HARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
HARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Bab I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari
kita tidak akan lepas dari yang namanya harta, dalam segala segi kehidupan
selalu membutuhkan harta baik yang
berkaitan kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Di samping itu juga
hal-hal yang berkaitan dengan
kewajiban beribadah kepada Allah SWT.
Sampai kepada kebutuhan berekreasi .
Berbagai cara orang berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkan harta, ada yang dengan cara yang halal ada pula
orang mencari harta tanpa melihat apakah harta itu halal ataupun tidak. Semua
itu tergantung kepada sumber daya manusia itu sendiri dalam memahami tentang arti kehidupan ini.
Manusia yang memiliki
pandangan bahwa kehidupan ini adalah suatu yang bersifat sementara yang harus
dipertanggungjawabkan tentunya akan menyikapi segala sesuatu dengan penuh
hati-hati terutama dalam mencari harta untuk membiayai kehidupan yang sementara
ini. Akan tetapi bagi orang yang tidak memiliki pandangan tersebut , mereka
akan semena-mena di dalam mencari harta tanpa melihat harta itu di peroleh
dengan cara yang baik ataupun tidak yang
penting kebutuhan mereka terpenuhi.
Pada
zaman sekarang mayoritas manusia sudah mengalami dan sedang menjalani gaya hidup konsumeristik
, gaya hidup kebarat-baratan. Suatu gaya hidup yang sangat menyibukkaan ,
manusia betul betul disibukkan dengan pekerjaannya yang berorientasi kepada
dunia. Oleh karena itu corak kehidupan mereka cenderung hedonisme, manusia
hanyalah hamba dunia atau budak materi,
materi tersebut menghanyutkan mereka. Terutama materi yang diperoleh dengan
menghalalkan segala cara, seperti menipu, merampok, hasil pencurian ,
korupsi dan cara –cara lain yang tidak
sesuai dengan syari’at.
Untuk menghindari dari
tindakan kesema-menaan dalam mencari harta tersebut maka Islam memberikan gambaran tentang pemahaman terhadap harta
tersebut. Islam meletakkan harta sebagai salah satu keperluan asasi di dalam
kehidupan manusia. Bagi memenuhi tuntutan tersebut, Islam telah menyediakan
beberapa system yang dapat merealisasikan kenyataan itu dengan baik dan
berkesan antaranya ialah system pengurusan dan pentadbiran harta.
Harta dalam pandangan Islam
adalah bercirikan produktif. Penimbunan atau pemusatan harta secara tidak
efektif dicegah sama sekali. Ini berarti harta itu tidak terikat dengan
pengertian harta secara mutlak, sehingga mempengaruhi seluruh aspek kehidupan
manusia juga tidak statis, tetapi berkembang demi kepentingan manusia dan
kesejahteraan umat.
Harta dalam al-Qur’an seperti diungkapkan “ Dan janganlah
kamu serahkan orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah pada mereka kata-kata yang
baik.[1]
Dikarenakan harta dianggap sebagai pokok kehidupan maka dikatakan pula dalam
ayat yang lain “ Dan janganlah sebahagian diantara kamu memakan harta sebagaian
yang lain dengan jalan yang bathil “[2].
Artinya manusia dituntut di dalam mencari harta itu harus melalui cara-cara
yang diridloi oleh Allah. Al-Qur’an memandang perolehan harta yang halal
sebagai sesuatu yang kudus dan tidak dapat diganggu gugat, karenanya Allah memerintahkan
potong tangan bagi siapa saja yang dengan sengaja melakukan pencurian.[3]
Harta juga didefinisikan sebagai sebagai suatu yang dapat
dimiliki, seperti emas, perak, binatang, rumah pepohonan dan lain-lain.
Pengakuan akan kepemilikan adalah salah satu prasyarat untuk sahnya sebuah
transaksi harta benda. Namun persoalannya adalah “Siapakah pemilik harta yang
sebenarnya itu ? Menurut Al-Qur’an , pemilik yang hakiki dari semua apa yang
ada di dunia ini adalah Allah.[4]
Namun Allah menjadikan manusia sebagai khalifahNya dimuka bumi ini dan Allah
memberikan “kekuasaan” untuk mengontrol sumber-sumber alam semesta ini.
Meskipun
demikian, Masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan bukan
sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat
mengakui adanya kepemilkan pribadi disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan hak milik pribadi sebagai
dasar bangunan ekonomi. Dan Itu pun akan
terwujud apabila ia berjalan sesuai dengan aturan ALLAH swt, misalnya adalah
memperoleh harta dengan jalan yang halal.
Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat
kezaliman atau kerusakan di muka bumi.
Karena
begitu pentingnya mengenai harta dan aspek kepemilikan dalam bidang ekonomi, maka
dalam makalah ini saya mencoba membahas dan memaparkan tentang “Konsep Harta dan Hak Milik (Private
Ownership) dalam Islam ” sesuai dengan urgensinya.
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis dapat mengidentifikasi permasalahan sebagai
berikut :
1.
Bagaimana
pandangan Al-Qur’an tentang kedudukan harta dan hak milik ?
2. Bagaimana mekanisme pengelolaan harta dan Hak
Milik dalam Islam ?
BAB II
HARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Definisi Harta
Pengertian harta
(al-mal) menurut bahasa dinyatakan dalam kitab “ An-Nadhariyatu al-‘Aqdi
“ yang berbunyi :
“
Segala sesuatu yang dapat dimiliki….baik berupa benda maupun manfaat”
Sedangan menurut istilah, sebagian fuqoha memberikan
ta’rif antara lain sebagai berikut :
“Sesuatu yang menusia cenderung kepadanya dan mungkin
untuk disimpan pada waktu diperlukan”[5]
Menurut pengertian diatas bahwa harta itu mencakup
keseluruhan bagian-bagian harta, karena itu sesuatu yang tidak mungkin disimpan
juga termasuk ke dalam bagian harta. Hal itu dikarenakan ada sesuatu yang
menjadikannya masuk dalam kategori harta yakni diantaranya sesuatu yang manusia
tidak condong terhadap harta tersebut tetapi manusia memeliharanya dan
menghabiskannya dan tidak menjauhinya seperti sayur mayur ,pakaian dan
obat-obatan dll.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita tanggapi dalam pandangan Fuqoha bahwa harta bersendi
pada dua unsur, yaitu :
1. “Ainiyah
2. ‘Uruf
Yang dimaksud ‘ainiyah ialah harta itu merupakan benda,
ada wujudnya dlam kenyataan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘uruf ialah harta
itu dipandang harta oleh manuisa, baik oleh semua manusia atau oleh sebagian
manusia, dapat diberi atau tidak diberi.[6]
Unsur ‘uruf didalam harta yaitu bahwa
harta itu dianggap harta oleh manusia
pada umumnya, karena itu hamba sahaya walaupun merupakan benda berwujud tetapi
tidak termasuk ke dalam harta karena manusia muslim tidak menggangapnya harta,
selain itu minuman keras dan dagung babi merupakan harta bagi selain muslim dan
tidak termasuk harta bagi muslim.
Dengan demikian Hasbi Ash-Shiddiqy memberikan pengertian
bahwa harta adalah :
“Harta adalah segala benda yang berharga yang bersifat
materi yang beredar diantara manusia”.[7]
Dalam hal
ini Islam meletakkan harta sebagai salah satu keperluan asasi di dalam
kehidupan manusia. Bagi memenuhi tuntutan tersebut, Islam telah menyediakan
beberapa sistem yang dapat merealisasikan kenyataan itu dengan baik dan
berkesan, antaranya ialah sistem pengurusan dan pentadbiran harta.
Harta
bagaikan pisau bermata dua. Harta dapat dipakai untuk membangun, memperbaiki,
memperindah, membuat semarak, menggembirakan, mengakrabkan dan banyak hal yang
sifatnya positif. Sebaliknya hakikat harta juga bisa merusak, merobohkan,
menyengsarakan, memutuskan hubungan kekerabatan, pertempuran, pembunuhan ,
fitnah dan keburukan lainnya.
Mengetahui
hakikat harta bagi manusia , terutama kaum muslimin sangat penting. Sebab tanpa
memahaminya, manusia justru akan diperbudak oleh harta. Harta yang seharusnya
menjaga diri manusia justru membuat manusia tidak bisa tidur dan tenang karena
harus menjaga hartanya.
Salah
memiliki harta akan menjadikan harta tersebut bumerang bagi dirinya. Harta
ibaratnya kuda liar yang seringkali dijadikan mainan rodeo bagi para koboi.
Jika gagal mengendalikannya maka penunggangnya akan jatuh dan terinjak-injak.
Masih untung kalau tidak luka atau mati. Bagi yang lihai, maka sebentar ia akan
terguncang tapi selanjutnya kuda tersebut dapat dikendalikan ke arah mana
tujuan sang penunggang.
Demikian
pula dengan harta. Wajib bagi muslim jika hidupnya ingin selamat, harus
mengetahui hakikat harta. Bagaimana fungsi dan kedudukannya dalam agama,
bagaimana agama mengatur cara memperolehnya secara benar, mengelola dan
membelanjakannya sesuai aturan agama.
B. Kedudukan Harta
dan Anjuran untuk Berusaha dan Memilikinya
1. Kedudukan harta[8]
Dalam
al-Qur’an dan hadits, cukup banyak ayat atau hadits yang membicarakan harta.
Dibawah ini akan dikutip beberapa diantara ayat al-Qur’an dan Hadits antara
lain
a.
Dalam Al-Qur’an
1. Harta sebagai
perhiasan hidup[9]
Artinya
:” harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.
Pada ayat
di atas dikatakn bahwa harta adalah perhiasan hidup. Harta menjadi sesuatu yang
disenangi untuk dimiliki, dipergunakan bahkan sekadar untuk dilihat. Dengan
harta sesuatu menjadi lebih mudah, dengan harta sesuatu menjadi indah.
Kecenderungan terhadap harta itulah biasanya dipakai manusia untuk berusaha
bekerja keras mendapatkannya, tidak sedikit pula yang mendapatkannya dengan
menggunakan berbagai cara, halal atau haram, Mereka tidak mempedulikan aturan
yang ada, baik aturan agama, masyarakat maupun negara. Bahkan terlontar
kata-kata naif dari mereka untuk menjustifikasi usaha mendapatkan harta secara
tidak sah.”mencari harta yang haram saja susah apalagi yang halal” begitulah
kalau harta sebagai perhiasan telah membutakan
hati dan pikiran.
2. Harta sebagai
fitnah [10]
Artinya:
“ Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan. Dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar”.
Harta di
samping sebagai perhiasan hidup juga sebagai ujian dari Allah. Allah akan
menguji mereka yang telah mendapatkan harta bagaimana cara mengelola dan
memanfaatkan harta tersebut. Allah berfirman :
Artinya :” Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”[11]
Maksudnya
adalah apakah orang yang memegang harta tersebut mampu memanfaatkan harta
tersebut dengan baik sesuai tuntutan syari’at atau justru menjadikan harta
tersebut membakar dirinya seperti bara api yang terus dipegangnya. Apakah ia mampu mempertahankan bara api yang
panas di tangannya ?
Oleh
karena itu, selanjutnya kedudukan harta di dalam Islam adalah sebagai bakal
ibadah dan perjuangan. Dengan harta yang dimiliki seorang muslim akan melakukan
sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang paling berharga yaitu surga. Dengan
hartanya itu seorang muslim membeli surga dengan perniagaan yang ditunjukan
Allah melalui firmanNya:
Artinya
:” Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada
Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah
yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[12]
3. Harta untuk
memenuhi Kebutuhan Hidup dan mencapai kesenangan[13]
Artinya:”
Dijadikan indah menurut pandangan manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang, itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga)”.
Salah
satu naluri insani yang diberikan Allah kepada manusia adalah kecenderungan
mencintai lawan jenis, mencintai anak dan keturunan, serta mencintai materi
(harta, kekayaan lain, jabatan), sebagaimana ayat diatas.
b.
Dalam Al-Hadits
1. Kecelakaan bagi
penghamba pada harta :
Artinya:” Celakanlah orang yang menjadi hamba dinar (uang) dan orangorang
yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, , jika
diberi ia bangga bila tidak diberi ia marah, mudah-mudahan dia celaka dan
merasa sakitn, jika dia kena suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan
keluar”.[14]
2. Penghamba harta
adalah orang terkutuk :
Artinya :” Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan dirham”.[15]
2.Anjuran untuk Memiliki Harta dan Giat Berusaha
a. Para nabi berusaha sendiri untuk
bekal hidupnya
Ada beberapa
ayat al-Qur’an maupun beberapa Hadits
yang dapat dikategorikan sebagi isyarat bagi umat Islam untuk memiliki kekayaan
dan giat dalam berusaha supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mampu
melaksanakan rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mempunyai harta atau kemampuan dari segi
ekonomi, Sementara itu harta kekayaan tidak mungkin datang sendiri ,tetapi
harus dicapai melalui usaha.Seperti yang dicontohkan oleh para Anbiya dalam
memenuhi kebutuhannya sendiri. Nabi Nuh as. dengan membuat kapalnya, Nabi Daud
dapat membuat baju besinya, [16]Nabi
Musa as. Menggembala selama dua puluh tahun di negeri Madyan, sebelum menjadi
rasul. Juga Nabi Muhammad menggembala domba kemudian berniaga bersama Siti
Khadijah.
b.Anjuran memanfaatkan dan memakan rezeki Allah SWT.
Artinya
:” Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjuru dan makanlah sebagian rezeki-Nya”.[17]
a.
Rasulullah SAW
menyuruh umatnya untuk bekerja
Artinya
:” Seseorang yang mengambil tali untuk mengikat kayu bakar kemudian memanggul
dipundaknya untuk dijual kepada manusia, sehingga Allah mencukupinya adalah
lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, yang kemungkinan akan
memberinya atau menolaknya”.
b.
Perintah
menunaikan zakat
Perintah mencari harta dan giat
berusaha dapat dipahami dengan adanya perintah menunaikan zakat yang selalu
mengiringi perintah mendirikan shalat, karena zakat hanya dapat ditunaikan
dengan berusaha dan mempunyai harta. Adapun bagi yang tidak mempunyai banyak
yang harta maka tetap diperintah untuk menunaikan zakat fitrah (jiwa) yakni dengan mengeluarkan batas minimal 2,5
kg beras /tahun.
c.
Nabi SAW sering
berdo’a agar dilapangkan rezeki
Artinya
:” Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumahku, dan berkatilah rezekiku...”[18]
C. Fungsi Harta
Fungsi
harta bagi manusia sangat banyak . Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik
dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu
berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam
cara yang dilarang syara’ dan hukum
negara, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya
cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang
memperoleh harta dengan cara mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk
kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain.
Sebaliknya orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya
menfungsikan hartanya untuk hal-hal yangbermanfaat.
Dalam
pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan
syara’, antara lain untuk :[19]
1.
Kesempurnaan
ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat,
2.
Memelihara dan
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, sebagai kefakiran
mendekatkan kepada kekufuran,
3.
Meneruskan
estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah,[20]
4.
Menyelaraskan
antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW bersabda :
Artinya
:”Bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meinggalkan masalah dunia untuk
masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan
seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat”.
5.
Bekal mencari dan
mengembangkan ilmu
6.
Keharmonisan
hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan
kepada orang miskin.
D. Mekanisme
Pembelanjaan Harta
Al-Qur’an
bagi kaum Muslimin diyakini bukan hanya kitab suci ‘ansich’ yang bersifat
pasif, tapi merupakan wakyu Allah kepada umat manusia lewat perantaan Nabi
Muhammad SAW dan utusan ‘ruh suci’ Jibril yang berisi kebenaran-kebenaran
absolut dari Allah swt. Dengan demikian
al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup
bagi umat Islam dalam melakukan
ibadah, mu’amalah dan pembinaan akhlaq.
Aspek
yang menarik untuk dikaji lebih mendalam ialah bagaimana nilai-nilai Islami
dilaksanakan dalam berbagai sendi kehidupan, salah satunya ialah mengenai
pembelajaan harta. Harta sebagai salah satu amanah yang diberikan oleh Allah
kepada umat manusia harus disyukuri dalam parameter nilai-nilai Islami. Oleh
karena itu mekanisme pembagian harta harus dioptimalkan jangan sampai
terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Adapun
prinsip utama dalam pendistribusian harta adalah keadilan dan kasih sayang. Tujuan
pendistribusian meliputi :
a.
Agar kekayaan
tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat
b.
Pelbagai faktor
produksi yang perlu mempunyai pembagian yang adil dalam kemakmuran negara.[21]
Al-Qur’an
memberikan konsiderasi tentang distribusi kekayaan ini sebagai sesuatu yang
paling penting dalam usaha membangun dan menciptakan sebuah ekonomi yang sehat,
dimana hal tersebut merupakan prasyarat bagi terselenggaranya aktifitas bisnis.
Sistem al-Qur’an dalam distribusi kekayaan ini berdasarkan pada anjuran infak,
yang akan memberikan garansi bai tersebarnya secara meluas distribusi kekayaan.
[22]
Seperti yang tertuang dalam al-Qur’an berbunyi :
Artinya :” Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah mha
Luas (karuniaNya) lagi maha Mengetahui.[23]
Kontribusi menafkahkan sebahagian
harta di jalan Allah mencakup banyak aspek meliputi perhatian terhadap
pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, pembangunan rumah
sakit dan sarana sosial lainnya.
Salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan ialah realisasi zakat dalam
pengelolaan yang benar. Secara sangat sistematis al-Qur’an memberikan gambaran
dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi :
Artinya :”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) hamba, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam pembahasan ayat diatas , zakat
diberikan pada orang-orang yang hendak mendapatkannya meliputi fakir ,miskin, amil,
muallaf, gharim, ibnu sabil dan sabilillah. Apabila dikelola dengan amanah dan
professional memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap perekonomian
yang sehat.
Selain
membelanjakan harta dengan cara berinfak Allah juga secara bijaksana dalam
al-Qur’an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi social untuk
kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang
saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain
:
Pertama, Larangan
bersifat kikir/ bakhil dan menumpuk harta
Sikap
kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta
tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersbut dapat mengekalkan
hidupnya. Ada sebuah peringatan dalam al-Qur’an yang berbunyi :” Kecelakaan
bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya .
Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
huthanah[24]
Kedua,
Larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. “Hai anak adam, pakailah pakaianmu
yang indah setiap (memasuki )mesjid, makan, minumlah jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[25]
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.”[26]
Ketiga, Larangan riba.”Orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat
berdiri melainjkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan yang demikian itu adalah disebabkan mereka
berkata . sesungguhnya jual beliitu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dai Tuahnnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) ,
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”[27].
Keempat. Yaitu larangan riya.” Hai orang-orang yang beriman , janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti
(perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan
orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[28]
Ayat diatas merupakan
peringatan dari al-Qur’an agar dalam beramal tidak diiringi dengan riya. Riya
merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan menghilangkan sikap riya
tersebut. Amal orang-orang yang riya akan membawa kerugian karena amalan-amalan
tersebut tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.
Riya
ialah melakukan suatu amalan perbuaan bukan untuk mencari keridloan Allah ,
tetapi untuk mencari pujian dan kemasyhuran dalam masyarakat. Dalam dataran
pembelanjaan harta, riya sangat merusak keharmonisan hubungan antar manusia
(human relation), karena akan menyebabkan dua kerugian yaitu kerugian terhadap
penerima harta tersebut dan pemberi itu sendiri. Bagi penerima kerugian yang
diterima adalah perasaan sakit, sedangkan bagi pemberi akan menyebabkan
kerugian berupa hampanya amal dari pemberian harta tersebut.
BAB III
HAK MILIK DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
A. Definisi Hak Milik
Hak Milkiyah
dalam pandangan ahli fiqh, ialah “Hak yang memberikan kepada pemiliknya, hak
wilayah”[29]
Boleh dia memiliki boleh dia memakai, boleh dia mengambil manfaat, boleh dia
menghabiskan, merusakan, membinasakan, asal saja tidak menimbulkan kemudharatan
bagi orang lain. Maka kemerdekaannya dalam menggunakan haknya terbatas dalam
keharusan memelihara hak orang lain. Seperti seorang kongsi boleh bertasharuf
dalam batas-batas yang tidak merugikan kongsi lain. Ia tidak boleh merusakan
barang yang dikongsikan. Kalau dia merusakan ia dipandang seorang penganiaya
dan harus mengganti kerugian.[30]
Berkenaan dengan hak
milik, dimana harta merupakan salah satu yang dapat dimiliki sehingga menjadi
hak kepemilikan seseorang. Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia
memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian
dari Allah.
Manusia menggunakan harta berdasarkan
kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal.
Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia
harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya
dihadapan Allah SWT.
Ø Konsep Dasar kepemilikan dalam Islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan Allah-lah
segala apa yang ada di langit dan di bumi.
Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni
siapa yang dikehendaki[31]…
Ø Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas
sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan
keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali
dengan alasan syariah”.
Ø Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari
atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat
bervariasi bentuk dan tingkatannya. “
Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda
itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau
menggunakannya untuk tujuan yang produktif.
Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik
itu terbatas.[32]
B. Konsep Islam Tentang
Hak Milik
1. Semua yang ada di muka bumi
adalah milik Allah SWT
Menurut
ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam
semesta. Allah lah yang memberikan
manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
2. Ikhtiyar dalam bentuk
bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah merupakan sarana untuk mencapai
kepemilikan pribadi
Dalam
Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak. Setiap Individu, masyarakat dan negara
memiliki kewajiban tertentu. Dan sebagai
hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak
tertentu. Islam sangat peduli dalam
masalah hak dan kewajiban ini. Kita
diharuskan untuk mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan
jalan yang halal dan tidak menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja
keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa
balasan yang setimpal.
3. Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi
Islam
mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu
diperoleh dengan jalan yang halal. Islam
melarang setiap orang menzalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab
yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah,
seperti anak yatim dan wanita.[33]
C. Jenis-Jenis Hak Milik Dalam
Islam
Jika memperlajari
Al-Qur’an secara mendalam , maka akan kita dapatkan konsep tentang
kepemilikan ini memiliki dua level :
a. Kepemilikan mutlak dan absolute
b. Kepemilikan yang bersifat delegatif dan terbatas.
Kepemilikan
secara mutlak sudah jelas yakni adalah Allah swt. Sementara al-Qur’an menyifati
kepemilikan sebuah kekayaan pada manusia[34].Penyifatan kepemilikan
pada manusia ini dalam spiritnya sama tatkala harta kekayaan berada di tangan
orang-orang yang bodoh (as-syufaha) dan saat disifatkan kepemilikannya pada orang-orang
yang menjadi wali mereka.[35]
Meskipun
harta itu adalah milik Allah, namun kepemilikan manusia diakui secara de jure karena Allah sendiri telah
mengaruniakan padanya kekayaan dan Dia mengakui kepemilikan tersebut. Oleh
karenanya adanya pendelegasian ini, manusia kadang mengira bahwasannya hak
untuk menggunakannya berada di tangan mereka. Karena manusia adalah khalifah
Allah maka diharapkan untuk mengurusnya
dan memelihara kekayaan itu sebagaimana mestinya. Fakta menunjukan bahwa Allah
telah memberikan wewenang pada manusia dalam hak kepemilikan, maka hal itu
adalah legitimasi dari konsep kepemilikan sah sebuah kekayaan.[36]
Dari kepemilikan yang
sifatnya delegatif dan terbatas maka terbagi
menjadi:
a. Hak Milik Pribadi
1. Proses kepemilikan harus didapatkan melalui cara yang sah menurut
agama Islam.
Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai
pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama
islam. Dan Islam tidak melindungi
kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6
jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut agama islam) :
a. Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal : barang
tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air
sungai, dll.
b. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal,
misal : harta rampasan.
c. Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan
kewajiban, misal : zakat.
d. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal : jual beli
dan ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syariat.
e. Diambil tanpa diminta, misal : harta warisan setelah dilunasi
hutang-hutangnya.
2. Penggunaan benda-benda milik pribadi tidak boleh berdampak negatif/
mudharat pada orang lain, tapi memperhatikan masalah umat
Islam membenarkan hak milik pribadi, karena islam memelihara
keseimbangan antara pemuasan beragam watak manusia dan kebaikan umum
dimasyarakat. Dalam hubungan ini, ada
syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu dalam mengakui
keberadaan hak milik pribadi yaitu memperhatikan masalah umat. Islam mendorong pemilik harta untuk
menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat/umat setelah mememnuhi
kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga (zakat). Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan harta
itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan kebaikan
umum dan agar hak milik pribadi tidak memberikan dampak negatif pada orang
lain. Inilah paham islam yang moderat
dalam mengakui hak pribadi. Ia mengambil
sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak miik dan mereka yang secara mutlak
menafikan hak milik.
3. Dalam penggunaan hak milik pribadi untuk
kepentingan pribadi dibatasi oleh ketentuan syariat
Setiap individu memiiki kebebasan untuk menikmati hak miliknya,
menggunakannya secara produktif, memindahkannya, melindunginya dari
penyia-nyiaan harta. Tetapi, haknya itu
dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syariat, tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena,
juga tak boleh menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksi pun tidak boleh melakukan
cara-cara yang terlarang. Karena manusia
hanya sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima
batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda
tersebut. Batasan tersebut semata-mata
untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang bertindak
sewenang-wenang (ekspolitasi) dalam masyarakat.
Pemilik harta yang baik adalah yang bertenggang rasa dalam menikmati hak
mereka denganbebas tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas
sehingga dapat mencapai keadilan sosial di dalam masyarakat.
b.
Hak Milik Umum (Kolektif)
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum
(kolektif). Konsep hak milik umum pada
mulanya digunakan dalam Islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak
milik dalam Islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak
memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud oleh sistem kapitalis,
sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe
ini memiliki bentuk yang berbeda beda.
Misalnya : semua harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan
atas berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari
benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di bawah pengawasan
umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik
masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan
umum. Contoh lain, tentang pemilikan
harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.
Setidak-tidaknya , benda yang dapat dikelompokan ke dalam kepemilikan
umum ini, ada tiga jenis, yaitu :
a. Fasilitas dan sarana umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena
menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan
perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang
berkaitan dengan sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي
ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
"Manusia berserikat (bersama-sama
memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (bahan bakar atau yang
sejenisnya)" (HR Ahmad dan Abu Dawud)
b.
Sumber alam yang tabiat pembentukannya menghalangi
dimiliki oleh individu secara perorangan
Jika
kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi
seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara tabiat dan asal
pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi.
Seperti jalan umum, manusia berhak lalu
lalang di atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang
lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga
berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi
air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya,
semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai
milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
c.
Barang tambang yang depositnya tidak terbatas
Dalil yang digunakan dasar
untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi
riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar
dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:
أَنَّهُ
وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ
الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ
أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ
فَانْتَزَعَ مِنْهُ
"Bahwa ia datang
kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka
beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya
kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali
tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).[37]
Sedangkan
barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat
dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith
nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang
yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar
khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.[38]
c.
Hak
Milik Negara
Tipe ketiga dari
kepemilikan adalah hak milik oleh negara.
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber
penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal,
untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan
tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan
negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber
penghasilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan
atau kebutuhannya meningkat. Demikian
pula, berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan
pungutan denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara
aktual merupakan kekayaan umum. Kepala
negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah.
Dan merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan
umum. Oleh karena itu, sangat dilarang
penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban negara melindungi
hak fakir miskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan
sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi
pendapatan.[39]
Beberapa
harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak
mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
1.
Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang
dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan)
dan khumus
2.
Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang
diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3.
Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada
kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4.
Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5.
Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil
pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang
diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6.
Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari
sisa waris (amwal al-fadla)
7.
Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8.
Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai
negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9.
Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai,
laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.[40]
Bab IV
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Kedudukan harta dalam pandangan Islam diibaratkan seperti :
a. Harta sebagai perhiasan
b. Harta sebagai fitnah
c. Harta untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kesenangan.
Dikarenakan
kedudukan harta seperti tersebut diatas maka sebagai seorang muslim diharuskan
mencari harta sebagaimana yang telah ditentukan dalam syari’at dan
mempergunakannya pun harus sesuai dengan fungsi dari harta tersebut. Sehingga
dapat bermanfaat bagi diri sendiri,keluarga dan masyarakat banyak.
2. Sistem al-Qur’an dalam
distribusi kekayaan ini berdasarkan pada anjuran infak, yang akan memberikan
garansi bai tersebarnya secara meluas distribusi kekayaan. Selain
membelanjakan harta dengan cara berinfak Allah juga secara bijaksana dalam al-Qur’an
telah menginformasikan suatu larangan berdimensi social untuk kesejahteraan
manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Larangan
dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain :
a. Larangan kikir/ bakhil dan menumpuk harta
b. Larangan berlebih-lebihan/ bermewah-mewahan
c. Larangan Riba
d. Larangan Riya
3.
Islam mengakui adanya
hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha serta inisiatif
individu di dalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Islam juga telah memberikan batasan-batasan
tertentu yang sesuai syariat sehingga seseorang dapat menggunakan harta
pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum.
Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa di kelola dan
dimiliki secara perorangan (KA, pos, listrik, air, dsb), tapi semua itu menjadi
milik dan dikelola oleh negara untuk kepentingan umum.
4.
Kemudian terdapat
perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum, yang terdapat dalam
Islam dengan kapitalis dan komunis. Di
dalam kapitalis, hak milik individu adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hak milik diabaikan sama sekali. Sedangkan di dalam Islam, hak individu itu
berada dalam keadaan norma, bukan tak terbatas seperti yang terdapat dalam
kapitalis, ataupun ditekan sama sekali seperti yang terdapat dalam komunis. Inilah sisi kemoderatan Islam dalam memandang
hak milik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, An-Nadhariyatu al-‘Aqdi,
1976
Afzoekir Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jilid I, penerjemah: Soenoyo (Yogyakarta:
Dara Bakti Wakaf, 1995)
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah , Bulan Bintang, 1974
Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi Islam, Alfabeta,
Bandung, 2006
Hendi Suhendi,Fiqih Mu’amalah, Gunung Djati Press, 1997
http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11-55k
http:/pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi.bin/content.cgi/artikel/privatisasi_dan_kepemilikan.sigle#fn25
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2001
Muhammad Abdul mannan,Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
penerjemah:M Nastangin , Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1997
Rahmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah ,Pustaka
Setia, bandung, 2004
Yusuf Qardhawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema
Insani Press, Jakarta, 1997
Mohammad Daud Ali,
Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.
[1] QS. An-Nisa ; 5
[2] QS. Al-Baqoroh; 188
[3] QS;5 ayat 41
[4] QS; 57 ;2, 63 ;7, 65 ;12, 78 ;37
[5] Abu Zahrah, An-Nadhariyatu al-‘Aqdi, 1976, Hlm 51
[6] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah , Bulan Bintang, 1974, Hlm 141
[7] Ibid
[8] Rahmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah ,Pustaka Setia, bandung,
2004, Hlm 24
[9] QS.Al-Kahfi;46
[10] QS. At-aghabun; 15
[11] QS. Ali Imran; 186
[12] QS. Shaf; 10-11
[13] QS.Alli Imran; 14
[14] HR. Bukhari
[15] HR. Turmudzi
[16] QS.Saba’; 10-11
[17] QS.Al-Mulk; 15
[18] HR. Thabrani
[19] Hendi Suhendi,Fiqih Mu’amalah, Gunung Djati Press, 1997, Hlm 28-30
[20] QS. An-Nisa; 9
[21] Afzoekir Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam jilid I, penerjemah: Soenoyo (Yogyakarta: Dara
Bakti Wakaf, 1995), hal.83.
[22] Mustaq Ahmad, Ibid, Hlm 67
[23] QS. Al-Baqoroh, 161.
[24] QS. Al-Humajah; 1-4
[25] QS. 7;31
[26] QS. 102;1-2
[27] QS. Al-Baqarah, 275
[28] QS. Al-Baqarah; 264
[29] Ibid, Hlm. 116
[30] Ibid, Hlm
[31] QS. Al-Baqoroh; 284
[32] http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11-55k
[33] QS. Adz-Dzariyat; 19 dan QS Al-Israa, 26
[34] QS, 9; 111, 51;11
[35] QS. 4:5
[36] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta, 2001, Hlm 58
[37]
http:/pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/privatisasi_dan_kepemilikan.sigle#fn25
[38] Ibid
[39] http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11-55k
[40] Ibid. http:/pesantren…fn 25
Komentar
Posting Komentar