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum
peristiwa yang asal.
Menurut
ahl a-haqq (ahli Sunnah) ia
bermakna sesuatu yang jadi pengenal (al-mu’arif) hukum. Di sini hukum ashal jadi
ada dengan adanya ilat. Berbeda dengan
ulama Hanafiyah, (menyebut berdasar nash). Makna lain , illat adalah penentu
hukum secara mandiri (al-mu’atstsir bi dzatih)[8].
Menurut al-Ghazali, ia menentukan hukum dengan izin Allah. Menurut al-Amidi,
illat adalah pemicu hukum. Kadang ia berfungsi menolak[9]
hukum atau mencabutnya[10]
atau melakukan dua fungsi sekaligus[11].
Dalam
pemahamannya dapat dilihat dalam skema berikut ini :
افعال المكلف
|
منصوص
|
غير منصوص
|
الا صل
|
الفرع
|
العلة / Sifat Homonim
|
القياس
|
Sumber : Dirangkum
dari berbagai sumber
Berikut
ini beberapa contoh penetapan hukum melalui qiyas , antara lain :
1.
Haramnya
obat-obatan terlarang, perasan anggur, sabu, oplosan dan sebagainya diqiyaskan
dengan meminum khamr sebagai hukum asal karena ada illat yang sama yakni
memabukkan.
2.
Haramnya
bertransaksi pada saat adzan Jum’at baik itu gadai, sewa menyewa, atau berbagai
macam transaksi dalam muamalah, diqiyaskan dengan larangan jual beli pada saat
adzan Jum’at sebagai hukum asal karena
adanya ‘illat melalaikan terhadap pelaksanaan sholat.
3.
Tidak
dijatuhi hukuman had atas pencurian yang terjadi pada suami istri, diqiyaskan
kepada pencurian anak terhadap ayahnya dengan illat adanya percampuran
kepemilikan diantara keduanya.
Sesuai
contoh diatas pada kasus haramnya obat-obatan terlarang, perasan anggur, miras
oplosan dan sebagainya, maka dapat diuraikan rukun qiyas tersebut sebagai
berikut :
1.
Asal
(pokok) pada kasus tersebut adalah khamar,
2.
Hukum
asal adalah haram,
3.
Al-far’u
(cabang) adalah obat-obatan terlarang, miras oplosan dsb.
4.
‘Illat
nya (alasannya) adalah memabukkan.
Yang
menjadi asal pada kasus diatas
adalah khamar, dan khamr tersebut
telah ditetapkan keharamnya sebagaimana firman Allah SWT
dalam Surat Al-Maidah ayat: 90.
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$#
çŽÅ£øŠyJø9$#ur
Ü>$|ÁRF{$#ur
ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘
ô`ÏiB È@yJtã
Ç`»sÜø‹¤±9$#
çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9
tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya
:”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”
Haramnya narkotika di
qiyaskan pada keharaman khamar sebagai hukum asal, dan narkotika dikategorikan sebagai cabang
(al-far’u) yang diqiyaskan dengan Khamr
karena mempunyai persamaan illat yaitu dampak yang memabukkan. Sehingga memabukkan, menghilangkan akal sehat, merusak organ-organ
di dalam tubuh, dan membuat ketergantungan termasuk illat atau alasan
diharamkannya narkotika.
Demikian
juga pada kasus bertransaksi pada saat adzan jum’at. Yang menjadi asal
adalah jual beli saat adzan jum’at dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Asal
pada kasus bertransaksi saat adzan Jumat adalah jual beli
2.
Hukum
asal adalah haram, yang menjadi
3.
Al-far’u
adalah gadai, sewa menyewa, dan transaksi lain,
4.
‘Illatnya
melalaikan sholat fardu jum’at.
Demikian
pula pada kasus-kasus yang lain jika akan melakukan istimbath hukum melalui
qiyas maka harus memenuhi dari ke empat rukun tersebut. Pada masing-masing
rukun tersebut terdapat beberapa persyaratan yakni persyaratan pada asal, furu
dan ‘illat.
Adapun
syarat-syarat Asal, Furu’ dan Illat sebagai berikut :
a.
Syarat-syarat
Asal (الا صل )
Tidak disyaratkan adanya indikasi
kebolehan qiyas atas bagian atau fard-nya. Juga tidak
disyaratkan adanya kesepakatan adanya ilat padanya, tapi ada yang tidak
sependapat.
b.
Syarat-syarat
Hukum Asal (الحكم الا صل )
1). Hukum asal harus selalu yang
terbit, artinya hukumnya belum di mansukh, karena bila telah di mansukh
tidak mungkin meng-qiyas kan hukumnya kepada far’u.
2). Hendaklah hukum yang dietapkan
pada asal itu adalah atas penetapan syara’ bukannya penetapan bahasa,
akal, dan lain-lain karena yang akan di qiyas adalah hukum syara’
3). Hukum asal tidaklah satu hukum
pengecualian . sebagaimana dalam Islam. Dikecualikan bagi orang yang
terlupa (makan dan minum) dalam bulan
puasa (tidak membatalkan puasanya), pengecualian yang demikian tidak dapat di-qiyas-kan
terhadap yang lain. Seperti pada orang yang dipaksa pada bulan puasa , dalam
hal ini batallah puasanya.
4). Hukum asal tidak bersifat ta’abudi
berdasar dalil qath’i
5). Adanya hukum asal bukan
berdasarkan qiyas dan juga bukan berdasar ijma’
6). Hukum asal bukan far
kalau tidak nyata mandaat peng-qiyas-annya.
7). Dalil hukum asal tidak mencakup
hukum far.
8) keberadaan hukum asal itu
disepakati, menurut sebagian di antara ummat.
b. Syarat-syarat furu’
(الفرع )
1).
Hukum asal lebih dulu datangnya daripada hukum furu’
2).
‘illat yang terdapat pada furu’ harus sama dengan ‘illat
yang terdapat pada asal
3).
Hukum yang ditetapkan pada far’u harus sama dengan hukum yang
ditetapkan pada asal.
c.Syarat-syarat
‘illat (العلة )
1).
‘illat harus bersifat mengikuti tetapnya hukum. Yakni selama ada
‘illat tersebut. Selama itu pula ada hukum padanya.
2).
‘illat harus mengikuti
tiadanya hukum, bila ;illatnya hilang, maka hilang pula hukum yang
ditetapkan atau hukum yang tetap atas dasar ‘illat tersebut.
3).
‘illat tidak boleh menyalahi nash, bila satu ‘illat menyalahi
nash maka tidak sah dilakukan qiyas padanya.
4). ‘illat yang lebih dari satu maka dilakukan as-sabru
wa al-taqsim ( pengelompokan ‘illat dan penentuan salah satunya).
3.
Kehujjahan
Qiyas
Berpijak
dari pengertian qiyas diatas, yang berimplikasi terhadap kehujjahan qiyas, para
ulama terbagi kepada kelompok yang
membolehkan qiyas dan yang tidak membolehkan untuk dijadikan sumber hukum
setelah ijma’. Diantara ulama yang membolehkan qiyas adalah jumhur ulama yang
dinamai oleh ahli ushul dengan golongan mutsbitul qiyas (
golongan yang menetapkan kehujjahan qiyas).
Adapun
ulama yang membolehkan qiyas adalah Jumhur Ulama diantaranya Imam al-Syafi’i
beralasan dengan berdasar pada al-Qur’an, As-Sunnah, Qaol Para Sahabat dan
Logika. Ayat al-Quran tersebut berbunyi berikut ini :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya :” Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[12]
Dalam
surat An-Nisa ayat 59 nampak jelas bahwa
jika dihadapkan dengan permasalahan hukum, Allah telah memerintahkan untuk
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Lafadz çnr–Šãsù (mengembalikan kepada Allah dan RosulNya) dalam ayat tersebut berarti menyamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya kepada peristiwa yang sudah ada nashnya,
lantaran ada persamaan ‘illat hukumnya. Sebagaimana dalam kaidah fiqh yang
mengatakan :
الحكم
يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum tergntung kepada ada atau tidak adanya illat”[13]
Dalam ayat yang
lain dikatakan :
uqèd ü“Ï%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4
$tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs† (
(#þq‘Zsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]ø‹ym óOs9 (#qç7Å¡tGøts† (
t$x‹s%ur ’Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã”9$# 4
tbqç/Ìøƒä† NåksEqã‹ç/ öNÍk‰Ï‰÷ƒr'Î/ “ω÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<'ré'¯»tƒ Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Artinya :” Dia-lah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.[14]
Demikian
dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi
dimasa itu dan Allah memerintahkan #rçŽÉ9tFôã$$sù ( mengambil
ibarat) maksudnya mengambil perumpamaan
dengan menganalogikan (qiyas)
keadaan yang terdapat pada diri kita dengan keadaan yang terjadi pada peristiwa
tersebut.
Selain
ayat al-Qur’an, alasanya kebolehan qiyas terdapat dalam as-Sunnah berikut ini :
حديث معاذ بن جبل أن رسول الله لما أراد أن يبعثه إلى اليمن، قال له:
"كيف تقضي إذا عرض لك قضاء ؟" قال: أقضي بكتاب الله ، فإن لم أجد فبسنة
رسول الله، فإن لم أجد اجتهد رأيي ولا آلو، فضرب رسول الله على صدره وقال:
"الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله"[15]
Artinya
:” Hadits Muadz bin Jabal ketika Rasulullah SAW. Akan mengutus Muadz ke Yaman,
berkata kepada Muadz : “Bagaimana kamu akan memutusi apabila kamu dihadapkan
suatu perkara ? Muadz menjawab : Saya akan menghukum dengan Kitabullah, apabila
tidak ditemukan dalam Kitabullah maka saya akan menghukum dengan Sunnah
Rasullullah, apabila tidak ditemukan dalam Sunnah Rasulullah maka saya akan
berijtihad dengan segenap pikiranku”. Maka kemudian Rasulullah menepuk dada
saya dan bersabda :” Segala puji milik Allah yang telah membimbing utusan
Rasulullah karena telah membuat keridloan Allah dan RasulNya”.
Hadits
diatas menyatakan bahwa Rasulullah membolehkan berijtihad melalui qiyas, yakni
mengerahkan seluruh pikiran dalam mencari ketetapan hukum baik dengan cara
menganalogikan suatu peristiwa yang belum ada ketetapan hukum kepada yang sudah
ada ketetapan hukumnya ataupun mengambil suatu ibrah (perumpamaan) dalam
kasus hukum yang sama ‘illat hukumnya.
Menurut
Imam al-Syafi’i dalam ar-Risalah menyamakan antara ijtihad dengan qiyas,
menurutnya bahwa semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim
tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya ada ketentuan
umum yang merujuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari
dengan ijtihad, dan ijtihad itu tidak lain adalah qiyas (analogi)[16].
Alasan
yang ketiga ulama yang membolehkan qiyas
adalah perbuatan dan perkataan para sahabat. Para sahabat seringkali berijtihad
pada peristiwa yang tidak ada nashnya dan mengqiyaskan kepada peristiwa yang
ada nashnya. Seperti contoh mengqiyaskan kekhilafahan dengan imam sholat, pada
saat pembaiatan Sayyidina Abu Bakar ra. untuk menjadi khalifah diqiyaskan
kepada peristiwa Nabi Muhammad saw.
Menyuruh imam sholat kepada Sayyidina Abu Bakar disaat beliau sakit. Para
sahabat berkata : “ Rasulullah saw. Telah meridloi Sayyidina Abu Bakar
menyerahkan urusan akhirat, kenapa tidak, kita meridloi pula urusan dunia
kepada Sayyidina Abu Bakar ra.[17]
Logika
sebagai salah satu alasan para ulama untuk melakukan qiyas Jika suatu peristiwa
hukum tidak terdapat dalam nash, analisa-analisa logis yang digunakan untuk
menetapkan kehujjahan qiyas adalah sebagai berikut :
1.
Allah
swt menurunkan nash al-Qur’an sebagai perundang-undangan. Suatu
perundang-undangan tentu memiliki tujuan, yakni kemaslahatan. Kemaslahatan yang
menjadi tujuan akhir, karena apabila ada kasus yang tidak ada nashnya namun ada
illat yang sama pada kasus yang sudah ada nashnya, maka sangat adil kalau qiyas
jalan yang paling tepat untuk mencapai kemaslahatan.
2.
Ayat-ayat
al-Qur’an dan as-Sunnah itu adalah terbatas, sedangkan peristiwa yang terjadi
pada manusia tidak terbatas, oleh karena itu tidak mungkin nash yang terbatas
menjadi sumber untuk suatu peristiwa hukum yang tidak terbatas. Dengan demikian
qiyas menjadi sumber hukum untuk peristiwa yang tidak terbatas.
3.
Qiyas
adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. Karenanya
jika dilarang minum suatu minuman karena memabukan maka logikanya kalau setiap
minuman yang memabukan itu diqiyaskan kepada minuman tersebut. Demikian jika
diharamkan menjalankan suatu transaksi karena mengandung kemadharatan dan
kemadharatan itu diqiyaskan kepadanya.[18]
Dalam
hal ini Taj al-Din mengatakan bahwa qiyas menjadi hujjah, kecuali
di bidang kebiasaan dan fitrah bawaan
(dalam kasus lamanya waktu haid dan nifas ditentukan oleh kebiasaan, sedangkan fitrah bawaan adalah darah yang
keluar dari rahim ). Qiyas tidak berlaku pada seluruh hukum, juga tidak
pada ashl yang telah di nasakh. Nash tentang ‘illat suatu hukum, walau dari
sisi meninggalkan pekerjaan, bukanlah perintah untuk meakukan qiyas.[19]
Dalam
startifikasinya, Taj al-Din menyebut bahwa qiyas terendah dari istiqra
yang dapat diterima sebagai hujjah adalah qiyas tamtsili, yaitu penetapan hukum
yang sama pada satu bagian (juz’i) karena hukum yang sama juga berlaku pada
bagian (juz’i) yang lain. Sementara ( qiyas ) istiqra bermakna menetapkan suatu
hukum terhadap keseluruhan bagian karena hukum itu berlaku pada kebanyakan
bagiannya. Karena itulah istiqra lebih utama dari qiyas tamtsili. Penguhubungan
hukum pada qiyas tamtsili didasarkan pada persamaan ‘illat, sedang pada istiqra
sebuah hukum ditetapkan secara umum karena ia ada pada kebanyakan bagiannya.[20]
Adapun
golongan yang menolak qiyas dinamai dengan ( nufatul qiyas), mereka menolak qiyas dengan
alasan yang terdapat dalam al-Qur’an,
as-Sunnah. Diantara alasan tersebut adalah :
1.
Agama
telah sempurna, sudah tentu tidak ada kekurangan padanya. Maka qiyas tidak
diperlukan, kalaupun kita mengqiyas berarti kita tidak mengakui kesempurnaannya[21].
2.
Kalau
kita berselisih faham dalam suatu hal, maka untuk keputusannya, hendaklah kita
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada qiyas[22].
3.
Orang
yang menggunakan qiyas tidak merasa cukup dengan al-Qur’an dan as-Sunnah[23].
4.
Mengambil
hukum dengan qiyas berarti membelakangkan Allah dan Rasul-Nya.
5.
Nash
al-Qur’an dan as-Sunnah adalah keyakinan dan kebenaran, sedang qiyas hanya
sangkaan. Maka sangkaan itu tentulah
tidak dapat disamakan dengan keyakinan[24]
6.
Orang
yang tidak menghukum dengan hukum Allah
itu zhalim dam kafir[25].
7.
Pimpinan
yang menghindarkan kita dari kesesatan itu ialah wahyu Ilahi, bukahlah qiyas.
8.
Allah
perintah Nabi Muhammad saw. Berkata, bahwa aku tidak menurut melainkan wahyu
dari Allah, bukan qiyas[26].
9.
Rasulullah
tidak tinggalkan untuk kita qiyas melainkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Terlepas
dari pertentangan kelompok mutsbit al-qiyas dengan kelompok nufat al-qiyas dan
perkembangan peradaban Islam maka makna qiyas pun mengalami evolusi
makna, yang awalnya bermakna tunggal yakni adanya kesamaan dengan ijtihad namun
pada perkembangan berikutnya sudah mulai ada perbedaan bahwa qiyas merupakan
bagian dari ijtihad melalui kritikan terhaap pernyataan al-Syafi’i.
Salah
satu ijtihad itu dikemukakan al-Ghazali bahwa penyamaan ijtihad dengan qiyas
oleh al-Syafi’i diindikasikan sebagai upaya meminimalisir rasio untuk jadi
dalil hukum, karena ia juga menulis satu
bab tentang penolakan istihsan yang tidak sejalan dengan al-Qur’an dan
Sunnah. Sementara ulama setelah al-Syafi’i
memberikan ruang yang lebih luas
dalam penggunaan rasio. Al-Ghazali menyatakan bahwa penalaran yang
terbaik adalah “mengawinkan” akal dengan dalil sam’i dan mensinergikan
rasio dengan syara’, bukan semata mengandalkan akal dan juga tidak bersikap
manut (taqlid) kepada dalil tanpa
pembuktian rasional. [27]
Atas
dasar diatas, al-Ghazali menerima al-istishlah, sebagai sandaran qiyas
pada persoalan yang tidak ada nashnya. Dan maslahah tersebut mesti berkaitan
dengan salah satu dari al-dharuriyat al-khams (agama, jiwa, akal, harta, dan nasab), dan
mashlahat yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Bahkan Imam
al- Izz al-Dinn ‘Abd as-Salam tidak membatasi penemuan hukum hanya pada qiyas
ushuli saja, menurutya ia dilakukan dalam rangka meraih maslahat dan menolak
madarat. Artinya ia menjadikan maslahat sebagai sandaran penetapan hukum pada
hal-hal yang tidak ada nash, ijma’ dan qiyas khusus. Bahkan lebih awal dari
al-Ghazali, gurunya Imam al-Juwaini menafsirkan metode ushuli dalam penetapan
hukum yang dimaksud al-Syafi’i dengan pemahaman yang berbeda, bukan bermaksud
qiyas ushuli saja, tetapi qiyas dalam makna yang lebih luas lagi.
Dengan
demikian sangat jelas, bahwa ulama belakangan memaknai qiyas jauh
melampaui qiyas yang dimaksud al-Syafi’i. Hingga kemudian dikesankan
bahwa qiyas yang dimaksud al-Syafi’i jadi bagian ijtihad; bukan
sinonimnya, dimana ijtihad mewadahi
semua istimbath nash. Jadi pada dasarnya semua methode istimbath
yang dikemukakan dengan istilah yang
berbeda, seperti istishlah, urf, dan sebagainya dapat tercakup oleh konsep
qiyas, setidaknya disandarkan pada makna umum yang terdapat pada makna ashl,
seperti yang dikemukakan oleh sekelompok ulama.
4.
Macam-macam
qiyas
Di
bawah ini qiyas terdapat berbagai macam pembagiannya , tergantung dari berbagai
aspek tinjauannya, secara umum pembagian qiyas terlihat dalam skema berikut ini
:
Qiyas
|
Salafi
|
Khalafi
|
Tamsili
|
Syumuli
|
Manthiqi
|
Istiqra’i
|
Dari
skema diatas masih dapat diperinci lagi sebagaimana ditinjau dari berbagai
aspeknya. Penjelasan pembagian tersebut antara lain :
1.
Qiyas
dilihat dari segi kekuatan íllat yang terdapat pada pokok dan illat yang terdapat pada cabang, adalah sebagai
berikut :
a.
Qiyas
Aulawi
Yaitu qiyas
yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakukan
hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat
pada furu’. Misalnya meng-qiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucara
“uff” (berkata kasar) terhadap orang tua
dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah SWT dalam surat
al-Isra (17) :
* ... Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? ...
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka”...
Keharaman
memukul orang tua lebih kuat dari
keharaman mengicapkan “uff” karena sifat menyakiti pada memukul lebih kuat dari pada yang
terdapat pada ucapan “uf”.
b.
Qiyas Musawi
Yaitu qiyas
yang kekuatan hukum pada furu’ sama dengan kekuatan hukum pada ashal
dikarenakan kekuatan ‘illatnya sama .
Misalkan meng-qiyas-kan membakar harta anak
yatim dengan memakannya dengan tidak sepatutnya dalam hal sama-sama keharamnnya.
QS. An-Nsa (4); 2 yang berbunyi :
(#qè?#uäur #’yJ»tFu‹ø9$# öNæhs9ºuqøBr& (
Ÿwur (#qä9£‰t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh‹©Ü9$$Î/ (
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #’n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4
¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
c.
Qiyas Adna
Yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah
dibandingkan berlakunya hukum pada ashal walaupun memnuhi persyaratan qiyas,
seperti mengqiyaskan apel pada gandum dalam menetapkan hukum riba fadhal bila
dipertukarkan dengan barang sejenis.
2.
Qiyas dilihat
dari segi cara penarikan
konklusi, adalah sebagai berikut :
a.
Qiyas
Sumul (Deduktif)
Yaitu metode
berfikir deduktif (qiyas syumul) adalah metode berfikir yang menerapkan
hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam
bagian-bagiannya yang khusus .
b.
Qiyas
Tamsil ( Induktif)
Yaitu metode
yang digunakan dalam berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Pada
Penalaran Induktif terdapat beberapa bentuk, yaitu generalisasi, silogisme dan
analogi. Menurut Gorys Keraf dalam buku Argumentasi dan Narasi, Generalisasi
adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual
untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua
fenomena tadi[28]
3.
Qiyas
dilihat dari segi kejelasan illat sebagai landasan hukum , adalah
sebagai berikut :
a.
Qiyas
Jaly
Yaitu qiyas
yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal;
atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash namun titik perbedaan
antara ashal dengan furu’ dipastikan tidak ada pengaruhnya.
Misalnya meng-qiyas-kan perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan meng-qashar
shalat di perjalanan, meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin meskipun perbedaan
tersebut dapat dikesampingkan.
b.
Qiyas
khofy
Yaitu qiyas yang ‘illat –nya tidak disebutkan dalam
nash, maksudnya adalah dengan di-istimbathkan dari hukum ashal
yang memungkinkan kedudukan ‘illatnya bersifat zhanni . Misalnya
meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda atau senjata tajam dalam
penetapan hukum qishash dengan ‘illat pmbunuhan disengaja dalam
bentuk permusuhan. Kedudukan ‘illat ini dalam ashal lebih jelas
dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’.
4.
Qiyas
dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:
a.
Qiyas ma’na, atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang
meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan
furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ tersebut seolah-olah ashal itu
sendiri. Umpamanya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakannya
dengan tidak patut dengan ‘illat merusak harta anak yatim itu, dengan adanya
kesamaan itu furu’ seolah-olah ashal itu sendiri.
b.
Qiyas
‘illat, yaitu qiyas yang ‘illatnya dijelskan dan ‘illat tersebut
merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Seperti mengqiyaskan nabidz
kepada khamr dengan ‘illat rangsangannya yang kuat yang jelas terdapat
dalam ashal dan furu’.
c.
Qiyas
dilalah, adalah qiyas yang
‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan
keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan aanya ‘illat. Misalkan
meng-qiyaskan nabidz kepada khamr dengan menggunakan
alasan bau yang menyengat, yang merupkan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat memabukkan.
5.
Kedudukan
Qiyas dalam Hukum Syara’
1.
Qiyas
Sebagai Sumber Hukum Islam
Berdasarkan
pengertian-pengertian qiyas yang dikemukakan oleh para ulama , maka dapat
diambil benang merahnya, qiyas adalah penarikan kesimpulan atau inferensi dari
suatu masalah hukum yang telah
ditentukan hukumnya oleh nas al-Qur’an da as. Sunnah untuk suatu
masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya
oleh nash karena di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna
homonim yang disebut ‘illat.
Menurut Abu
Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far
(cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat dilaksanakan apabila di
dalam ashal dan far’ itu terdapat keserupaan ‘illat hukum
bagi seorang mujtahid, yang akan mengistimbath hukum.
Sementara qiyas dalam
pandangan ‘Abd al-Jabbar, adalah membawakan sesuatu kepada sesuatu yang lain
dalam sebagian hukum-hukumnya karena ada keserupaan. Qiyas dalam pengertian
tersebut merupakan salah satu metode hukum Islam. Kesimpulan hukum yang
diperoleh dengan metode qiyas menjadi
sumber hukum dan ajaran Islam.
‘Abd
al-Jabbar mendasarkan pendangan qiyas-nya, antara lain pada surat
al-Nisa (4) ayat 59 :
( ...bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur ...
Artinya
:...kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), ...
Juga
ayat yang lain , ayat 83 :
...öqs9ur çnr–Šu‘ ’n<Î) ÉAqß™§9$# #†n<Î)ur ’Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o„ öNåk÷]ÏB 3 ...
Artinya
:”...dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)...
Mengembalikan
kepada Rasul dan uliy ‘Amry berarti menetapkan
hukum
dengan qiyas sekalipun penetapannya berbeda-beda. Dengan demikian Qiyas
berdasarkan pengertian para ulama diatas merupakan salah satu metode hukum Islam.
Kesimpulan hukum yang diperoleh berdasarkan qiyas menjadi sumber hukum
dan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama
menjadikan qiyas[29]
sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.
2.
Qiyas
Sebagai Metode Penggalian Hukum (ijtihad)
Menurut Imam Syafi’iy, qiyas sama
dengan ijtihad. Qiyas dan ijtihad adalah dua lafazh yang mempunyai makna yang
sama.[30]
Berdasarkan pandangan seperti inilah kiranya al-Syafi’iy menyatakan bahwa
sumber hukum Islam hanya empat, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan
al-Qiyas .adapun ulama dan pakar hukum Islam lainnya ada yang memperluas
ijtihad dalam bentuk sitihsan, al-maslahah al-mursalah, dan lain-lain.
Dalam hal berkaitan dengan masalah
syari’ah, yang tidak dapat diketahui dengan akal, seperti bagaimana mengetahui
analogi dari rincian cara berterima kasih kepada Tuhan, ijtihad diperlukan dalam
rangka mencari hal-hal yang mengandung kemaslahatan (al-Shalah) bagi manusia,
atas dasar dugaan yang kuat (ghalib
al-zhan) dari pemahaman seorang mujtahid atas dalil al-Sam’i. Yang dimaksud
dengan kemaslahatan di sini adalah semua hal yang akan membawa manusia kepada ketaatan dan akan
menjauhkan manusia dari maksiat.
Berdasarkan hal tersebut , ijtihad
dalam pandangan Abd al-Jabbar merupakan kelanjutan dari pemikiran analogi (al-Qiyas)
yang tidak mungkin ditutup atau dihentikan
karena masyarakat selalu berkembang dan berubah. Pemikiran Abd al-Jabbar
yang demikian sejalan dengan Imam al-Syafi’i yang berpendapat bahwa ijtihad itu
adalah al-qiyas. Dalam berbagai persoalan syari’ah, al-qiyas
inilah yang banyak digunakan oleh Imam al-Syafi’i maupun oleh Abd al-Jabbar,
sebagai metode ijtihad untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan baru yang
muncul di masanya yang secara tegas tidak dinyatakan baik dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah .
Ijtihad dengan metode al-qiyas
dapat menghasilkan berbagai perintah atau taklif baru, baik itu diperintah
untuk melakukan ataupun perintah untuk meninggalkan sesuatu, yang sama hukumnya
seperti terkandung dalam al-Qur’an atau as-Sunnah.[31]
C.
Kesimpulan
Qiyas sebagai metode istimbah
al-hukm, pada hakekatnya, adalah pencarian dan penetapan ‘illat. Dengan
demikian, pembahasan ‘illat menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan ada
atau tidaknya hukum (al- hukm yaduru
ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman),
maka qiyas identik dengan ijtihad.
Qiyas pada dasarnya penerapan hukum
yang terdapat dalam ashal kepada far (cabang) , yang belum terdapat
didalamnya suatu hukum, qiyas dapat dilaksanakan apabila di dalam ashal
dan far itu terdapat keserupaaan ‘illat hukum
bagi seorang mujtahid, yang akan meng-istimbath hukum.
Seiring perkembangan peradaban
keilmuan makna qiyas mengalami evolusi yang semula makna qiyas hanya yang
dimaksud al-Syafi’i saja namun saat ini makna qiyas lebih luas. maka makna
qiyas dapat mengakomodir dan
mewadahi semua metode istimbath nash
walaupun dengan makna yang berbeda. Namun setidaknya disandarkan pada makna
umum yang terdapat pada ashal.
Hukum yang diperoleh dengan metode qiyas
menjadi sumber hukum dan ajaran
Islam. Dan ini telah dicontohkan Rasulullah SAW, dan para Sahabat. Oleh karena
itu kedudukan qiyas dalam sumber hukum Islam sebagai sumber hukum yang ke empat
setelah al-Qur’an , as-Sunnah dan al-Ijma’. Karenanya melakukan qiyas
adalah fardlu kifayah bagi mujtahid, ketika ada dalil lain, qiyas
menjadi hujjah.
Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
As-Syafi’i,
Muhammad bin Idris, Ar-Risalah,
Darul Fikri, 1309 H.
Basic Djalil, Ilmu
Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010
Desertasi, Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu
al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif
Hidayatullah, 1998
Hassan,
Ijma’ Qiyas Madzhab Taqlid, Laznah Penerbitan Pesantren PERSIS, Bangil,
1984.
Hudhari
Baik, Muhammad, Kitab Ushul Fiqih , Darl Fikr.1988 M,1409
H.
Husni,
Desertasi Metodologi Ijtihad Muamalah
dan Relevansinya dengan Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Jakarta, 2000.
A.
Jazuli,
Aen, Nurol, Ushul Fiqih Metodoogi Hukum Islam, RajaGrafindo,
Khalaf,
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Darl Kuwaitiyah, 1986.
Syafe’i
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih Untuk STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung,
2000.
Yahya, Mukhtar, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
AL-Ma’arif, Bandung, 1986.
Zuhaily,
Wahbah, Kitab Ushul Fiqih Islamy, Darul Fikri.
[1] Muhammad bin
Idris al-Syafi’i, Ar-Risalah, Dar al-Fikr, Tt, hal 377, No 1326.
[2] Dikutif dari
Desertasi Husni (2016),lihat: Muhammad
bin Muaram Ibn Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar
Shadir, tt), Juz 6, hal 187.
[3] Husni, Desertasi
Metodologi Ijtihadiyah Muamalah dan Relevansinya dengan Perudang-undangan
Indonesia, Studi Naskah “Jam’u al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh, UIN, Bandung,
2016, hal.60
[4] As-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Ar-
Risalah, Darul Fikr, 1309 H, hal.
479
[5] Abdul Wahab
Kholaf, IlmuUshul al-Fiqh, Darul Kutiyah, 1968, Hal. 62
[6] Illat
adalah suatu sifat yang terdapat pada asal (pokok) yang menjadi dasar untuk
menetapkan hukum pada asal dan untuk
mengetahui hukum pada cabang yang hendak dicari hukumnya.
[7] Khudlari Bek,
Muhammad, Kitab Ushul Fiqih, Dar al-Fikr, Tahun 1988 M/ 1409 H, hal. 293
[8][8][8] Kenyatannya
illat mengikuti mashlahat atau mafsadat,
ini adalah pendapat golongan Mu’tazilah. Lihat: Disertasi Husni, h. 183, lihat
: Abu Husyn al-Bashri, al-mu’tamad..., Juz 2, h. 1073 dan 1042
[9] Illat sebagai
penolak, menghalangi hukum yang akan terjadi, tapi tidak mencabut hukum itu
seandainya illat tersebut terdapat pada satu hukum tengah berlaku. Contohnya
iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi
terjadinya perkawinan dengan laki-laki lain, tapi iddah tidak mencabaut
kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan (watha’
subhat). Idah dalam hal ini adalah iddah syubhat. Lihat: al-Zarkasyi, Tasynif...,juz 3, h. 121
[10] Illat sebagai
mencabut hukum adalah yang hanya mencabut kelangsungan hukum, tapi ia tidak
menolak munculnya hukum baru setelah
hukum pertama berjalan. Contohnya, talak mencaut hak bergaul suami istri , tetapi tidak menghalangi hak
itu jika mereka rujuk, karena memang mereka boleh menikah atau rujuk lagi sesudah adanya talak itu. Ibid.
[11] Illat sebagai
pencabut dan penolak yaitu yang dapat mencegah suatu hukum dan sekaligus
mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.
Contoh sifat radha’
(hubungan sepersusuan), mencegah terjadinya perkawinan antara orang yang
sepersusuan dan sekaligus mencaut atau
membatalkan hubungan[erkawinan yang
sedang berlangsung, bila hubungan susuan itu terjadi. (diketahui) setelah perkawinan berlangsung.
Ibid.
[12] QS. An-Nisa (4);
59.
[13] Acep Dzazuli
dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqih
Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal.
125
[14] QS. AL-Hasyr
(59); 2.
[15] Maktabah
Syamilah, Ushul Fiqh
[16] Imam
al-Syafi’i, Ar-Risalah,
diterjemahkan oleh Ahmad Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 227.
[17] Mukhtar Yahya
& Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Maarif, bandung, hal. 74.
[18] Ibid hal. 74
[19] Lihat
Disertasi Husni, Metodologi Ijtihad Muamalah..., UIN SGB , Bandung, 2016
[20] Ibid
[21] QS. Al-Maidah;
5
[22] QS. An-Nisa;
59
[23] QS.
AL-Ankabut; 51
[24] QS. Yunus; 36
[25] QS. Al-Maidah;
47
[26] QS. Al-An’am ,
50
[27] Husni,
Metodoligi Ijtihad Muamalah hal. 66
[28] Gorys Keraf,
1994 : 43 Keraf, Gorys. 1994. Argumentasi dan Narasi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Tama
[29] Muhammad
Mas’ud mengutip dari Disertasi Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu
al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif
Hidayatullah, 1998
[30] Muhammad
Idsris a;-Syafi’iy, ar-Risalat, Makabah Dar al-Turas, Kairo, 1979, hlm, 476-477,
dikutip dari Desertasi Nurol Aen, Konsep
Mutsawabit al-Qodhi Abdu al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya,
Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998
[31] Desertasi Nurol Aen, Konsep Mutsawabit al-Qodhi Abdu
al-Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya, Jakarta, IAIN Syarif
Hidayatullah, 1998
Komentar
Posting Komentar