HARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM



HARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Bab I
Pendahuluan

A.   Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan lepas dari yang namanya harta, dalam segala segi kehidupan selalu membutuhkan harta baik  yang berkaitan kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Di samping itu juga hal-hal yang berkaitan  dengan kewajiban  beribadah kepada Allah SWT. Sampai kepada kebutuhan berekreasi .
Berbagai cara orang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan harta, ada yang dengan cara yang halal ada pula orang mencari harta tanpa melihat apakah harta itu halal ataupun tidak. Semua itu tergantung kepada sumber daya manusia itu sendiri  dalam memahami   tentang arti kehidupan ini.
Manusia yang memiliki pandangan bahwa kehidupan ini adalah suatu yang bersifat sementara yang harus dipertanggungjawabkan tentunya akan menyikapi segala sesuatu dengan penuh hati-hati terutama dalam mencari harta untuk membiayai kehidupan yang sementara ini. Akan tetapi bagi orang yang tidak memiliki pandangan tersebut , mereka akan semena-mena di dalam mencari harta tanpa melihat harta itu di peroleh dengan cara yang baik ataupun tidak  yang penting kebutuhan mereka terpenuhi.
Pada zaman sekarang mayoritas manusia sudah mengalami  dan sedang menjalani gaya hidup konsumeristik , gaya hidup kebarat-baratan. Suatu gaya hidup yang sangat menyibukkaan , manusia betul betul disibukkan dengan pekerjaannya yang berorientasi kepada dunia. Oleh karena itu corak kehidupan mereka cenderung hedonisme, manusia hanyalah hamba dunia atau  budak materi, materi tersebut menghanyutkan mereka. Terutama materi yang diperoleh  dengan  menghalalkan segala cara, seperti menipu, merampok, hasil pencurian , korupsi  dan cara –cara lain yang tidak sesuai dengan syari’at.
Untuk menghindari dari tindakan kesema-menaan dalam mencari harta tersebut maka Islam memberikan  gambaran tentang pemahaman terhadap harta tersebut. Islam meletakkan harta sebagai salah satu keperluan asasi di dalam kehidupan manusia. Bagi memenuhi tuntutan tersebut, Islam telah menyediakan beberapa system yang dapat merealisasikan kenyataan itu dengan baik dan berkesan antaranya ialah system pengurusan dan pentadbiran harta.
Harta dalam pandangan Islam adalah bercirikan produktif. Penimbunan atau pemusatan harta secara tidak efektif dicegah sama sekali. Ini berarti harta itu tidak terikat dengan pengertian harta secara mutlak, sehingga mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia juga tidak statis, tetapi berkembang demi kepentingan manusia dan kesejahteraan umat.
Harta dalam al-Qur’an seperti diungkapkan “ Dan janganlah kamu serahkan orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah pada mereka kata-kata yang baik.[1] Dikarenakan harta dianggap sebagai pokok kehidupan maka dikatakan pula dalam ayat yang lain “ Dan janganlah sebahagian diantara kamu memakan harta sebagaian yang lain dengan jalan yang bathil “[2]. Artinya manusia dituntut di dalam mencari harta itu harus melalui cara-cara yang diridloi oleh Allah. Al-Qur’an memandang perolehan harta yang halal sebagai sesuatu yang kudus dan tidak dapat diganggu gugat, karenanya Allah memerintahkan potong tangan bagi siapa saja yang dengan sengaja melakukan pencurian.[3]
Harta juga didefinisikan sebagai sebagai suatu yang dapat dimiliki, seperti emas, perak, binatang, rumah pepohonan dan lain-lain. Pengakuan akan kepemilikan adalah salah satu prasyarat untuk sahnya sebuah transaksi harta benda. Namun persoalannya adalah “Siapakah pemilik harta yang sebenarnya itu ? Menurut Al-Qur’an , pemilik yang hakiki dari semua apa yang ada di dunia ini adalah Allah.[4] Namun Allah menjadikan manusia sebagai khalifahNya dimuka bumi ini dan Allah memberikan “kekuasaan” untuk mengontrol sumber-sumber alam semesta ini.
Meskipun demikian, Masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan bukan sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilkan pribadi disamping kepemilikan umum.  Dan menjadikan hak milik pribadi sebagai dasar bangunan ekonomi.  Dan Itu pun akan terwujud apabila ia berjalan sesuai dengan aturan ALLAH swt, misalnya adalah memperoleh harta dengan jalan yang halal.  Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat kezaliman atau kerusakan di muka bumi.
Karena begitu pentingnya mengenai harta dan  aspek kepemilikan dalam bidang ekonomi, maka dalam makalah ini saya mencoba membahas dan memaparkan tentang “Konsep Harta dan Hak Milik  (Private Ownership) dalam Islam ” sesuai dengan urgensinya.

B.   Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pandangan Al-Qur’an tentang  kedudukan  harta dan hak milik ?
2.      Bagaimana mekanisme pengelolaan harta dan Hak Milik dalam Islam ?



BAB  II
HARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.   Definisi  Harta
Pengertian harta  (al-mal) menurut bahasa dinyatakan dalam kitab “ An-Nadhariyatu al-‘Aqdi “ yang berbunyi :

“ Segala sesuatu yang dapat dimiliki….baik berupa benda maupun manfaat”
Sedangan menurut istilah, sebagian fuqoha memberikan ta’rif antara lain sebagai berikut :

“Sesuatu yang menusia cenderung kepadanya dan mungkin untuk disimpan pada waktu diperlukan”[5]
Menurut pengertian diatas bahwa harta itu mencakup keseluruhan bagian-bagian harta, karena itu sesuatu yang tidak mungkin disimpan juga termasuk ke dalam bagian harta. Hal itu dikarenakan ada sesuatu yang menjadikannya masuk dalam kategori harta yakni diantaranya sesuatu yang manusia tidak condong terhadap harta tersebut tetapi manusia memeliharanya dan menghabiskannya dan tidak menjauhinya seperti sayur mayur ,pakaian dan obat-obatan dll.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita tanggapi  dalam pandangan Fuqoha bahwa harta bersendi pada dua unsur, yaitu :
1.    “Ainiyah
2.    ‘Uruf
Yang dimaksud ‘ainiyah ialah harta itu merupakan benda, ada wujudnya dlam kenyataan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘uruf ialah harta itu dipandang harta oleh manuisa, baik oleh semua manusia atau oleh sebagian manusia, dapat diberi atau tidak diberi.[6] Unsur ‘uruf didalam harta  yaitu bahwa harta itu dianggap harta  oleh manusia pada umumnya, karena itu hamba sahaya walaupun merupakan benda berwujud tetapi tidak termasuk ke dalam harta karena manusia muslim tidak menggangapnya harta, selain itu minuman keras dan dagung babi merupakan harta bagi selain muslim dan tidak termasuk harta bagi muslim.
Dengan demikian Hasbi Ash-Shiddiqy memberikan pengertian bahwa harta adalah :


“Harta adalah segala benda yang berharga yang bersifat materi yang beredar diantara manusia”.[7]
Dalam hal ini Islam meletakkan harta sebagai salah satu keperluan asasi di dalam kehidupan manusia. Bagi memenuhi tuntutan tersebut, Islam telah menyediakan beberapa sistem yang dapat merealisasikan kenyataan itu dengan baik dan berkesan, antaranya ialah sistem pengurusan dan pentadbiran harta.
Harta bagaikan pisau bermata dua. Harta dapat dipakai untuk membangun, memperbaiki, memperindah, membuat semarak, menggembirakan, mengakrabkan dan banyak hal yang sifatnya positif. Sebaliknya hakikat harta juga bisa merusak, merobohkan, menyengsarakan, memutuskan hubungan kekerabatan, pertempuran, pembunuhan , fitnah dan keburukan lainnya.
Mengetahui hakikat harta bagi manusia , terutama kaum muslimin sangat penting. Sebab tanpa memahaminya, manusia justru akan diperbudak oleh harta. Harta yang seharusnya menjaga diri manusia justru membuat manusia tidak bisa tidur dan tenang karena harus menjaga hartanya.
Salah memiliki harta akan menjadikan harta tersebut bumerang bagi dirinya. Harta ibaratnya kuda liar yang seringkali dijadikan mainan rodeo bagi para koboi. Jika gagal mengendalikannya maka penunggangnya akan jatuh dan terinjak-injak. Masih untung kalau tidak luka atau mati. Bagi yang lihai, maka sebentar ia akan terguncang tapi selanjutnya kuda tersebut dapat dikendalikan ke arah mana tujuan sang penunggang.
Demikian pula dengan harta. Wajib bagi muslim jika hidupnya ingin selamat, harus mengetahui hakikat harta. Bagaimana fungsi dan kedudukannya dalam agama, bagaimana agama mengatur cara memperolehnya secara benar, mengelola dan membelanjakannya sesuai aturan agama.
B.   Kedudukan Harta dan Anjuran untuk Berusaha dan Memilikinya
1.    Kedudukan harta[8]
Dalam al-Qur’an dan hadits, cukup banyak ayat atau hadits yang membicarakan harta. Dibawah ini akan dikutip beberapa diantara ayat al-Qur’an dan Hadits antara lain
a.          Dalam Al-Qur’an
1.    Harta sebagai perhiasan hidup[9]
   
Artinya :” harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.
Pada ayat di atas dikatakn bahwa harta adalah perhiasan hidup. Harta menjadi sesuatu yang disenangi untuk dimiliki, dipergunakan bahkan sekadar untuk dilihat. Dengan harta sesuatu menjadi lebih mudah, dengan harta sesuatu menjadi indah. Kecenderungan terhadap harta itulah biasanya dipakai manusia untuk berusaha bekerja keras mendapatkannya, tidak sedikit pula yang mendapatkannya dengan menggunakan berbagai cara, halal atau haram, Mereka tidak mempedulikan aturan yang ada, baik aturan agama, masyarakat maupun negara. Bahkan terlontar kata-kata naif dari mereka untuk menjustifikasi usaha mendapatkan harta secara tidak sah.”mencari harta yang haram saja susah apalagi yang halal” begitulah kalau harta sebagai perhiasan telah membutakan  hati dan pikiran. 
2.    Harta sebagai fitnah [10]

Artinya: “ Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan. Dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Harta di samping sebagai perhiasan hidup juga sebagai ujian dari Allah. Allah akan menguji mereka yang telah mendapatkan harta bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan harta tersebut. Allah berfirman :

Artinya :” Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”[11]
Maksudnya adalah apakah orang yang memegang harta tersebut mampu memanfaatkan harta tersebut dengan baik sesuai tuntutan syari’at atau justru menjadikan harta tersebut membakar dirinya seperti bara api yang terus dipegangnya.  Apakah ia mampu mempertahankan bara api yang panas di tangannya ?
Oleh karena itu, selanjutnya kedudukan harta di dalam Islam adalah sebagai bakal ibadah dan perjuangan. Dengan harta yang dimiliki seorang muslim akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang paling berharga yaitu surga. Dengan hartanya itu seorang muslim membeli surga dengan perniagaan yang ditunjukan Allah melalui firmanNya:


Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[12]
3.    Harta untuk memenuhi Kebutuhan Hidup dan mencapai kesenangan[13]



Artinya:” Dijadikan indah menurut pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Salah satu naluri insani yang diberikan Allah kepada manusia adalah kecenderungan mencintai lawan jenis, mencintai anak dan keturunan, serta mencintai materi (harta, kekayaan lain, jabatan), sebagaimana ayat diatas.
b.        Dalam Al-Hadits
1.    Kecelakaan bagi penghamba pada harta :



Artinya:” Celakanlah orang yang menjadi hamba dinar (uang) dan orangorang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, , jika diberi ia bangga bila tidak diberi ia marah, mudah-mudahan dia celaka dan merasa sakitn, jika dia kena suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar”.[14]

2.    Penghamba harta adalah orang terkutuk :

Artinya :” Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan dirham”.[15]
2.Anjuran untuk Memiliki Harta dan Giat Berusaha
a.  Para nabi berusaha sendiri untuk bekal hidupnya
        Ada beberapa ayat al-Qur’an maupun beberapa  Hadits yang dapat dikategorikan sebagi isyarat bagi umat Islam untuk memiliki kekayaan dan giat dalam berusaha supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mampu melaksanakan rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi umat Islam  yang mempunyai harta atau kemampuan dari segi ekonomi, Sementara itu harta kekayaan tidak mungkin datang sendiri ,tetapi harus dicapai melalui usaha.Seperti yang dicontohkan oleh para Anbiya dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Nabi Nuh as. dengan membuat kapalnya, Nabi Daud dapat membuat baju besinya, [16]Nabi Musa as. Menggembala selama dua puluh tahun di negeri Madyan, sebelum menjadi rasul. Juga Nabi Muhammad menggembala domba kemudian berniaga bersama Siti Khadijah.
b.Anjuran memanfaatkan dan memakan rezeki Allah SWT.


Artinya :” Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah sebagian rezeki-Nya”.[17]
a.  Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk bekerja


Artinya :” Seseorang yang mengambil tali untuk mengikat kayu bakar kemudian memanggul dipundaknya untuk dijual kepada manusia, sehingga Allah mencukupinya adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, yang kemungkinan akan memberinya atau menolaknya”.
b.    Perintah menunaikan zakat
      Perintah mencari harta dan giat berusaha dapat dipahami dengan adanya perintah menunaikan zakat yang selalu mengiringi perintah mendirikan shalat, karena zakat hanya dapat ditunaikan dengan berusaha dan mempunyai harta. Adapun bagi yang tidak mempunyai banyak yang harta maka tetap diperintah untuk menunaikan zakat fitrah (jiwa)  yakni dengan mengeluarkan batas minimal 2,5 kg beras /tahun.
c.    Nabi SAW sering berdo’a agar dilapangkan rezeki

Artinya :” Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumahku, dan berkatilah rezekiku...”[18]
C.   Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak . Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang  syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang memperoleh harta dengan cara mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya menfungsikan hartanya untuk hal-hal yangbermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain  untuk :[19]
1.    Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat,
2.    Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran,
3.    Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah,[20]
4.    Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW bersabda :


Artinya :”Bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meinggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat”.
5.    Bekal mencari dan mengembangkan ilmu
6.    Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
D.   Mekanisme Pembelanjaan Harta
Al-Qur’an bagi kaum Muslimin diyakini bukan hanya kitab suci ‘ansich’ yang bersifat pasif, tapi merupakan wakyu Allah kepada umat manusia lewat perantaan Nabi Muhammad SAW dan utusan ‘ruh suci’ Jibril yang berisi kebenaran-kebenaran absolut dari Allah swt.  Dengan demikian al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup  bagi umat Islam  dalam melakukan ibadah, mu’amalah dan pembinaan akhlaq.
Aspek yang menarik untuk dikaji lebih mendalam ialah bagaimana nilai-nilai Islami dilaksanakan dalam berbagai sendi kehidupan, salah satunya ialah mengenai pembelajaan harta. Harta sebagai salah satu amanah yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia harus disyukuri dalam parameter nilai-nilai Islami. Oleh karena itu mekanisme pembagian harta harus dioptimalkan jangan sampai terjadi  kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Adapun prinsip utama dalam pendistribusian harta adalah keadilan dan kasih sayang. Tujuan pendistribusian meliputi :
a.    Agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat
b.    Pelbagai faktor produksi yang perlu mempunyai pembagian yang adil dalam kemakmuran negara.[21]
Al-Qur’an memberikan konsiderasi tentang distribusi kekayaan ini sebagai sesuatu yang paling penting dalam usaha membangun dan menciptakan sebuah ekonomi yang sehat, dimana hal tersebut merupakan prasyarat bagi terselenggaranya aktifitas bisnis. Sistem al-Qur’an dalam distribusi kekayaan ini berdasarkan pada anjuran infak, yang akan memberikan garansi bai tersebarnya secara meluas distribusi kekayaan. [22] Seperti yang tertuang dalam al-Qur’an berbunyi :


Artinya :” Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah mha Luas (karuniaNya) lagi maha Mengetahui.[23]
            Kontribusi menafkahkan sebahagian harta di jalan Allah mencakup banyak aspek meliputi perhatian terhadap pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, pembangunan rumah sakit dan sarana sosial lainnya.
Salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan ialah realisasi zakat dalam pengelolaan yang benar. Secara sangat sistematis al-Qur’an memberikan gambaran dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi :






Artinya :”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
            Dalam pembahasan ayat diatas , zakat diberikan pada orang-orang yang hendak mendapatkannya meliputi fakir ,miskin, amil, muallaf, gharim, ibnu sabil dan sabilillah. Apabila dikelola dengan amanah dan professional memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap perekonomian yang sehat.
            Selain membelanjakan harta dengan cara berinfak Allah juga secara bijaksana dalam al-Qur’an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi social untuk kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain :
Pertama, Larangan bersifat kikir/ bakhil dan menumpuk harta
Sikap kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersbut dapat mengekalkan hidupnya. Ada sebuah peringatan dalam al-Qur’an yang berbunyi :” Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya . Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthanah[24]
Kedua, Larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki )mesjid, makan, minumlah jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[25] “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.”[26]
Ketiga, Larangan riba.”Orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainjkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata . sesungguhnya jual beliitu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dai Tuahnnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”[27].
Keempat. Yaitu larangan riya.” Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan allah tidak memberi  petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[28]
Ayat diatas merupakan peringatan dari al-Qur’an agar dalam beramal tidak diiringi dengan riya. Riya merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan menghilangkan sikap riya tersebut. Amal orang-orang yang riya akan membawa kerugian karena amalan-amalan tersebut tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.
            Riya ialah melakukan suatu amalan perbuaan bukan untuk mencari keridloan Allah , tetapi untuk mencari pujian dan kemasyhuran dalam masyarakat. Dalam dataran pembelanjaan harta, riya sangat merusak keharmonisan hubungan antar manusia (human relation), karena akan menyebabkan dua kerugian yaitu kerugian terhadap penerima harta tersebut dan pemberi itu sendiri. Bagi penerima kerugian yang diterima adalah perasaan sakit, sedangkan bagi pemberi akan menyebabkan kerugian berupa hampanya amal dari pemberian harta tersebut.





 





BAB  III
HAK MILIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.       Definisi Hak Milik
Hak Milkiyah dalam pandangan ahli fiqh, ialah “Hak yang memberikan kepada pemiliknya, hak wilayah”[29] Boleh dia memiliki boleh dia memakai, boleh dia mengambil manfaat, boleh dia menghabiskan, merusakan, membinasakan, asal saja tidak menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Maka kemerdekaannya dalam menggunakan haknya terbatas dalam keharusan memelihara hak orang lain. Seperti seorang kongsi boleh bertasharuf dalam batas-batas yang tidak merugikan kongsi lain. Ia tidak boleh merusakan barang yang dikongsikan. Kalau dia merusakan ia dipandang seorang penganiaya dan harus mengganti kerugian.[30]
Berkenaan dengan hak milik, dimana harta merupakan salah satu yang dapat dimiliki sehingga menjadi hak kepemilikan seseorang. Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah.
Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.
Ø  Konsep Dasar kepemilikan dalam Islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi.  Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.  Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki[31] 
Ø  Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah”.
Ø  Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. “  Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif.  Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.[32]

B.       Konsep Islam Tentang Hak  Milik
1.    Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta.  Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
2.    Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan pribadi
Dalam Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak.  Setiap Individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu.  Dan sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu.  Islam sangat peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini.  Kita diharuskan untuk mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan tidak menzalimi orang lain.  Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa balasan yang setimpal. 
3.    Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi
Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal.  Islam melarang setiap orang menzalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita.[33]
C.       Jenis-Jenis Hak Milik Dalam Islam
Jika memperlajari Al-Qur’an secara mendalam , maka akan kita dapatkan konsep tentang kepemilikan  ini memiliki dua level :
a.    Kepemilikan mutlak dan absolute
b.    Kepemilikan yang bersifat delegatif dan terbatas.
Kepemilikan secara mutlak sudah jelas yakni adalah Allah swt. Sementara al-Qur’an menyifati kepemilikan sebuah kekayaan pada manusia[34].Penyifatan kepemilikan pada manusia ini dalam spiritnya sama tatkala harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang bodoh (as-syufaha) dan saat disifatkan kepemilikannya pada orang-orang yang menjadi wali mereka.[35]
Meskipun harta itu adalah milik Allah, namun kepemilikan manusia diakui secara de jure karena Allah sendiri telah mengaruniakan padanya kekayaan dan Dia mengakui kepemilikan tersebut. Oleh karenanya adanya pendelegasian ini, manusia kadang mengira bahwasannya hak untuk menggunakannya berada di tangan mereka. Karena manusia adalah khalifah Allah  maka diharapkan untuk mengurusnya dan memelihara kekayaan itu sebagaimana mestinya. Fakta menunjukan bahwa Allah telah memberikan wewenang pada manusia dalam hak kepemilikan, maka hal itu adalah legitimasi dari konsep kepemilikan sah sebuah kekayaan.[36]
Dari kepemilikan yang sifatnya delegatif dan terbatas maka terbagi  menjadi:
a. Hak Milik Pribadi
      1.      Proses kepemilikan harus didapatkan melalui cara yang sah menurut agama Islam.
Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama islam.  Dan Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram.  Sehingga Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut agama islam) :
      a.      Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal : barang tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air sungai, dll.
      b.      Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal : harta rampasan.
      c.      Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misal : zakat.
      d.      Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal : jual beli dan ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syariat.
      e.      Diambil tanpa diminta, misal : harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.

      2.      Penggunaan benda-benda milik pribadi tidak boleh berdampak negatif/ mudharat pada orang lain, tapi memperhatikan masalah umat
Islam membenarkan hak milik pribadi, karena islam memelihara keseimbangan antara pemuasan beragam watak manusia dan kebaikan umum dimasyarakat. Dalam hubungan ini,  ada syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu dalam mengakui keberadaan hak milik pribadi yaitu memperhatikan masalah umat.  Islam mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat/umat setelah mememnuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga (zakat).  Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan kebaikan umum dan agar hak milik pribadi tidak memberikan dampak negatif pada orang lain.  Inilah paham islam yang moderat dalam mengakui hak pribadi.  Ia mengambil sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak miik dan mereka yang secara mutlak menafikan hak milik.

3.   Dalam penggunaan hak milik pribadi untuk kepentingan pribadi dibatasi oleh ketentuan syariat
      Setiap individu memiiki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta.  Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syariat, tentunya.  Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tak boleh menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan.  Dalam bertransaksi pun tidak boleh melakukan cara-cara yang terlarang.  Karena manusia hanya sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda tersebut.  Batasan tersebut semata-mata untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang bertindak sewenang-wenang (ekspolitasi) dalam masyarakat.  Pemilik harta yang baik adalah yang bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka denganbebas tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai keadilan sosial di dalam masyarakat. 

b.     Hak Milik Umum (Kolektif)
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif).  Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam Islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam Islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis.  Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang berbeda beda.  Misalnya : semua harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada individu.  Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum.    Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.  Setidak-tidaknya , benda yang dapat dikelompokan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu :
a.    Fasilitas dan sarana umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
"Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (bahan bakar atau yang sejenisnya)" (HR Ahmad dan Abu Dawud)  
b.    Sumber alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki oleh individu secara perorangan
Jika kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Seperti  jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
c.    Barang tambang yang depositnya tidak terbatas
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).[37]
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.[38]

c.    Hak Milik Negara
Tipe ketiga dari kepemilikan adalah hak milik oleh negara.  Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya.  Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah).  Selain itu, negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat.  Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan negara. 
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum.  Kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah.  Dan merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum.  Oleh karena itu, sangat dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan.  Adalah merupakan kewajiban negara melindungi hak fakir miskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.[39]
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
1.            Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus
2.            Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3.            Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4.            Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5.            Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6.            Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7.            Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8.            Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9.            Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.[40]





Bab IV
 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.      Kedudukan harta dalam pandangan Islam diibaratkan seperti :
a.    Harta sebagai perhiasan
b.    Harta sebagai fitnah
c.    Harta untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kesenangan.
Dikarenakan kedudukan harta seperti tersebut diatas maka sebagai seorang muslim diharuskan mencari harta sebagaimana yang telah ditentukan dalam syari’at dan mempergunakannya pun harus sesuai dengan fungsi dari harta tersebut. Sehingga dapat bermanfaat bagi diri sendiri,keluarga dan masyarakat banyak.
2.      Sistem al-Qur’an dalam distribusi kekayaan ini berdasarkan pada anjuran infak, yang akan memberikan garansi bai tersebarnya secara meluas distribusi kekayaan. Selain membelanjakan harta dengan cara berinfak Allah juga secara bijaksana dalam al-Qur’an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi social untuk kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain :
a.    Larangan kikir/ bakhil dan menumpuk harta
b.    Larangan berlebih-lebihan/ bermewah-mewahan
c.    Larangan Riba
d.    Larangan Riya
3.      Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha serta inisiatif individu di dalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya.  Islam juga telah memberikan batasan-batasan tertentu yang sesuai syariat sehingga seseorang dapat menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum.  Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa di kelola dan dimiliki secara perorangan (KA, pos, listrik, air, dsb), tapi semua itu menjadi milik dan dikelola oleh negara untuk kepentingan umum.
4.      Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum, yang terdapat dalam Islam dengan kapitalis dan komunis.  Di dalam kapitalis, hak milik individu adalah mutlak tak terbatas.  Dalam komunis, hak milik diabaikan sama sekali.  Sedangkan di dalam Islam, hak individu itu berada dalam keadaan norma, bukan tak terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis, ataupun ditekan sama sekali seperti yang terdapat dalam komunis.  Inilah sisi kemoderatan Islam dalam memandang hak milik.













DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, An-Nadhariyatu al-‘Aqdi, 1976
Afzoekir Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jilid I, penerjemah: Soenoyo (Yogyakarta: Dara Bakti Wakaf, 1995)
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah , Bulan Bintang, 1974
Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi Islam, Alfabeta, Bandung, 2006
Hendi Suhendi,Fiqih Mu’amalah,  Gunung Djati Press, 1997
http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11-55k
http:/pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi.bin/content.cgi/artikel/privatisasi_dan_kepemilikan.sigle#fn25
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001
Muhammad Abdul mannan,Teori dan Praktek Ekonomi Islam, penerjemah:M Nastangin , Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1997

Rahmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah ,Pustaka Setia, bandung, 2004
Yusuf  Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1997
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.


[1] QS. An-Nisa ; 5
[2] QS. Al-Baqoroh; 188
[3] QS;5 ayat 41
[4] QS; 57 ;2, 63 ;7, 65 ;12, 78 ;37
[5] Abu Zahrah, An-Nadhariyatu al-‘Aqdi, 1976, Hlm 51
[6] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah , Bulan Bintang, 1974, Hlm 141
[7] Ibid
[8] Rahmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah ,Pustaka Setia, bandung, 2004, Hlm 24
[9] QS.Al-Kahfi;46
[10] QS. At-aghabun; 15
[11] QS. Ali Imran; 186
[12] QS. Shaf; 10-11
[13] QS.Alli Imran; 14
[14] HR. Bukhari
[15] HR. Turmudzi
[16] QS.Saba’; 10-11
[17] QS.Al-Mulk; 15
[18] HR. Thabrani
[19] Hendi Suhendi,Fiqih Mu’amalah,  Gunung Djati Press, 1997, Hlm 28-30
[20] QS. An-Nisa; 9
[21] Afzoekir Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jilid I, penerjemah: Soenoyo (Yogyakarta: Dara Bakti Wakaf, 1995), hal.83.
[22] Mustaq Ahmad, Ibid, Hlm 67
[23] QS. Al-Baqoroh, 161.
[24] QS. Al-Humajah; 1-4
[25] QS. 7;31
[26] QS. 102;1-2
[27] QS. Al-Baqarah, 275
[28] QS. Al-Baqarah; 264
[29] Ibid, Hlm. 116
[30] Ibid, Hlm
[31] QS. Al-Baqoroh; 284
[32] http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11-55k
[33] QS. Adz-Dzariyat; 19 dan QS Al-Israa, 26
[34] QS, 9; 111, 51;11
[35] QS. 4:5
[36] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001, Hlm 58
[37] http:/pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/privatisasi_dan_kepemilikan.sigle#fn25
[38] Ibid
[39] http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11-55k
[40] Ibid. http:/pesantren…fn 25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Tolak Bala di Kalangan Ikhwan TQN Suryalaya

MANQOBAH ABAH ANOM PESNTREN SURYALAYA

Kaidah Fiqhiyah Kebahasaan